Minggu, 20 Februari 2011

Sumur Kearifan Dumbledore

Pengalaman merupakan guru yang keras,
sebab ia memberi ujian lebih dulu, dan pelajaran belakangan.
@noffret


Kebanyakan blogger punya blogger inspirator, atau orang yang menjadi inspiratornya dalam ngeblog. Begitu pula saya. Dalam ngeblog, ‘blogger’ inspirator saya adalah Albus Dumbledore.

Para penggemar serial Harry Potter pasti mengenal namanya, karena ia salah satu tokoh penting dalam serial tersebut. Albus Dumbledore bukan hanya kepala sekolah Hogwarts, tempat Harry belajar, tetapi juga menjadi semacam orang tua angkat bagi Harry Potter. Para pembaca Harry Potter pun mengagumi serta mengasihi tokoh yang satu ini, karena Dumbledore bukan hanya seorang penyihir sakti, tetapi juga guru yang arif bijaksana.

J.K. Rowling, pengarang Harry Potter, memang penulis genius. Di dalam kisah kolosal yang melibatkan banyak karakter ini, Rowling tidak satu pun menciptakan karakter yang sempurna. Semua tokoh yang ada di dalam Harry Potter sangat manusiawi, memiliki kelebihan serta kekurangannya masing-masing, sehingga pembacanya bisa asyik menikmati karena tokoh-tokoh itu seolah nyata.

Coba lihat, bahkan karakter Harry Potter sendiri, yang merupakan tokoh utama serial tersebut, tidak diciptakan sebagai tokoh yang sempurna. Rowling terlalu cerdas untuk terjebak pada pengkultusan seorang tokoh dalam kisah rekaannya. Rowling tahu, bahwa tokoh atau karakter yang ‘serba sempurna’ adalah tokoh dan karakter yang paling memuakkan sekaligus membosankan!

Begitu pula dengan Dumbledore. Meski tokoh ini merupakan karakter hebat dengan segala kesaktian dan kearifannya, tetapi Dumbledore pun bukan sosok sempurna. Di buku terakhir, Rowling memberikan kejutan bagi para pembacanya, ketika dia mengungkapkan masa muda Dumbledore yang ternyata seorang rasis (anti muggle).

Tetapi justru karena adanya cacat atau kekurangan inilah sosok Dumbledore menjadi lebih manusiawi—bahwa meski dia sangat hebat, tetapi dia pun tidak luput dari kekurangan dan kekeliruan.

Jika melihat seperti apa masa muda Dumbledore—sebagaimana yang dikisahkan Rowling—sejujurnya kita merasa jijik. Di masa mudanya, Dumbledore tak lebih dari sosok monster-rasis seperti Voldemort yang sangat anti muggle. Tetapi, Dumbledore bisa berubah—dari sosok naif yang rasis menjadi sosok yang arif dan penuh pemakluman manusiawi. Dalam serial Harry Potter, kita tahu, Dumbledore menjadi tokoh paling bijaksana, yang darinya kita mendapatkan pelajaran-pelajaran penting dan berharga.

Pertanyaannya, bagaimana cara Dumbledore bisa berubah seperti itu?

Jika saya membaca dan membaca kembali serial Harry Potter, saya menarik kesimpulan bahwa salah satu hal penting yang mampu mengubah sosok Dumbledore adalah karena orang ini rajin menyimpan ingatannya. Dumbledore adalah orang yang mau dan mampu belajar dari pengalamannya sendiri, sehingga ia dapat mengubah dirinya dari sosok seorang naif menjadi guru yang sangat arif.

Dumbledore memang tidak menulis catatan harian atau diary atau membuat blog, tetapi kita tahu bahwa dia memiliki Pensieve. Pensieve adalah semacam mangkuk atau bejana, yang dapat digunakan untuk melihat dan menyelami kembali ingatan-ingatan yang telah kita simpan.

Dalam tulisan Rowling, Pensieve digambarkan sebagai “baskom batu dangkal dengan tepi yang dihiasi pahatan aneh”. Sebenarnya, Pensieve murni imajinasi Rowling, dalam arti benda itu tidak pernah ada di dunia nyata. Rowling sendiri menciptakan ‘Pensive’ dari kata ‘penser’ (yang berarti: berpikir) dan ‘sieve’ (yang berarti: alat untuk menyaring cairan, dan memisahkan sesuatu yang diinginkan—seperti saringan atau ayakan).

Nah, Dumbledore memiliki banyak ingatan dan memori, sehingga ia perlu memiliki Pensieve untuk menyimpan sebagian ingatan dan memorinya.

Di dunia sihir Harry Potter, seseorang dapat mengambil ingatannya untuk kemudian disimpan dalam botol kecil. Cara mengambil memori atau ingatan ini adalah dengan menempelkan tongkat sihir ke pelipis, kemudian menariknya perlahan-lahan. Tarikan tongkat sihir itu akan menarik benang-benang memori, yang kemudian dapat dimasukkan ke dalam botol kecil. Dalam penggambaran di film, ingatan atau memori tersebut berbentuk seperti cair dan memiliki warna.

