Senin, 03 September 2012

Muntah-muntah di Blog

Sering kali aku berpikir,
salah satu kenikmatan di dunia ini adalah berpikir.
@noffret


Saya bersyukur punya blog, karena melalui blog saya bisa “muntah-muntah” kapan pun saya perlu. Blog, bagi saya, adalah tempat mengarsipkan pikiran, sekaligus memuntahkan pemikiran. Selain itu, blog ikut membantu menjaga “kewarasan” otak saya. Tanpa blog, mungkin sekarang saya sudah gila.

Untuk memahami paragraf di atas, bayangkanlah kita makan dalam jumlah sangat banyak. Sebegitu banyaknya, sampai-sampai kita kekenyangan, dan merasakan perut sangat penuh, hingga ikat pinggang terasa sangat kencang. Dalam kondisi seperti itu, biasanya yang kita lakukan adalah duduk menyandar, seolah tak bisa berdiri atau bergerak. Yang cowok mungkin akan mengendurkan ikat pinggang, sambil menikmati rokok. Yang cewek… entahlah.

Ketika menikmati makanan yang enak, kita sering kali “lupa diri” hingga makan dengan “rakus”. Itu hal lumrah, dan saya pun begitu. Biasanya, tidak lama setelah kekenyangan seperti itu, kita pun perlu buang air besar untuk kembali mengosongkan atau mengendurkan perut yang amat kencang. Jika kita terus makan sampai kekenyangan tapi tak pernah buang air besar, mungkin perut kita akan meledak.

Nah, dalam versi tak jauh beda, begitu pula pikiran kita. Kalau kita memberi makan pikiran dalam jumlah banyak hingga pikiran merasa “kekenyangan”, ia juga perlu penyaluran untuk “buang air besar” agar tidak terasa berat. Jika kita terus memberi makan pikiran tanpa henti tapi tak pernah memberi kesempatan kepadanya untuk “muntah”, lama-lama kita bisa stres.

Jika makanan untuk tubuh adalah asupan fisik semisal nasi, roti, batagor, atau lainnya, makanan untuk pikiran adalah bacaan, tontonan, realitas, refleksi, dan hal-hal semacamnya. Jika “ampas” makanan tubuh berbentuk kotoran atau feses, maka “muntahan” pikiran berbentuk pemikiran, hasil pembelajaran, ataupun kristal-kristal kontemplasi. Intinya sama, setelah “kekenyangan”, tubuh maupun pikiran perlu diberi kesempatan untuk “mengeluarkan”.

Dalam hal ini, saya memberi makanan untuk pikiran saya dalam jumlah sangat banyak, dalam waktu yang nyaris tanpa henti. Ada banyak hal yang masuk ke dalam pikiran saya, dari persoalan-persoalan berat sampai hal-hal remeh. Dari urusan pribadi sampai realitas sehari-hari. Dari kenangan-kenangan masa silam sampai tumpukan majalah dan buku-buku bacaan. Semuanya masuk ke dalam pikiran saya tanpa henti, setiap hari, dari pagi sampai pagi lagi.

Jika semua yang telah masuk itu tidak dikeluarkan kembali, lama-lama saya akan stres. Sebagaimana kita makan terlalu banyak hingga perut sangat kencang, pikiran yang terlalu banyak makan juga bisa membuatnya “kencang”. Ketika itu terjadi, kepala pun terasa panas. Harus ada penyaluran, agar sebagian bisa keluar. Setelah sisa makanan dikeluarkan, perut pun jadi terasa lega. Begitu pula dengan pikiran.

Jadi, saya pun bersyukur karena memiliki blog. Blog adalah salah satu tempat saya “muntah-muntah” untuk mengeluarkan semua yang telah saya cerna di dalam pikiran. Melalui blog, saya bisa mengeluarkan apa pun yang ingin saya keluarkan, agar pikiran bisa terasa lega. Karenanya pula, seperti yang telah disebutkan di atas, mungkin saya bisa gila kalau tak punya blog, akibat menumpuknya pemikiran tanpa penyaluran.

Seorang teman sesama penulis—yang jarang ngeblog—pernah bertanya, “Da’, apa sih manfaat ngeblog buat kamu?” Dengan jujur saya menjawab, “Manfaatnya untuk menjaga kesehatan otak.” Menulis adalah terapi bagi saya untuk mengelola stres, sekaligus untuk merawat dan menjaga kesehatan pikiran.

