—ditulis di sebuah lobi, bersama empat batang rokok
Sesi pertama acara itu selesai tepat pukul 12.00 siang, dan orang-orang yang ada di dalam ruangan itu segera menghambur ke deretan meja tempat es krim disediakan. Ada sebagian kalangan yang meyakini bahwa es krim adalah sarana ampuh untuk “terapi mendinginkan kepala”—silakan cari sendiri sumber ilmiahnya. Jadi, dalam acara-acara seperti siang itu, berkilo-kilo es krim pun dibawa ke sana, siap mendinginkan kepala-kepala yang panas setelah memikirkan hal-hal berat.
Saya pun mengambil semangkuk es krim, lalu membawanya ke luar, untuk mencari tempat yang membebaskan saya merokok. Di sebuah lobi yang kosong, saya duduk, menghabiskan es krim, lalu menyulut rokok. Siang yang hebat, pikir saya sambil merasakan kepala yang berdenyut. Saya menyandarkan punggung dan kepala, lalu menikmati asap rokok.
Asap rokok itu hampir mencekik tenggorokan ketika seorang anak perempuan kecil tiba-tiba berdiri di hadapan saya. Bagaimana bocah ini bisa sampai di sini, pikir saya dengan bingung. Saya menegakkan duduk, dan menatap sesosok tubuh kecil, dengan pakaian dekil, menatap ke arah saya. Entah bagaimana caranya, bocah ini telah menerobos sepasukan sekuriti di depan, dan entah bagaimana caranya pula ia sekarang bisa berdiri di hadapan saya.
Anak perempuan itu berkata takut-takut, “Om, kasih uangnya, Om…”
Mengingat tempat saya berada waktu itu, saya masih belum yakin kalau sekarang sedang berhadapan dengan pengemis. “Ya…?” ujar saya dengan bingung.
“Minta uang, Om,” ulang anak kecil itu. “Udah dua hari saya belum makan…”
Saya bukan orang yang welas asih. Tetapi melihat sesosok bocah perempuan kecil berpakaian dekil yang mengatakan belum makan dua hari membuat hati saya menangis. Saya pernah mengalami masa-masa kelaparan, dan saya pun tahu seperti apa perihnya menahan lapar. Jadi, saya pun segera merogoh dompet, dan memberikan uang untuknya—dan diam-diam berdoa semoga itu cukup untuk mengenyangkan perutnya.
Anak perempuan itu memandangi uang di tangannya dengan mata berbinar. Dan hati saya semakin menangis. Saya pernah mengalami masa-masa ketika sangat membutuhkan uang, ketika saya merasa sanggup membunuh demi untuk bisa mendapatkan uang agar bisa makan. Jadi, sebelum anak perempuan kecil itu berlalu, tanpa sadar saya segera menahannya.
“Kamu mau es krim?”
Bocah perempuan itu menatap saya dengan pandangan berharap. Di telinganya, mungkin tawaran es krim terdengar seperti tawaran dari surga.
Saya pun mencoba tersenyum, dan berkata, “Duduk di sini. Akan kuambilkan es krim.”
Bocah itu duduk. Saya segera masuk ke ruangan, mengambil satu mangkuk es krim, lalu menyerahkannya pada bocah perempuan tadi. Dia melahap es krimnya dengan rakus, seolah besok sudah kiamat dan tidak akan ada es krim lagi. Jadi rupanya dia benar-benar kelaparan, batin saya dengan ngilu.
Setelah menghabiskan es krim di mangkuknya hingga bersih, bocah perempuan itu berkata dengan bingung, “Makasih, Om.” Lalu pergi dengan langkah-langkah ringan, meninggalkan saya yang terduduk di lobi lengang, bersama sebatang rokok yang kian menipis.
Saya tidak tahu siapa bocah perempuan itu. Saya bahkan tidak tahu bagaimana cara bocah itu bisa menembus gedung yang dijaga sepasukan sekuriti di depan gerbang, hingga bisa masuk ke jantung ruangan. Lebih dari itu, saya tidak tahu di mana alamatnya, siapa orangtuanya, dan mengapa dia bisa sampai terlahirkan ke dunia. Yang saya tahu, batang rokok saya telah habis, dan saya harus menyulut sebatang lagi.
Sambil menikmati kepulan asap rokok, saya bertanya-tanya dalam hati, apakah bocah perempuan tadi meminta dilahirkan ke dunia? Tanpa harus membaca Immanuel Kant, saya yakin bocah kecil berpakaian dekil itu tidak pernah minta dilahirkan ke dunia. Lalu bagaimana ia bisa sampai terlahirkan ke dunia? Tentu saja karena ada sepasang manusia—lelaki dan perempuan—yang menginginkannya lahir ke dunia!
