Ular paling beracun, katak paling beracun, juga
hewan lain yang paling beracun, ironisnya justru
memiliki penampilan sangat cantik.
—@noffret
hewan lain yang paling beracun, ironisnya justru
memiliki penampilan sangat cantik.
—@noffret
Satu tahun yang lalu, pada Oktober 2012, Brasil mengadakan kontes Miss Bum Bum, yaitu kontes nasional untuk menentukan wanita yang memiliki pantat paling menggemaskan. Oh, well.
*Ngelap ingus*
Jadi, dalam kontes itu, para wanita muda dari 26 negara bagian dan distrik federal Brasilia berkumpul dan bersaing untuk mencapai grand final, yang berlangsung di Sao Paulo. Kontes dimulai pada Oktober, dan mencapai grand final pada November.
Semula, para calon peserta dipersilakan mendaftar secara online di situs yang telah disediakan, dengan mengirimkan tiga foto—setengah badan, satu tubuh, dan bagian pantat. Dari pendaftaran itu, panitia memilih 15 wanita yang dianggap layak masuk final. Lima belas finalis itulah yang kemudian berangkat ke Sao Paulo, mengikuti gelaran final, untuk memperebutkan gelar “Pemilik Pantat Paling Menggemaskan”. Oh, well.
*Benerin celana*
Pemenang pertama kontes itu mendapatkan hadiah 5.000 reais atau Rp. 23,5 juta, pemenang kedua mendapat 3.000 reais atau Rp. 14,1 juta, dan pemenang ketiga mendapat 2.000 reais atau Rp. 9,4 juta. Kontes itu pertama kali diadakan pada 2011 dengan pemenang Rosana Ferreira. Sedang tahun lalu, Carine Felizardo memenangkan gelar juara pertama. Karenanya pula, terhitung sampai detik ini, Carine Felizardo masih memegang gelar sebagai Wanita Pemilik Pantat Paling Menggemaskan.
(Yak, dan bocah-bocah Indonesia segera Googling nama-nama itu).
Mengapa Brasil mengadakan acara kontes yang terdengar aneh semacam itu? Dalam kultur tradisional Brasil, pantat—dalam hal ini pantat wanita—adalah bagian tubuh yang memiliki makna signifikan dalam budaya Brasil, seperti popularitas tarian pantat, di antara anak-anak muda.
Cacau Oliver, koordinator kontes tersebut, menyatakan, “Saya rasa iklim tropis, karnaval, dan semua percampuran ras ini, memberi campuran biologis unik bagi wanita Brasil. Bagian belakang tubuh wanita Brasil adalah yang paling dikagumi seluruh dunia, dan kontes ini mengonfirmasi fakta tersebut.”
Saya teringat pada kontes pantat di Brasil setelah suntuk membaca pro kontra acara Miss World yang (akan) diadakan di Bali, Indonesia, baru-baru ini. Meski acara Miss World bukan hal baru di dunia, namun—entah mengapa—sebagian orang Indonesia selalu ribut setiap kali acara itu diadakan. Apalagi sekarang acara itu diadakan di Indonesia.
Yang pro acara itu menyatakan bahwa kontes Miss World hanyalah acara biasa yang kebetulan diikuti para wanita. Sedang yang kontra biasanya menyatakan bahwa acara semacam itu tidak layak diikuti apalagi diadakan di Indonesia yang berbudaya luhur. Biasanya pula mereka mengait-ngaitkan ajaran agama untuk menentang acara tersebut.
Sejujurnya, saya tidak pernah tertarik dengan acara kontes Miss World atau Miss Universe, dan saya tidak peduli siapa yang menjadi pemenang, dari negara mana, atau bagaimana kriteria penilaiannya. Bagi saya, acara Miss World atau Miss Universe tak jauh beda dengan infotainment atau kontes-kontesan di televisi. Sekadar unjuk kebolehan, pencarian popularitas, kehebohan sesaat, dan upaya menjaring keuntungan melalui iklan. Hanya medianya saja yang berbeda.
Yang jadi pertanyaan, mengapa sebagian orang Indonesia selalu ribut setiap kali acara itu diadakan? Kita masih ingat, setiap tahun, setiap kali ada wanita Indonesia berangkat ke luar negeri untuk mengikuti kontes Miss World atau Miss Universe, ribut-ribut itu selalu terjadi. Dukungan dan tentangan. Pujian dan cemoohan. Lalu media ramai-ramai mengutip pendapat orang-orang yang dianggap tokoh untuk “membumbui” keributan itu. Hasilnya, setiap tahun Indonesia menggelar “kontes ribut-ribut”, mengiringi kontes kecantikan itu.