Dalam keseharian, kadang saya mendapati hal sepele. Tetapi, hal sepele itu kemudian menjadi tak sepele lagi ketika telah masuk ke otak saya. Contoh paling nyata untuk mengilustrasikan hal ini terdapat dalam catatan Pusing Mikir Perempuan. Seperti yang dapat kita baca dalam catatan itu, masalahnya sangat sepele; tentang perempuan yang suka mengambil bakwan bersama nampannya.

Itu sangat sepele, remeh, bahkan mungkin tak dihiraukan orang lain. Tetapi hal sepele itu menjadi tak sepele lagi ketika telah tertangkap otak saya. Hanya karena peristiwa sepele itu, impuls-impuls memori dalam otak saya berputar mengaduk-aduk sekian banyak arsip bacaan yang pernah saya telan—dari teori Sigmund Freud, sampai metode penelitian kualitatif dan kuantitatif. Hasilnya, saya pusing!

Sejujurnya, saya tidak menginginkan hal semacam itu. Saya ingin seperti orang lain pada umumnya, yang dapat melihat hal biasa sebagai hal biasa, tanpa jadi pusing karenanya. Tapi sepertinya memang ada yang salah dengan kepala saya. Dan akibatnya seperti yang sekarang terjadi. Melihat gorengan bakwan saja, pikiran saya sudah mengembara ke tumpukan teori dan rumitnya analisis. Itu baru melihat bakwan, apalagi kalau melihat… tak usah dilanjutkan!

Nah, ketika hal semacam itu terjadi, saya butuh tempat untuk memuntahkannya, sebagai semacam pelampiasan rasa pusing. Dalam hal ini, blog benar-benar tempat sempurna untuk melakukannya. Lewat blog, saya bisa “muntah-muntah” kapan pun, sebanyak atau sesedikit apa pun, agar pikiran saya bisa fresh kembali. Kenyataannya, pikiran saya memang jadi lebih segar setelah saya “muntah” dalam bentuk tulisan.

Di blog, saya mendapatkan kemerdekaan dan kebebasan berekspresi yang tidak saya dapatkan di mana pun. Seperti yang dapat kalian lihat, di blog ini saya menulis “seenaknya sendiri”. Kadang ada posting yang panjangnya melebihi makalah. Kadang pula ada yang lebih singkat dibanding SMS. Semua itu memang tergantung pada berapa banyak yang perlu “dimuntahkan” dari kepala.

Meski tujuannya untuk “muntah”, namun saya memiliki standar pribadi dalam hal ini. Bagaimana pun, saya ingin “muntah dengan elegan”. Karenanya, sebisa mungkin saya menjaga kualitas “muntahan” saya, agar orang-orang yang kebetulan menemukan bisa ikut menikmatinya. Kenyataan bahwa ternyata ada cukup banyak orang yang menyukai “muntahan” saya, itu benar-benar fakta mengejutkan sekaligus menyenangkan.

Lebih menyenangkan lagi ketika akhirnya “muntahan-muntahan” itu bahkan diterbitkan menjadi buku. Bulan kemarin, ada buku baru saya yang terbit, berjudul Berciuman dengan Mata Terpejam. Dalam buku ini, ada 65 (enam puluh lima) catatan saya di blog yang dikumpulkan, dari catatan pendek sampai posting-posting panjang. Bagi siapa pun yang ingin kembali membaca tulisan-tulisan saya secara lebih utuh dan lebih mudah, buku ini perlu dijadikan koleksi.







Pelajaran yang bisa kita ambil dari catatan ini adalah “muntah dengan elegan”. Seperti diary atau catatan harian, salah satu fungsi blog adalah untuk mengeluarkan uneg-uneg yang ada dalam pikiran pemiliknya. Kita semua bisa memuntahkan apa pun di blog, dengan tujuan dan motivasi apa pun. Tetapi, meminjam istilah Internet Sehat, “Think before posting”, berpikirlah sebelum menulis. Khususnya lagi kalau kita ingin “muntahan” itu bermanfaat bagi orang lain.

Untuk mengakhiri catatan ini, saya ingin mengucapkan terima kasih kepada siapa pun yang telah rutin mengunjungi blog ini. Terima kasih spesial untuk Penerbit Diva Press yang telah membukukan dan menerbitkan pemikiran-pemikiran saya hingga dapat dibaca lebih luas lagi. Juga terima kasih untuk kehidupan beserta seluruh isinya, yang telah mengajarkan saya muntah dengan elegan.

 
;