Saya kembali membayangkan bocah perempuan tadi. Usianya mungkin baru delapan, sembilan, atau sepuluh tahun. Wajahnya kotor, pakaiannya dekil, tubuhnya kurus, tatapan matanya kuyu. Saya juga masih ingat suaranya saat mengatakan dirinya belum makan dua hari. Saya membayangkan alangkah malangnya bocah perempuan itu. Ia tidak pernah minta dilahirkan ke dunia, tetapi dia kemudian dilahirkan ke dunia untuk menerima kesusahan dan penderitaan dan kelaparan dan kemalangan dan kesepian….
Nah, saya bertanya-tanya lagi dalam hati, kenapa ada orang yang tega-teganya melahirkan seorang anak hanya untuk memberinya kepahitan hidup? Mengapa ada orang tua yang melahirkan anak, jika tidak bisa memberikan tangung jawab yang layak untuk anaknya?
Setiap anak yang terlahir ke dunia tidak pernah minta dilahirkan—mereka dilahirkan karena kehendak orangtuanya. Karenanya, setiap orang tua memiliki tanggung jawab serta kewajiban untuk memberikan kehidupan yang layak kepada setiap anak yang dilahirkannya—meski “kelayakan” adalah hal relatif. Tetapi jika seorang anak dilahirkan hanya untuk merasakan kesusahan dan kelaparan serta penderitaan, itu adalah sebentuk kedhaliman.
Di dalam buku L’existentialisme est un Humanisme, Jean-Paul Sartre menulis, “L’existence précède l’essence.” Keadaan mendahului keberadaan, eksistensi mendahului esensi.
Sartre memang eksistensialis sejati, sehingga bisa melihat secara jernih bahwa eksistensi (memang) berasal dari esensi. Tanpa bermaksud menyederhanakan masalah, sebenarnya itulah inti masalahnya—tepat seperti yang dinyatakan Sartre, bahwa “Keadaan mendahului keberadaan”.
Bocah perempuan kecil tadi adalah “keberadaan”, sementara latar belakang kelahirannya adalah “keadaan”. Keberadaan diciptakan oleh keadaan—dan keadaan memaksa bocah perempuan kecil itu terlahirkan ke dunia. Eksistensi datang melalui esensi, manifestasi tercipta karena kondisi.
Rokok saya habis. Saya ambil sebatang lagi, dan menyulutnya lagi.
Sekarang saya membayangkan l’existence (keadaan) yang melahirkan bocah perempuan kecil tadi. Bersama asap rokok yang mengepul, saya bisa membayangkan sepasang lelaki dan perempuan yang pada mulanya lajang, kemudian memutuskan untuk menikah, karena (mungkin) mereka berpikir harus menikah.
Ketika masih lajang, mungkin mereka diolok-olok masyarakatnya, “Kapan kawin? Kawin kapan?”, sehingga memutuskan untuk cepat-cepat menikah. Setelah menikah, masyarakatnya kembali bertanya-tanya, “Kapan punya anak?” Maka sepasang lelaki dan perempuan itu pun kemudian memutuskan untuk segera punya anak. Dan setelah itu tuntutan masyarakat mereka tidak berhenti, dan mereka terus menuruti tuntutan itu, tak peduli jika tuntutan itu berakibat menelantarkan anak-anak tak berdosa.
“Setiap anak membawa rezekinya sendiri-sendiri,” kata masyarakat mereka. Tetapi fakta bahwa ada jutaan anak yang hidup kelaparan di dunia, dengan jelas membuktikan bahwa doktrin itu hanya omong kosong. Pembela doktrin itu bisa saja mengkambinghitamkan pemerintah yang korup, menyalahkan para kapitalis yang rakus, atau menunjuk sistem sosial yang bobrok. Tetapi, yang jelas, “L’existence précède l’essence.”
Keadaan mendahului keberadaan, eksistensi mendahului esensi.
Sistem masyarakat sendirilah yang sesungguhnya melahirkan anak-anak malang itu, sehingga anak-anak yang sebenarnya tidak minta dilahirkan terpaksa dilahirkan. Sistem masyarakatlah yang—tanpa sadar—telah memaksa seorang lelaki dan perempuan untuk menikah tanpa peduli bagaimana keadaan mereka, dan kemudian memaksa mereka untuk melahirkan anak-anak yang dilahirkan hanya untuk menanggung kepahitan hidup, kelaparan, kedinginan, dan kesepian.
Segala sesuatu dalam hidup diciptakan untuk dipilih—bukan untuk dipaksakan. Tetapi sistem masyarakat telah menjadikan “pilihan” menjadi sebentuk “pemaksaan”. Ironisnya, salah satu hal yang dilahirkan dalam pemaksaan itu adalah anak-anak kelaparan, yang ditikam penderitaan.
