Rabu, 04 Juli 2012

Pusing Mikir Perempuan (1)

Perempuaaaaaaaaaan, perempuan!
*Pusingcampurgimanagitu*
@noffret


Ini kisah tentang perempuan. Dan gorengan bakwan. Dan otak saya yang sepertinya suka usil dengan hal-hal beginian. Kepada para perempuan yang kebetulan membaca catatan ini, tolong tegur saya jika uraian di bawah ini terkesan berlebihan.

Jadi, tidak jauh dari rumah saya ada penjual mie ayam. Saya suka mampir ke sana. Bukan karena mie ayamnya enak, tapi karena di tempat itu ada gorengan bakwan panas yang benar-benar lezat. Kau tahu, saya suka gorengan panas, khususnya bakwan. Khususnya lagi gorengan bakwan panas yang memang enak.

Kalau saya masuk ke warung mie ayam itu, di sana ada senampan gorengan bakwan. Jika saya perhatikan, gorengan itu disuplai oleh seseorang yang (mungkin) khusus membuat bakwan. Jadi, secara berkala, si suplayer akan mengirimkan senampan bakwan ke tempat penjual mie ayam. Hanya satu nampan—mungkin jumlahnya sekitar 20 sampai 30-an biji.

Ketika stok bakwan itu habis, si penjual mie ayam akan menghubungi si suplayer, dan senampan bakwan panas kembali dikirimkan ke sana. Karena itulah, bakwan di tempat itu selalu dalam kondisi panas dan enak, dan hanya ada satu nampan.

Nah, gorengan bakwan itu seringnya diletakkan di meja bagian tengah. Dalam hal ini, kemungkinan besar si penjual mie ayam—atau juga si suplayer bakwan—sengaja menempatkannya di sana, agar para pengunjung warung bisa mudah mengambilnya, meski duduk di bagian mana pun.

Setiap kali masuk ke warung itu, saya akan memesan teh hangat, atau teh es kalau kebetulan cuaca sangat panas. Sambil menunggu mie ayam dibuat, saya pun mengambil sebiji atau dua biji bakwan panas di sana, dan menikmatinya. Seperti umumnya pengunjung lain, saya akan mengambil sejumlah bakwan yang saya perlukan, dan membawanya ke tempat duduk.

Tolong perhatikan kalimat itu. Seperti umumnya pengunjung lain, saya akan mengambil sejumlah bakwan yang saya perlukan, dan membawanya ke tempat duduk. Saya—juga para pembeli lain—tentu memahami bahwa semua pengunjung warung punya hak sama untuk mengambil bakwan itu. Toh kami sama-sama pembeli, sama-sama membayar, dan senampan bakwan itu disediakan untuk semua pengunjung.

Nah, jika saya perhatikan, ada perbedaan yang sangat aneh antara pengunjung laki-laki dan pengunjung perempuan, dalam hubungannya dengan bakwan. Laki-laki yang datang ke warung mie ayam itu, melakukan hal sama seperti saya—mengambil sejumlah bakwan yang diperlukan, dan membawanya ke tempat duduk. Pengunjung perempuan berbeda. Mereka akan membawa seluruh bakwan yang ada di nampan itu ke mejanya, meski sebenarnya mereka hanya perlu sebiji atau dua biji.

Saya mulai memperhatikan hal ini ketika beberapa kali butuh mengambil bakwan, tapi kemudian melihat nampan bakwan itu ada di hadapan dua cewek yang sedang makan mie ayam. Posisinya tidak lagi di meja tengah, tapi di depan dua cewek tersebut. Selera saya langsung lenyap, dan saya tidak berminat mengambil gorengan itu, meski sebenarnya sangat kepengin.

Oke, kita ngomong blak-blakan saja. Dan mari kita lihat kenyataan yang terjadi ketika makan mie ayam. Seperti umumnya orang lain, kita menggunakan sumpit untuk memakannya. Proses memasukkan mie bercampur kuah kental dari sumpit ke mulut selalu memungkinkan adanya partikel yang “muncrat” dari mulut kita, meski tidak kita sadari. Jika kita makan sambil bercakap-cakap, maka partikel yang “muncrat” dari mulut kita semakin banyak.

Jika ingin membuktikan hal ini, cobalah ambil tisu secukupnya, lalu letakkan hingga merata di sekitar kita makan mie ayam. Seusai kita menghabiskan semangkuk mie ayam, hampir bisa dipastikan akan terlihat noda-noda bekas kuah mie ayam. Noda-noda itu bisa dari tetesan ketika kita mengangkat sumpit, bisa pula karena adanya “muncratan” dari mulut kita.

Nah, jika senampan bakwan ada di hadapan dua orang yang makan mie ayam sambil bercakap-cakap, hampir bisa dipastikan akan ada sekian juta partikel tak terlihat yang tumpah di sana.

Lanjut ke sini.

 
;