Kebohongan adalah kejujuran yang tertunda.
—@noffret
—@noffret
Seusai acara malam itu, bocah-bocah bergerombol di berbagai sudut—ada yang update status di media sosial, ada yang asyik ngobrol, ada yang saling berkenalan dengan bocah lain yang masih asing, ada pula yang bengong sambil merokok sendirian. Beberapa yang lain langsung menuju ke kamarnya untuk tidur, karena malam telah larut. Sementara yang lain lagi tampak khusyuk mempelajari berkas-berkas di tangannya.
Di satu sudut, saya duduk berdua dengan seorang bocah yang sedang mengerjakan sesuatu di laptopnya. Tampaknya dia sedang mengecek e-mail, sementara saya asyik merokok dan membiarkan dia sibuk dengan aktivitasnya.
Setelah membalas beberapa e-mail yang masuk, bocah itu mencolek bahu saya, dan berkata, “Kenal ini?”
Saya menoleh ke arah laptop di pangkuannya, dan laman Twitter tampak terhampar di layar. Bocah itu menunjuk sebuah akun di Twitter. Saya tahu akun itu, dan itu pula yang saya katakan padanya.
Bocah itu mengangguk. “Mau dengar sesuatu yang ironis?”
“Sure,” saya menjawab.
Dia menceritakan, “Dulu, kami saling follow di Twitter, karena memang kenal—secara normatif. Kami menjalin kerjasama, dan semua berjalan baik-baik saja. Sampai suatu hari, aku mendapati mereka—pemilik akun itu—melakukan kecurangan terhadap kerjasama kami. Aku langsung tahu fakta itu, tapi semula kudiamkan. Kupikir, mungkin mereka akan menjelaskan perbuatannya kepadaku, memberi alasan yang masuk akal, jadi aku pun tidak mau asal tuduh.”
Saya masih mendengarkan.
Bocah itu melanjutkan, “Tapi mereka—pemiliki akun itu—tak pernah memberi penjelasan apa pun. Anehnya, tidak lama setelah kecurangan yang kuceritakan tadi, akun itu meng-unfollow aku di Twitter. Tanpa sebab apa-apa. Dan mereka tetap tidak memberikan penjelasan apa pun mengenai kecurangan yang dilakukannya terhadap kerjasama kami.”
“Dan kamu tetap mendiamkan saja?” tanya saya, setelah mengembuskan asap rokok.
“Semula, ya. Setelah kutunggu cukup lama, dan mereka tetap tidak memberi penjelasan apa-apa, aku mencoba mengubungi, pura-pura menawarkan kerjasama baru. Aku tak menyinggung sedikit pun mengenai kecurangan yang mereka lakukan—kupikir biarlah mereka sendiri yang membukanya, agar kami masing-masing lebih nyaman.”
Saya mengangguk, memahami maksudnya, dan menghargai sikapnya.
Dia meneruskan, “Tapi mereka tetap bungkam, tidak menjelaskan apa pun perihal kecurangan itu. Lalu aku mencoba bertanya mengenai sesuatu yang mereka lakukan, dan kau tahu bagaimana reaksi mereka? Bukannya langsung menjawab atau memberi penjelasan, mereka justru pura-pura tak tahu! Lucunya, tanpa kuminta, mereka kemudian memberi penjelasan yang isinya dalih yang seolah membenarkan kecurangan yang mereka lakukan kepadaku.”
“Tunggu—aku belum memahami maksudmu.”
“Begini,” bocah itu menjelaskan dengan sabar, “dalam kerjasama yang kami lakukan, kami terikat oleh kontrak yang disepakati bersama. Nah, mereka melakukan sesuatu yang tidak terdapat dalam kontrak, atau belum diatur dalam kontrak yang mengikat kerjasama kami waktu itu. Dari sudut pandang hukum dan profesional, kira-kira apa yang seharusnya mereka lakukan jika akan melakukan hal semacam itu?”
“Konfirmasi,” saya menjawab, “mereka melakukan konfirmasi kepadamu, atas sesuatu yang akan mereka lakukan.”
“Exactly!” sahutnya. “Dan mereka tidak melakukan itu! Mereka langsung melakukan sesuatu yang jelas-jelas tidak diatur dalam kontrak kami, dan yang mereka lakukan jelas-jelas merugikanku. Tanpa konfirmasi, tanpa pemberitahuan, dan kemudian pura-pura tak tahu ketika kusinggung soal itu. Mungkin mereka pikir aku tidak akan tahu. Dan itu sungguh membuatku tertawa. Hari gini, apa yang tidak bisa kita investigasi?”