Sesi pertama acara itu selesai tepat pukul 12.00 siang, dan orang-orang yang ada di dalam ruangan itu segera menghambur ke deretan meja tempat es krim disediakan. Ada sebagian kalangan yang meyakini bahwa es krim adalah sarana ampuh untuk “terapi mendinginkan kepala”—silakan cari sendiri sumber ilmiahnya. Jadi, dalam acara-acara seperti siang itu, berkilo-kilo es krim pun dibawa ke sana, siap mendinginkan kepala-kepala yang panas setelah memikirkan hal-hal berat.
Saya pun mengambil semangkuk es krim, lalu membawanya ke luar, untuk mencari tempat yang membebaskan saya merokok. Di sebuah lobi yang kosong, saya duduk, menghabiskan es krim, lalu menyulut rokok. Siang yang hebat, pikir saya sambil merasakan kepala yang berdenyut. Saya menyandarkan punggung dan kepala, lalu menikmati asap rokok.
Asap rokok itu hampir mencekik tenggorokan ketika seorang anak perempuan kecil tiba-tiba berdiri di hadapan saya. Bagaimana bocah ini bisa sampai di sini, pikir saya dengan bingung. Saya menegakkan duduk, dan menatap sesosok tubuh kecil, dengan pakaian dekil, menatap ke arah saya. Entah bagaimana caranya, bocah ini telah menerobos sepasukan sekuriti di depan, dan entah bagaimana caranya pula ia sekarang bisa berdiri di hadapan saya.
Anak perempuan itu berkata takut-takut, “Om, kasih uangnya, Om…”
Mengingat tempat saya berada waktu itu, saya masih belum yakin kalau sekarang sedang berhadapan dengan pengemis. “Ya…?” ujar saya dengan bingung.
“Minta uang, Om,” ulang anak kecil itu. “Udah dua hari saya belum makan…”
Saya bukan orang yang welas asih. Tetapi melihat sesosok bocah perempuan kecil berpakaian dekil yang mengatakan belum makan dua hari membuat hati saya menangis. Saya pernah mengalami masa-masa kelaparan, dan saya pun tahu seperti apa perihnya menahan lapar. Jadi, saya pun segera merogoh dompet, dan memberikan uang untuknya—dan diam-diam berdoa semoga itu cukup untuk mengenyangkan perutnya.
Anak perempuan itu memandangi uang di tangannya dengan mata berbinar. Dan hati saya semakin menangis. Saya pernah mengalami masa-masa ketika sangat membutuhkan uang, ketika saya merasa sanggup membunuh demi untuk bisa mendapatkan uang agar bisa makan. Jadi, sebelum anak perempuan kecil itu berlalu, tanpa sadar saya segera menahannya.
“Kamu mau es krim?”
Bocah perempuan itu menatap saya dengan pandangan berharap. Di telinganya, mungkin tawaran es krim terdengar seperti tawaran dari surga.
Saya pun mencoba tersenyum, dan berkata, “Duduk di sini. Akan kuambilkan es krim.”
Bocah itu duduk. Saya segera masuk ke ruangan, mengambil satu mangkuk es krim, lalu menyerahkannya pada bocah perempuan tadi. Dia melahap es krimnya dengan rakus, seolah besok sudah kiamat dan tidak akan ada es krim lagi. Jadi rupanya dia benar-benar kelaparan, batin saya dengan ngilu.
Setelah menghabiskan es krim di mangkuknya hingga bersih, bocah perempuan itu berkata dengan bingung, “Makasih, Om.” Lalu pergi dengan langkah-langkah ringan, meninggalkan saya yang terduduk di lobi lengang, bersama sebatang rokok yang kian menipis.
Saya tidak tahu siapa bocah perempuan itu. Saya bahkan tidak tahu bagaimana cara bocah itu bisa menembus gedung yang dijaga sepasukan sekuriti di depan gerbang, hingga bisa masuk ke jantung ruangan. Lebih dari itu, saya tidak tahu di mana alamatnya, siapa orangtuanya, dan mengapa dia bisa sampai terlahirkan ke dunia. Yang saya tahu, batang rokok saya telah habis, dan saya harus menyulut sebatang lagi.
Sambil menikmati kepulan asap rokok, saya bertanya-tanya dalam hati, apakah bocah perempuan tadi meminta dilahirkan ke dunia? Tanpa harus membaca Immanuel Kant, saya yakin bocah kecil berpakaian dekil itu tidak pernah minta dilahirkan ke dunia. Lalu bagaimana ia bisa sampai terlahirkan ke dunia? Tentu saja karena ada sepasang manusia—lelaki dan perempuan—yang menginginkannya lahir ke dunia!
