“…jadi, kamu masuk ke situ, tanpa peta, tanpa kepastian, hanya berdasar asumsi—dan keyakinan semu—bahwa semua akan baik-baik saja. Lalu, tiba-tiba suatu hari kamu mendapati semuanya tidak seperti yang kamu bayangkan atau bahkan yang kamu yakini. Apa analogi yang tepat untuk kondisi seperti itu?”
“Tebak semangka?”
“Hahaha… tebak semangka! Kita memang tidak pernah tahu, kan?”
“Tidak pernah tahu. Dan mungkin hal itu terjadi karena ketidaktahuan yang bergabung dengan keingintahuan…”
“Tepat seperti itu. Ketidaktahuan yang bergabung dengan keingintahuan—
itulah intinya. Tetapi karena itu tak jauh beda dengan permainan tebakan,
maka hasilnya sangat tak terprediksi. Yang jadi masalah, harga permainan ini
sangat mahal—oh, luar biasa mahal. Seperti yang sering kita dengar,
harganya tak sebanding dengan taruhannya.”
“Mungkin bahkan seharga kehidupan itu sendiri,
dan taruhannya adalah kematian.”
“Bagus sekali caramu menyatakannya.”
“Tapi, Aunt, kenapa orang-orang mau melakukannya?”
“Siapa yang tahu? Pelajaran yang mereka warisi, sistem nilai, kebudayaan,
keyakinan, afeksi, norma, ketidaktahuan… whatever! Seperti yang dulu
kamu tulis itu, tuangkan saja—dan mereka pun tertuang,
ke dalam gelas... atau yang lainnya.”
(a.u kepada h.m)
“Tebak semangka?”
“Hahaha… tebak semangka! Kita memang tidak pernah tahu, kan?”
“Tidak pernah tahu. Dan mungkin hal itu terjadi karena ketidaktahuan yang bergabung dengan keingintahuan…”
“Tepat seperti itu. Ketidaktahuan yang bergabung dengan keingintahuan—
itulah intinya. Tetapi karena itu tak jauh beda dengan permainan tebakan,
maka hasilnya sangat tak terprediksi. Yang jadi masalah, harga permainan ini
sangat mahal—oh, luar biasa mahal. Seperti yang sering kita dengar,
harganya tak sebanding dengan taruhannya.”
“Mungkin bahkan seharga kehidupan itu sendiri,
dan taruhannya adalah kematian.”
“Bagus sekali caramu menyatakannya.”
“Tapi, Aunt, kenapa orang-orang mau melakukannya?”
“Siapa yang tahu? Pelajaran yang mereka warisi, sistem nilai, kebudayaan,
keyakinan, afeksi, norma, ketidaktahuan… whatever! Seperti yang dulu
kamu tulis itu, tuangkan saja—dan mereka pun tertuang,
ke dalam gelas... atau yang lainnya.”
(a.u kepada h.m)
Dear Aunt,
Saat Aunt membaca surat ini, saya berharap Aunt dalam keadaan sehat, dan selalu dalam limpahan kasih Tuhan. Mungkin Aunt tersenyum karena mendapati saya menulis surat ini di sini, tetapi saya ingin dunia tahu bahwa saya menghormati dan mengasihi Aunt—untuk semua yang berlalu, dan untuk semua yang akan berlaku.
Saya sering mendengar, dan membaca, bahwa keyakinan akan semakin terteguhkan ketika menyaksikan pembuktian. Menyaksikan Aunt adalah menyaksikan pembuktian keyakinan saya, melihat bahwa paradigma hidup yang saya pegang teguh menemukan muara kepastiannya. Aunt telah memekarkan bunga layu di hati saya, menguatkan kerapuhan jalan hidup untuk sebuah pilihan.
Pada tebing-tebing sunyi—pada padang bayang kelabu.
Ada malam-malam penuh kegelisahan yang pernah saya lewati, saat saya menimbang, dan memikirkan, dan merenungkan, dan memikirkannya kembali.
Ini soal hidup, ini soal pilihan—dan saya menyadari bahwa siapa kita bergantung sepenuhnya pada pilihan yang kita ambil. Tetapi saya tetap saja ragu, dan tak yakin—bimbang dan penuh ketidakpastian. Itu adalah masa penuh kegelisahan yang pernah saya alami—sebentuk kegelisahan yang tetap saja terasakan hingga sekarang, hingga malam ini, hingga saya menulis surat ini.
