Berhati-hatilah dengan pikiranmu, sebab mereka akan menjadi kata-kata. Berhati-hatilah dengan kata-katamu, sebab mereka akan menjadi kebiasaan. Berhati-hatilah dengan kebiasaanmu, sebab mereka akan menjadi karakter. Berhati-hatilah dengan karaktermu, sebab ia akan menentukan nasibmu.
—Frank Outlaw, Penulis dan Pemikir
Kesakitan pikiran lebih buruk daripada kesakitan tubuh.
—Publisius Syrus, Filsuf dan Penulis
Seumpama kita memiliki sebuah pabrik, apakah kita akan memproduksi barang-barang yang berguna, bermanfaat, baik bagi diri sendiri dan orang lain; ataukah memproduksi barang-barang yang berbahaya, yang dapat membahayakan diri sendiri dan orang lain?
Nah, mari kita lihat bahwa kita benar-benar telah memiliki sebuah pabrik, yakni pabrik pikiran!
Pabrik ini ada di dalam diri kita, dan kita adalah pemilik sekaligus pengawasnya. Tidak ada yang dapat terjadi di pabrik itu tanpa persetujuan kita. Tidak ada yang dapat masuk ke dalamnya, entah itu bahan mentah atau barang setengah jadi, kecuali dengan izin kita. Tidak ada yang dapat keluar dari pabrik itu selain produk yang kita rancang sendiri.
Dan mari kita lihat produk yang kita hasilkan; ketakutan, kekhawatiran, kemarahan, keraguan, kebencian, dendam, dan hal-hal yang negatif lainnya. Apakah kita akan bangga dengan itu semua? Tentu tidak sama sekali! Pabrik yang kita miliki ini mampu menghasilkan produk-produk yang lebih baik seperti keyakinan, keberanian, ketulusan, cinta kasih, maaf, kesadaran dan segala hal positif yang lainnya.
Awasi selalu pabrik yang ada dalam pikiranmu, karena kau adalah pemilik sekaligus pengawasnya. Apa pun yang keluar menjadi produk dari pabrik itu, kaulah satu-satunya penanggung jawabnya.
Semua orang di dunia ini mencari kebahagiaan, dan ada satu cara yang pasti untuk menemukannya; yaitu dengan mengendalikan pikiran-pikiran kita. Kebahagiaan tidak tergantung pada kondisi-kondisi dari luar, kebahagiaan tergantung pada kondisi-kondisi dari dalam.
Yang menjadikan kita bahagia bukanlah apa yang kita miliki, atau siapa kita, atau dimana kita, atau apa yang sedang kita kerjakan. Yang membuat kita bahagia atau tidak bahagia adalah apa yang kita pikirkan tentang bahagia itu.
Pujangga Inggris terkenal, William Shakespeare, berkata, “Tidak ada sesuatu pun yang baik atau buruk, hanya pikiranlah yang membedakannya.” Sementara Abraham Lincoln menegaskan, “Kebanyakan orang dapat merasa bahagia seperti yang mereka pikirkan.”
Ya, jika kita berpikir bahwa kita bahagia, dan kita menjalani hidup dengan hati bahagia, maka kita pun akan merasakan betapa hidup ini penuh dengan kebahagiaan.
Salah satu penghalang hidup bahagia adalah kebencian. Jika kita menyimpan kebencian dan memendam dendam terhadap seseorang, bisa dipastikan kita tidak akan pernah bahagia. Kebencian ini bukan hanya akan membuat pikiran kita selalu terganggu, tetapi juga mengganggu kesehatan kita. Menurut ilmu kedokteran, kebencian yang kita pendam di dalam diri kita ketika menolak memaafkan, dapat menyebabkan penyakit fisik yang berat.
Dr. Redford Williams, seorang internis dan peneliti kedokteran perilaku di Duke University Medical Center, menyatakan, “Kebencian meramalkan risiko, bukan hanya penyakit jantung, tetapi juga kematian oleh berbagai sebab.”
Dr. Williams dan rekan-rekan penelitinya mempelajari kelompok-kelompok orang yang berbeda melalui bagian utama kehidupan mereka, dan belajar bagaimana berbagai tingkat kebencian mempengaruhi kesehatan jasmani mereka. Sebuah studi dimulai dengan individu-individu ketika mereka masih mahasiswa kedokteran, dan diikuti hingga dua puluh lima tahun berikutnya.
Para peneliti itu kemudian menemukan bahwa orang dengan tingkat kebencian yang tinggi, kira-kira lima kali lebih mungkin menderita serangan jantung, angina, atau meninggal karena penyakit jantung, dibandingkan orang yang tingkat kebenciannya rendah.