Kemudian, jika ingatan atau memori yang telah tersimpan di dalam botol itu dituangkan ke dalam Pensieve, maka orang akan dapat melihat dan menyelami ingatan itu—baik dirinya sendiri sang pemilik memori, ataupun orang lain yang memang ingin melihat dan menyelami memorinya. (Untuk pemahaman lebih baik, silakan baca novelnya, atau tontonlah filmnya).

Dalam perspektif saya, hal penting yang ikut membangun karakter kearifan Dumbledore adalah karena Pensieve ini. Melalui Pensieve, Dumbledore bisa menyimpan dan melihat serta menyelami ingatan dan memori-memorinya, sehingga ia tidak bisa lupa. Melalui ingatan dan memori-memori tersebut, Dumbledore pastilah dapat melihat, menyaksikan, merenungkan, dan memahami segala yang pernah diucapkannya, yang pernah dipikirkan dan dilakukannya.

Ketika ia menyelami Pensieve dan menyaksikan ingatan atas perbuatan-perbuatannya sendiri, Dumbledore pasti dapat melihat secara lebih jernih seperti apakah dirinya sesungguhnya, dan dia dapat belajar dari semua yang disaksikannya.

Rowling memang tidak secara eksplisit menjelaskan hal ini, tetapi setidaknya kita bisa membayangkan bahwa Dumbledore melakukan hal itu, ketika dia sendirian. Jika Dumbledore menggunakan Pensieve untuk tujuan menolong Harry Potter (sebagaimana yang kita baca di serial tersebut), maka tentunya sangat wajar jika Dumbledore sering menggunakannya untuk dirinya sendiri.

Nah, Pensieve itulah yang menjadi inspirasi saya dalam ngeblog. Saya membayangkan bahwa Pensieve bagi Dumbledore adalah semacam sumur tempat ia menyaksikan ingatan-ingatan hidupnya, sekaligus tempatnya menggali serta menimba pelajaran dan kearifan.

Saya ingin blog saya memiliki fungsi semacam itu. Tempat saya menyimpan semua ingatan dan memori yang ada dalam benak, agar saya tidak lupa. Saya ingin, kalau bisa, menyimpan semua ingatan yang ada dalam pikiran saya ke dalam blog, agar ingatan dan memori tersebut tidak hilang.

Dan sebagaimana sifat Pensieve yang dapat dinikmati sendiri atau bersama orang lain, begitu pula blog yang saya miliki. Meski tujuan saya menulis di blog adalah untuk menyimpan memori untuk saya pelajari sendiri, tetapi saya pun mempersilakan orang lain untuk ikut melihat dan menyelami ingatan-ingatan saya, dengan harapan bisa memetik pelajaran dan hal-hal positif dari ingatan-ingatan yang pernah saya simpan (tuliskan) di dalamnya.

Seperti halnya menyelami bejana Pensieve, maka isi blog saya pun merupakan tempat saya menyimpan dan menyaksikan kembali semua ingatan, memori, perjalanan hidup, serta segala sesuatu yang pernah saya pelajari. Kemarahan, kebingungan, kerisauan, kegembiraan dan kebahagiaan, bahkan rasa frustrasi, semua saya upayakan tertulis dan tersimpan di sini—agar sewaktu-waktu bisa saya lihat kembali, untuk saya pelajari.

Saya berharap bisa seperti Dumbledore—orang yang mampu belajar dari kesalahan dan kekeliruannya sendiri, untuk menjadi manusia yang lebih baik. Jika ada pelajaran terbaik yang dapat dipelajari dalam hidup, maka perjalanan hidup diri sendiri adalah salah satu pelajaran terbaik itu.

“Ada tiga jenis manusia,” kata para filsuf. “Yang pertama adalah mereka yang belajar dari pengalaman mereka sendiri; mereka adalah orang yang bijaksana. Yang kedua adalah mereka yang belajar dari pengalaman orang lain; mereka adalah orang yang bahagia. Sedang yang ketiga adalah mereka yang tidak belajar dari pengalamannya sendiri maupun pengalaman orang lain; mereka adalah orang yang bodoh.”

Membuka blog ini adalah membuka ingatan-ingatan saya. Ingatan di mana saya berharap bisa belajar darinya. Di blog ini, saya menuliskan ingatan-ingatan yang saya harapkan dapat diambil manfaatnya, demi kebaikan diri sendiri maupun orang lain. Tidak ada yang hebat dan luar biasa di sini, yang ada hanya ingatan dan memori.

Tetapi, saya percaya, tidak ada pelajaran yang lebih hebat dibanding segala sesuatu dalam hidup yang dapat kita ingat… untuk kemudian kita pelajari.

 
;