“Jadi, apa yang kemudian kamu lakukan?”
“Seperti yang kubilang tadi, aku tetap pura-pura tak tahu kecurangan mereka, dan rupanya sikapku justru membuat mereka kelabakan. Mungkin, mereka menunggu aku bertanya mengapa mereka melakukan hal itu, dan kemudian mereka akan menjawab. Tapi aku sengaja tak bertanya.”
Setelah meneguk air di gelasnya, dia berkata, “Dan, kau tahu? Orang selalu dikejar perasaan bersalahnya sendiri. Mereka tahu perbuatan mereka salah, karena telah mencurangi aku, merugikanku. Karena aku tidak juga menegur kesalahan itu, mereka justru kebingungan. Kapan saja terjadi komunikasi di antara kami, mereka terus berusaha menyodorkan penjelasan yang isinya dalih pembenaran atas kecurangan yang telah mereka lakukan terhadapku. Aku tetap diam, pura-pura tidak paham, dan mereka terus berusaha menyodorkan dalih sialan itu.”
Saya berusaha mencerna penjelasannya. Kemudian, dengan asap mengepul dari mulut, saya berkata perlahan-lahan, “Well, dari mana kamu tahu kalau penjelasan yang mereka berikan itu dalih untuk membenarkan perbuatan yang telah mereka lakukan?”
“Pertanyaan bagus!” sahutnya. “Orang yang menjalin kerjasama dengan mereka bukan cuma aku.” Setelah itu dia menyebutkan sederet nama yang semuanya juga saya kenal.
“Nah,” dia melanjutkan, “aku bertanya pada teman-teman kita yang juga menjalin kerjasama dengan mereka, adakah yang mendapat penjelasan seperti yang diberikan kepadaku? Tidak—tidak satu pun dari teman kita yang menerima penjelasan seperti yang kuterima. Apa artinya itu? Sangat gamblang! Karena kecurangan itu hanya dilakukan terhadapku, maka hanya aku yang menerima penjelasan yang sebenarnya dalih itu. Mungkin, kalau ada orang lain yang juga mereka curangi, mereka juga akan memberikan penjelasan atau dalih yang sama untuk membenarkan kecurangan mereka.”
Saya mengangguk-anggukkan kepala, memahami maksud penjelasannya. “Sampai sekarang mereka tetap belum menjelaskan... well, perbuatan yang mereka lakukan kepadamu?”
“Belum,” dia menjawab. “Dan itulah lucunya. Alih-alih bertanggung jawab secara profesional dengan memberikan penjelasan agar kami sama-sama nyaman, mereka justru melakukan perbuatan yang sangat tolol. Mula-mula, seperti yang kuceritakan tadi, mereka meng-unfollow aku di Twitter. Mungkin karena khawatir aku memuntahkan kemarahan di Twitter. Kemudian, ketika aku mencoba menyinggung kecurangan yang telah mereka lakukan, mereka pura-pura tak tahu. Setelah itu, bukannya memberi klarifikasi atau bahkan minta maaf, mereka justru menyodorkan penjelasan yang sama sekali tak kuminta—penjelasan yang isinya dalih untuk membenarkan kecurangan mereka.”
Rokok saya habis. Saya mematikan puntung rokok di asbak, meneguk air, dan menunggu dia kembali melanjutkan.
“Lucu, kalau diingat-ingat,” dia berkata sambil tersenyum ironis. “Seseorang sengaja mencurangimu, dan kamu pura-pura tak tahu. Karena merasa bersalah, dia jadi tidak tenang. Tetapi, bukannya minta maaf, dia justru sibuk mengarang dalih yang terus disodor-sodorkan kepadamu, dengan tujuan kamu memaklumi perbuatannya. Padahal, kalian sama-sama tahu telah terjadi kecurangan di sini, dan dia tetap tidak tenang selama kamu masih bungkam. Lucu, karena kamu yang dirugikan, tapi dia yang tidak tenang.”
Kalimat terakhir itu terus terngiang-ngiang di telinga saya. Lucu, karena kamu yang dirugikan, tapi dia yang tidak tenang.
Bocah itu benar. Tidak ada yang lebih menyiksa di dunia ini selain perasaan bersalah karena menyadari telah merampas hak milik orang lain. Tak peduli ditutupi dalih apa pun, hati kecil manusia tetap jujur—bahwa kesalahan tetap kesalahan, dan kecurangan tetap kecurangan, meski ditutupi dalih atau alasan pembenaran apa pun.
Sering kali, penjahat tidak mati karena dibalas korbannya—mereka mati perlahan-lahan disiksa perasaan bersalahnya.