Saya kembali membayangkan bocah perempuan tadi. Usianya mungkin baru delapan, sembilan, atau sepuluh tahun. Wajahnya kotor, pakaiannya dekil, tubuhnya kurus, tatapan matanya kuyu. Saya juga masih ingat suaranya saat mengatakan dirinya belum makan dua hari. Saya membayangkan alangkah malangnya bocah perempuan itu. Ia tidak pernah minta dilahirkan ke dunia, tetapi dia kemudian dilahirkan ke dunia untuk menerima kesusahan dan penderitaan dan kelaparan dan kemalangan dan kesepian….
Nah, saya bertanya-tanya lagi dalam hati, kenapa ada orang yang tega-teganya melahirkan seorang anak hanya untuk memberinya kepahitan hidup? Mengapa ada orang tua yang melahirkan anak, jika tidak bisa memberikan tangung jawab yang layak untuk anaknya?
Setiap anak yang terlahir ke dunia tidak pernah minta dilahirkan—mereka dilahirkan karena kehendak orangtuanya. Karenanya, setiap orang tua memiliki tanggung jawab serta kewajiban untuk memberikan kehidupan yang layak kepada setiap anak yang dilahirkannya—meski “kelayakan” adalah hal relatif. Tetapi jika seorang anak dilahirkan hanya untuk merasakan kesusahan dan kelaparan serta penderitaan, itu adalah sebentuk kedhaliman.
Di dalam buku L’existentialisme est un Humanisme, Jean-Paul Sartre menulis, “L’existence précède l’essence.” Keadaan mendahului keberadaan, eksistensi mendahului esensi.
Sartre memang eksistensialis sejati, sehingga bisa melihat secara jernih bahwa eksistensi (memang) berasal dari esensi. Tanpa bermaksud menyederhanakan masalah, sebenarnya itulah inti masalahnya—tepat seperti yang dinyatakan Sartre, bahwa “Keadaan mendahului keberadaan”.
Bocah perempuan kecil tadi adalah “keberadaan”, sementara latar belakang kelahirannya adalah “keadaan”. Keberadaan diciptakan oleh keadaan—dan keadaan memaksa bocah perempuan kecil itu terlahirkan ke dunia. Eksistensi datang melalui esensi, manifestasi tercipta karena kondisi.
Rokok saya habis. Saya ambil sebatang lagi, dan menyulutnya lagi.
Sekarang saya membayangkan l’existence (keadaan) yang melahirkan bocah perempuan kecil tadi. Bersama asap rokok yang mengepul, saya bisa membayangkan sepasang lelaki dan perempuan yang pada mulanya lajang, kemudian memutuskan untuk menikah, karena (mungkin) mereka berpikir harus menikah.
Ketika masih lajang, mungkin mereka diolok-olok masyarakatnya, “Kapan kawin? Kawin kapan?”, sehingga memutuskan untuk cepat-cepat menikah. Setelah menikah, masyarakatnya kembali bertanya-tanya, “Kapan punya anak?” Maka sepasang lelaki dan perempuan itu pun kemudian memutuskan untuk segera punya anak. Dan setelah itu tuntutan masyarakat mereka tidak berhenti, dan mereka terus menuruti tuntutan itu, tak peduli jika tuntutan itu berakibat menelantarkan anak-anak tak berdosa.
“Setiap anak membawa rezekinya sendiri-sendiri,” kata masyarakat mereka. Tetapi fakta bahwa ada jutaan anak yang hidup kelaparan di dunia, dengan jelas membuktikan bahwa doktrin itu hanya omong kosong. Pembela doktrin itu bisa saja mengkambinghitamkan pemerintah yang korup, menyalahkan para kapitalis yang rakus, atau menunjuk sistem sosial yang bobrok. Tetapi, yang jelas, “L’existence précède l’essence.”
Keadaan mendahului keberadaan, eksistensi mendahului esensi.
Sistem masyarakat sendirilah yang sesungguhnya melahirkan anak-anak malang itu, sehingga anak-anak yang sebenarnya tidak minta dilahirkan terpaksa dilahirkan. Sistem masyarakatlah yang—tanpa sadar—telah memaksa seorang lelaki dan perempuan untuk menikah tanpa peduli bagaimana keadaan mereka, dan kemudian memaksa mereka untuk melahirkan anak-anak yang dilahirkan hanya untuk menanggung kepahitan hidup, kelaparan, kedinginan, dan kesepian.
Segala sesuatu dalam hidup diciptakan untuk dipilih—bukan untuk dipaksakan. Tetapi sistem masyarakat telah menjadikan “pilihan” menjadi sebentuk “pemaksaan”. Ironisnya, salah satu hal yang dilahirkan dalam pemaksaan itu adalah anak-anak kelaparan, yang ditikam penderitaan.