Posting ini lanjutan posting sebelumnya. Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik, sebaiknya bacalah posting sebelumnya terlebih dulu.
Sejujurnya, saya bukan orang yang sangat menjaga kebersihan atau kesehatan. Tapi membayangkan bakwan favorit saya ada di hadapan dua orang yang makan mie ayam sambil bercakap-cakap, benar-benar membuat selera saya hilang.
Yang membuat heran, kenyataan seperti itu selalu terjadi pada perempuan. Seperti yang disebut di atas, pengunjung lelaki mengambil bakwan seperlunya. Sementara pengunjung perempuan membawa nampannya sekaligus. Ketika mendapati kenyataan itu satu kali, saya cuek beibeh. Ketika hal itu terjadi dua kali, insting saya mulai bekerja. Ketika akhirnya hal sama terjadi tiga kali, saya mulai memperhatikan.
Bocah-bocah yang bekerja dalam bidang intelijen sangat hafal doktrin penting dalam pekerjaan mereka, “Tidak ada kebetulan.” Ketika bocah-bocah itu akan dilepas ke dunia luas untuk mulai bekerja, instruktur mereka akan mengingatkan dengan tegas, “Jangan pernah percaya pada kebetulan. Di dunia ini, khususnya dalam pekerjaan kita, tidak ada makhluk absurd bernama kebetulan!”
Saya tidak bekerja dalam bidang intelijen, jadi saya percaya adanya kebetulan di dunia ini. Seaneh apa pun, suatu peristiwa bisa saja hanya kebetulan, jika terjadi satu kali, atau dua kali. Tetapi jika suatu peristiwa terjadi tiga kali—apalagi berturut-turut di tempat sama, dan berhubungan dengan hal yang sama—hampir bisa dipastikan itu bukan kebetulan. Temuan-temuan penting dalam bidang medis dan psikologi banyak yang berawal dari hal semacam itu.
Jadi, ketika berkali-kali mendapati kejadian nampan bakwan berpindah tempat dari meja tengah ke meja lain setelah adanya pengunjung perempuan di warung mie ayam itu, saya pun mulai memperhatikan. Ternyata kejadian itu terus berulang, dan terus berulang.
Ada banyak waktu ketika saya sengaja duduk lama di warung itu, hanya untuk membuktikan hal tersebut. Kadang, sehabis menikmati bakwan dan mie ayam, saya tidak langsung pergi, tapi duduk santai sambil menikmati rokok. Lalu menunggu pembeli lain datang, untuk memuaskan rasa penasaran saya.
Nyatanya memang terjadi—tepat seperti yang saya perkirakan. Ketika pembeli laki-laki datang, dan melihat bakwan panas di meja tengah, dia akan mengambil bakwan sesuai keperluannya, lalu menikmati di mejanya. Tetapi, ketika pembeli perempuan yang datang—khususnya jika lebih dari satu orang—mereka akan mengambil nampan beserta seluruh bakwan ke mejanya. Atau, jika yang datang laki-laki dan perempuan (biasanya sepasang pacar), si perempuan juga akan mengambil nampan itu, dan membawa semua bakwan ke meja mereka.
Bukankah ini aneh…?
Memang, saya harus mengakui, ada beberapa perempuan yang “tahu diri”. Ketika mereka pengin bakwan di warung itu, mereka hanya mengambil seperlunya saja, dan meninggalkan nampan bakwan tetap di tempat semula. Tetapi, jujur pula harus saya katakan, prosentasenya sangat kecil. Dari dua puluh perempuan, mungkin hanya satu yang tahu “sopan santun” semacam itu, sementara yang lain bertingkah seolah bakwan-bakwan itu hanya disiapkan untuknya.
Apakah kenyataan di atas sudah bisa digunakan untuk menarik kesimpulan? Tentu saja belum, karena yang saya lihat hanya satu lokasi. Artinya, bisa jadi peristiwa yang panjang lebar saya jelaskan di atas hanya kasuistis. Karena itu pula, untuk memuaskan rasa penasaran, saya pun sengaja berkeliling ke warung-warung pinggir jalan—khususnya yang juga menyediakan menu gorengan atau semacamnya—untuk melihat apakah kasus aneh itu juga terjadi di tempat-tempat lain.