Fakta ini sudah cukup untuk mengingatkan kita bahwa kemarahan, kebencian, sifat tidak mau memaafkan, dapat menimbulkan kerusakan pada seseorang secara jasmani maupun rohani. Jika hidup bahagia menjadi tujuan dan keinginan, lepaskanlah semua kemarahan, dendam, dan kebencian. Bagaimana caranya? Dengan memaafkannya.
Di dalam buku ‘How to Live 365 Days a Year’, Dr. John A. Schindler memperlihatkan kenyataan bahwa tiga dari empat ranjang rumah sakit diisi oleh orang yang mengidap EII (Emotionally Induced Illnes), penyakit yang disebabkan oleh emosi. Bayangkan, tiga dari empat orang yang sakit sekarang ini akan sehat jika mereka sudah belajar bagaimana menangani emosi mereka.
Sering kali kita memang tidak sakit karena sesuatu yang kita makan, tapi kita sering kali menjadi sakit karena sesuatu yang memakan kita. Perasaan marah yang terus-menerus dipendam, kebencian yang tak mau dipadamkan, rasa dendam yang tak pernah dilupakan, serta perasaan-perasaan negatif lainnya, semua itu adalah virus-virus yang terus menggerogoti emosi selama kita masih menyimpannya.
Kesehatan tubuh tidak saja ditunjang oleh makanan yang dikonsumsi, tetapi juga perasaan-perasaan yang tersimpan dalam emosi. Karenanya, untuk dapat menghilangkan semua virus yang hanya akan menggerogoti kesehatan kita, gantilah semua perasaan negatif yang ada dengan perasaan yang positif, emosi yang positif.
Gantilah kemarahan dengan hati yang memaafkan. Gantilah kebencian dengan rasa kasih, dan gantilah dendam dengan hubungan yang diperbarui. Semuanya itu memang mungkin tak bisa dilakukan secara mudah dan dalam waktu singkat, tetapi jika kita mau melakukannya, kita akan merasakan perbedaannya.
Berabad-abad yang lampau, filsuf Plato mengatakan, “Para dokter membuat kesalahan yang amat besar, yakni mereka berusaha menyembuhkan badan tanpa berusaha menyembuhkan jiwa. Padahal jiwa dan badan adalah satu, dan tidak boleh diperlakukan secara terpisah.”
Ilmu kedokteran membutuhkan waktu selama dua ribu tiga ratus tahun untuk mengakui kebenaran yang sangat penting ini. Dr. Joseph Montague menuliskan dalam bukunya, “Anda tidak akan terkena serangan penyakit berbahaya karena makanan yang Anda makan. Anda menderita penyakit berbahaya karena sesuatu yang memakan Anda.” Sementara Dr. Alvarez dari The Mayo Clinic mengatakan, “Penyakit berbahaya semisal borok perut seringkali mengganas dan mereda sesuai dengan naik-turunnya tekanan emosi.”
Pernyataan tersebut didukung dengan hasil penelitian terhadap 15.000 pasien yang menderita gangguan perut di Mayo Klinik. Empat dari setiap lima pasien yang menderita sakit perut parah (borok perut) tidak disebabkan oleh sakit fisik. Penyebab utama dari gangguan sakit perut yang parah ini kebanyakan disebabkan oleh ketakutan, kesedihan, kebencian, sifat egois yang berlebihan, serta ketidakmampuan untuk menyesuaikan diri dengan kenyataan hidup di dunia ini.
Sekali lagi, banyak orang menderita sakit bukan karena apa yang mereka makan, tetapi karena apa yang memakan hati mereka. Sebuah jurnal kedokteran bahkan melaporkan bahwa sekian banyak orang yang terbaring di rumah sakit, 35% sampai 50%-nya menderita sakit karena menyimpan virus di dalam hatinya. Virus itu bisa bernama kebencian, dendam, iri hati, dengki, dan ketidaknyamanan emosi.
Cara untuk membersihkan semua virus yang menggerogoti hati itu adalah dengan banyak-banyak memasukkan pikiran yang positif dan mendamaikan. Maafkanlah setiap orang yang pernah berbuat salah tanpa harus menunggu mereka meminta maaf. Buang saja semua dendam dan kebencian meski itu terasa berat. Singkirkan jauh-jauh semua dengki dan iri hati agar mereka tak kembali.
Dan apabila hati telah bersih dari semua virus dan polusi, kita akan merasakan suatu kenyamanan emosi yang menenangkan, dan kita pun bisa melangkahkan kaki dengan lebih ringan di setiap tapak jalan kehidupan, tanpa harus merasa terbebani oleh sesuatu yang berat, yang selalu mendesak di relung hati kita yang terdalam.