Menuliskan kata-kata ini adalah membisikkan imaji tentang hati, tentang rindu, tentang tebing-tebing sunyi dan padang bayang kelabu. Membebaskan mata ini untuk melihat, untuk menyaksikan sesuatu yang terbentang… luas tak berbatas. Membayangkan saya duduk bersama Aunt, di larut malam atau di saat senja, dan berbincang tentang hidup, menertawakannya, menyanyikannya, merayakannya.
“Hidup adalah nyanyian angin di antara rahang dan taring serigala,” itu yang pernah saya katakan, tetapi Aunt menggelengkan kepala, dan berbisik, “Tidak, hidup adalah nyanyian angin di batas tembok.”
Di batas tembok itulah kita hidup, dan angin menghembuskan nyanyiannya. Pada apa pada siapa, pada mula yang tak bermula. Ada yang telah melangkah masuk, meninggalkan yang harus ditinggalkan dan menemukan yang harus ditemukan. Bintang jatuh. Nyanyian pelangi. Percik cahaya.
Ketika pertama kali saya menyadari kenyataan ini, saya tahu hidup saya tak akan pernah sama lagi. Akan ada yang saya tinggalkan, tetapi saya pun tahu bahwa sesuatu yang akan menjelang jauh lebih menakjubkan dari yang tertinggal di belakang—seperti menyongsong cahaya dari arah kegelapan, seperti pagi yang menjelang setelah hening sampai di puncak malam.
Selama bertahun-tahun saya merasakan kegelisahan ini, sendirian, nelangsa dalam perih kebingungan di malam-malam ngelangut… merasakan kerinduan kelam seperti merobek langit dengan suara sangkakala. Sendirian menyaksikan bintang jatuh, rembulan runtuh, dan cahaya di balik tembok. Selama bertahun-tahun saya menyimpannya sendiri, merasakan dunia yang semakin menjauh…
Pertemuan dengan Aunt adalah berkat tak terkatakan, suara sunyi yang saya rasakan, jawaban atas doa-doa tak terucap di hening malam. Untuk pertanyaan-pertanyaan tak terjawab, untuk teriakan-teriakan yang tak pernah terucap.
Kita berbicara dalam sunyi, sementara tembok menjauh, dan Aunt menggandeng tangan saya memasuki takdir yang telah lama saya rindukan. Ketika melangkah di sana, saya tahu tembok itu ada di belakang punggung saya. Tetapi berbeda dengan Aunt yang dapat melangkah dengan sepenuh keyakinan, saya berjalan dan melangkah dengan keraguan.
Saya tak pernah tahu sampai kapankah semua ini akan berlangsung. Setiap kali saya mulai kembali melangkah, jeritan-jeritan itu kembali terdengar, memekakkan telinga, menarik kembali langkah-langkah saya. Ini seperti jeritan dalam mimpi—terdengar memekakkan telinga, tetapi hanya saya yang mendengarnya.
Saat ini, saat saya menulis surat ini, saya sedang merindukan Aunt. Saya berharap bisa segera pulang, untuk kembali menjumpai Aunt, untuk kembali menyaksikan keteguhan atas keyakinan dan pilihan hati. Dan sekarang…
“Kelanjutannya rahasia,” itu yang biasa Aunt ucapkan. Jadi itu pula yang ingin saya katakan sekarang. Ini surat yang belum selesai, tetapi biarlah kelanjutannya menjadi rahasia saat ini. Nanti, setelah saya pulang dan mencium tangan Aunt, saya akan melanjutkan isi surat ini. Tidak lagi dalam tulisan, tetapi akan langsung saya katakan.
Terakhir, sebagai penutup surat ini, saya ingin mengutip Shakespeare dalam ‘A Midsummer Night’s Dream’, “Haruskah kubandingkan dirimu dengan hari-hari di musim panas? Kau penuh kasih dan ketabahan. Angin kencang mengguncang-guncang pucuk semi bulan Mei, lidah kemarau meranggas, semuanya begitu cepat. Kadang teramat panas mata langit terik menyengat.
“Larik-larik cahaya emasnya suram. Dan keindahan demi keindahan surut, oleh waktu, atau perubahan alam tak seimbang—tapi musim panasmu tak kan pudar, tak juga sirna keindahan yang kautunjukkan—kematian pun tak berani angkuh kepadamu yang kembara dalam genggamannya, di saat kau tumbuh di batas keabadian masa, selama orang-orang bisa menghela napas atau mata dengan melihat sepanjang perjalanan hidup, semua ini memberi kehidupan untukmu.”
Selamat merayakan kesunyian, Aunt.
Semoga selalu dalam kasih sayang Tuhan.
Dengan sepenuh kasih,