Ternyata memang terjadi.
Kemana pun saya masuk warung, hal pertama yang akan saya perhatikan adalah letak gorengan atau jajan lain semacamnya yang ditaruh di atas nampan—khususnya nampan berukuran kecil atau sedang, sebagaimana yang ada di warung mie ayam yang saya gunakan sebagai sampel awal. Kemudian, saya akan memperhatikan pula orang-orang yang masuk, dan menyaksikan reaksi mereka ketika akan mengambil gorengan.
Keanehan itu terjadi di mana-mana. Pembeli laki-laki melihat gorengan di atas meja, lalu mengambil beberapa biji, dan membawanya ke tempat duduknya. Tetapi, pembeli perempuan selalu menunjukkan reaksi berbeda. Mereka biasanya akan duduk sambil bercakap-cakap dengan temannya, lalu—ketika mulai tengak-tengok dan melihat gorengan—mereka akan langsung mengangkut nampan gorengan itu ke mejanya!
Apa yang terjadi di sini? Seperti yang telah disebutkan di atas, sesuatu mungkin saja kebetulan jika hanya terjadi satu kali dua kali. Tapi jika terjadi lebih dari tiga kali, apalagi terus-menerus dan di tempat-tempat berbeda, jelas itu bukan kebetulan lagi. Pasti ada yang tidak beres di sini. Dan tentu saja yang tidak beres bukan bakwannya.
Nah, dalam beberapa kesempatan, saya pernah nekat menanyakan hal itu pada beberapa perempuan yang kebetulan melakukan “perbuatan tidak sopan” seperti di atas. Saya tanya apa motivasi mereka memindahkan nampan bakwan itu ke meja mereka, padahal yang mereka butuhkan hanya sebiji atau dua biji? Dan, well, kalian tahu apa reaksi mereka?
Beberapa perempuan itu mendadak heran. Beberapa lagi mengaku tidak sadar telah melakukan hal itu. Sebagian lagi dengan jujur menjawab bahwa perbuatan itu—mengangkut senampan bakwan dengan tanpa dosa ke meja mereka—adalah hal biasa. Sementara beberapa yang lain menyatakan, “Lhoh, memangnya nggak boleh, ya?”
Jawaban terakhir itu membuat saya bengong.
Inti paling penting dalam hal ini bukan bakwannya semata-mata. Tapi kesadaran untuk tidak mengambil sesuatu yang sebenarnya milik publik, dan menguasainya seolah-olah milik pribadi. Oh, well, tentu saja setiap orang masih boleh mengambil bakwan ketika nampan bakwan itu ada di depan perempuan yang sedang makan mie ayam. Tapi saya tidak punya selera melakukannya karena alasan yang telah saya sebutkan. Memangnya siapa yang masih punya selera menyantap bakwan jika tahu telah “tercemar” muncratan partikel dari mulut orang lain?
Dan bakwan hanyalah kasus kecil dalam hal-hal semacam itu. Dalam kehidupan kita yang luas, ada banyak sarana publik yang sengaja diambil dan dikuasai seolah-olah itu milik pribadi. Trotoar, misalnya. Itu kan sarana milik publik, khususnya untuk para pejalan kaki. Tapi sarana yang jelas ditujukan untuk publik itu kini telah beralih seolah milik pribadi, hingga sebagian orang merasa punya hak untuk menggunakan, bahkan menguasainya, sementara sebagian lain merasa terganggu ketika akan menggunakannya.
Yang paling menyedihkan dalam hal ini, sering kali kita tidak sadar ketika telah merampas milik publik, sebagaimana para perempuan yang tidak sadar telah mengambil senampan bakwan di warung mie ayam. Ya, tidak sadar bahwa itu kekeliruan.
*) Tadinya, judul catatan ini adalah Tinjauan Otak Perempuan Dalam Pengaruhnya Terhadap Gorengan Bakwan Di Warung Mie Ayam Dan Implikasinya Berdasarkan Teori Sigmund Freud. Tapi kemudian saya sadar, ini cuma catatan iseng, bukan skripsi atau disertasi!
***
Sejujurnya, saya bukan orang yang sangat menjaga kebersihan atau kesehatan. Tapi membayangkan bakwan favorit saya ada di hadapan dua orang yang makan mie ayam sambil bercakap-cakap, benar-benar membuat selera saya hilang.
Yang membuat heran, kenyataan seperti itu selalu terjadi pada perempuan. Seperti yang disebut di atas, pengunjung lelaki mengambil bakwan seperlunya. Sementara pengunjung perempuan membawa nampannya sekaligus. Ketika mendapati kenyataan itu satu kali, saya cuek beibeh. Ketika hal itu terjadi dua kali, insting saya mulai bekerja. Ketika akhirnya hal sama terjadi tiga kali, saya mulai memperhatikan.
Bocah-bocah yang bekerja dalam bidang intelijen sangat hafal doktrin penting dalam pekerjaan mereka, “Tidak ada kebetulan.” Ketika bocah-bocah itu akan dilepas ke dunia luas untuk mulai bekerja, instruktur mereka akan mengingatkan dengan tegas, “Jangan pernah percaya pada kebetulan. Di dunia ini, khususnya dalam pekerjaan kita, tidak ada makhluk absurd bernama kebetulan!”
Saya tidak bekerja dalam bidang intelijen, jadi saya percaya adanya kebetulan di dunia ini. Seaneh apa pun, suatu peristiwa bisa saja hanya kebetulan, jika terjadi satu kali, atau dua kali. Tetapi jika suatu peristiwa terjadi tiga kali—apalagi berturut-turut di tempat sama, dan berhubungan dengan hal yang sama—hampir bisa dipastikan itu bukan kebetulan. Temuan-temuan penting dalam bidang medis dan psikologi banyak yang berawal dari hal semacam itu.
Jadi, ketika berkali-kali mendapati kejadian nampan bakwan berpindah tempat dari meja tengah ke meja lain setelah adanya pengunjung perempuan di warung mie ayam itu, saya pun mulai memperhatikan. Ternyata kejadian itu terus berulang, dan terus berulang.
Ada banyak waktu ketika saya sengaja duduk lama di warung itu, hanya untuk membuktikan hal tersebut. Kadang, sehabis menikmati bakwan dan mie ayam, saya tidak langsung pergi, tapi duduk santai sambil menikmati rokok. Lalu menunggu pembeli lain datang, untuk memuaskan rasa penasaran saya.
Nyatanya memang terjadi—tepat seperti yang saya perkirakan. Ketika pembeli laki-laki datang, dan melihat bakwan panas di meja tengah, dia akan mengambil bakwan sesuai keperluannya, lalu menikmati di mejanya. Tetapi, ketika pembeli perempuan yang datang—khususnya jika lebih dari satu orang—mereka akan mengambil nampan beserta seluruh bakwan ke mejanya. Atau, jika yang datang laki-laki dan perempuan (biasanya sepasang pacar), si perempuan juga akan mengambil nampan itu, dan membawa semua bakwan ke meja mereka.
Bukankah ini aneh…?
Memang, saya harus mengakui, ada beberapa perempuan yang “tahu diri”. Ketika mereka pengin bakwan di warung itu, mereka hanya mengambil seperlunya saja, dan meninggalkan nampan bakwan tetap di tempat semula. Tetapi, jujur pula harus saya katakan, prosentasenya sangat kecil. Dari dua puluh perempuan, mungkin hanya satu yang tahu “sopan santun” semacam itu, sementara yang lain bertingkah seolah bakwan-bakwan itu hanya disiapkan untuknya.
Apakah kenyataan di atas sudah bisa digunakan untuk menarik kesimpulan? Tentu saja belum, karena yang saya lihat hanya satu lokasi. Artinya, bisa jadi peristiwa yang panjang lebar saya jelaskan di atas hanya kasuistis. Karena itu pula, untuk memuaskan rasa penasaran, saya pun sengaja berkeliling ke warung-warung pinggir jalan—khususnya yang juga menyediakan menu gorengan atau semacamnya—untuk melihat apakah kasus aneh itu juga terjadi di tempat-tempat lain.
Ternyata memang terjadi.
Kemana pun saya masuk warung, hal pertama yang akan saya perhatikan adalah letak gorengan atau jajan lain semacamnya yang ditaruh di atas nampan—khususnya nampan berukuran kecil atau sedang, sebagaimana yang ada di warung mie ayam yang saya gunakan sebagai sampel awal. Kemudian, saya akan memperhatikan pula orang-orang yang masuk, dan menyaksikan reaksi mereka ketika akan mengambil gorengan.
Keanehan itu terjadi di mana-mana. Pembeli laki-laki melihat gorengan di atas meja, lalu mengambil beberapa biji, dan membawanya ke tempat duduknya. Tetapi, pembeli perempuan selalu menunjukkan reaksi berbeda. Mereka biasanya akan duduk sambil bercakap-cakap dengan temannya, lalu—ketika mulai tengak-tengok dan melihat gorengan—mereka akan langsung mengangkut nampan gorengan itu ke mejanya!
Apa yang terjadi di sini? Seperti yang telah disebutkan di atas, sesuatu mungkin saja kebetulan jika hanya terjadi satu kali dua kali. Tapi jika terjadi lebih dari tiga kali, apalagi terus-menerus dan di tempat-tempat berbeda, jelas itu bukan kebetulan lagi. Pasti ada yang tidak beres di sini. Dan tentu saja yang tidak beres bukan bakwannya.
Nah, dalam beberapa kesempatan, saya pernah nekat menanyakan hal itu pada beberapa perempuan yang kebetulan melakukan “perbuatan tidak sopan” seperti di atas. Saya tanya apa motivasi mereka memindahkan nampan bakwan itu ke meja mereka, padahal yang mereka butuhkan hanya sebiji atau dua biji? Dan, well, kalian tahu apa reaksi mereka?
Beberapa perempuan itu mendadak heran. Beberapa lagi mengaku tidak sadar telah melakukan hal itu. Sebagian lagi dengan jujur menjawab bahwa perbuatan itu—mengangkut senampan bakwan dengan tanpa dosa ke meja mereka—adalah hal biasa. Sementara beberapa yang lain menyatakan, “Lhoh, memangnya nggak boleh, ya?”
Jawaban terakhir itu membuat saya bengong.
Inti paling penting dalam hal ini bukan bakwannya semata-mata. Tapi kesadaran untuk tidak mengambil sesuatu yang sebenarnya milik publik, dan menguasainya seolah-olah milik pribadi. Oh, well, tentu saja setiap orang masih boleh mengambil bakwan ketika nampan bakwan itu ada di depan perempuan yang sedang makan mie ayam. Tapi saya tidak punya selera melakukannya karena alasan yang telah saya sebutkan. Memangnya siapa yang masih punya selera menyantap bakwan jika tahu telah “tercemar” muncratan partikel dari mulut orang lain?
Dan bakwan hanyalah kasus kecil dalam hal-hal semacam itu. Dalam kehidupan kita yang luas, ada banyak sarana publik yang sengaja diambil dan dikuasai seolah-olah itu milik pribadi. Trotoar, misalnya. Itu kan sarana milik publik, khususnya untuk para pejalan kaki. Tapi sarana yang jelas ditujukan untuk publik itu kini telah beralih seolah milik pribadi, hingga sebagian orang merasa punya hak untuk menggunakan, bahkan menguasainya, sementara sebagian lain merasa terganggu ketika akan menggunakannya.
Yang paling menyedihkan dalam hal ini, sering kali kita tidak sadar ketika telah merampas milik publik, sebagaimana para perempuan yang tidak sadar telah mengambil senampan bakwan di warung mie ayam. Ya, tidak sadar bahwa itu kekeliruan.
*) Tadinya, judul catatan ini adalah Tinjauan Otak Perempuan Dalam Pengaruhnya Terhadap Gorengan Bakwan Di Warung Mie Ayam Dan Implikasinya Berdasarkan Teori Sigmund Freud. Tapi kemudian saya sadar, ini cuma catatan iseng, bukan skripsi atau disertasi!