Dan kita tak pernah bosan. Itulah anehnya.
Kadang-kadang, saya berpikir bahwa yang menjadikan orang tak pernah bosan meributkan kontes Miss World atau Miss Universe karena acara itu melibatkan para wanita. Dan membicarakan wanita, kita tahu, tak pernah ada habisnya. Karenanya pula, saya pun kadang berpikir mereka yang selalu ribut itu tak jauh beda dengan bocah-bocah remaja yang saling ribut dengan temannya saat membicarakan teman-teman cewek mereka di sekolah.
Kenyataan itulah yang kemudian ditangkap oleh sebagian orang, yang lalu berinisitif mengadakan kontes-kontes yang melibatkan wanita. Mereka tahu, wanita adalah daya tarik—bukan hanya bagi lawan jenisnya, tetapi juga bagi sesama jenis mereka. Semua orang tahu, wanita suka mengamati wanita lainnya. Karenanya pula, Miss World atau Miss Universe menjadi kontes “sempurna” untuk tujuan itu, saat semua perhatian dunia terarah, dan media-media di mana pun tertarik meliputnya.
Bagi sebagian orang, kesuksesan dan kehebohan Miss World kemudian memunculkan ide untuk mengadakan acara serupa, yang lebih spesifik. Jika kontes Miss World menilai wanita secara luar dalam, kontes-kontes lain yang kemudian bermunculan hanya menitikberatkan penilaian pada bagian tertentu. Maka muncullah kontes payudara terindah, kontes betis terindah, hingga kontes pantat terindah.
Objeknya sama, tujuannya sama—apa pun dalihnya.
Kenyataannya, peminat acara kontes-kontesan semacam itu tak pernah sepi. Apalagi jika ditujukan untuk para wanita. Secara naluri, setiap orang menyukai persaingan, untuk menunjukkan diri sebagai yang paling hebat. Ketika faktor penilaian ditujukan pada keindahan fisik, wanita yang merasa cantik pun tergugah minatnya. Mereka ingin diakui sebagai yang tercantik, terindah, terhebat—itu naluri setiap wanita.
Jadi, tiga faktor bertemu di sini. Satu, setiap orang memiliki perhatian terhadap wanita. Dua, setiap wanita ingin diakui sebagai yang tercantik. Tiga, acara itu mendatangkan keuntungan bagi panitianya. Tampaknya tidak ada yang dirugikan, semuanya senang. Panitia mendapatkan keuntungan, peserta mendapatkan kebanggaan, khalayak mendapatkan kesenangan, bahkan media pun mendapat bahan liputan.
Tapi pihak yang menentang acara itu menyatakan, acara kontes semacam Miss World tidak layak diadakan, karena mengeksploitasi kaum wanita, bahkan merendahkan martabat wanita. Tentu saja mereka berhak mengajukan pendapat semacam itu. Tapi bagaimana jika para wanita yang mengikuti kontes Miss World—atau kontes semacamnya—tidak merasa dieksploitasi dan direndahkan?
Eksploitasi terjadi jika pihak yang dieksploitasi belum cukup umur, atau tidak/belum bisa memahami bahwa dirinya dieksploitasi. Dalam hal kontes Miss World, acara itu diikuti wanita-wanita yang secara umur telah dewasa, secara intelektual dianggap pintar, dan tentunya mereka orang-orang waras.
Karenanya, jika memang praktik eksploitasi terjadi, maka tentunya wanita-wanita itu akan menyadari. Tapi kenyataannya mereka tak pernah protes atau menuduh panitia telah melakukan eksploitasi. Mereka bahkan tampak bangga ketika berpose dalam acara itu, kemudian foto-foto sumringah mereka tersebar ke seluruh dunia. Lalu kita asyik memelototinya.
Jadi, apa yang terjadi di sini? Bagi saya, kenyataannya sangat sederhana. Bahwa kita suka memperhatikan wanita, lalu ada sebagian orang menangkap peluang itu, dan mengadakan kontes yang melibatkan wanita. Ketika kontes itu digelar, naluri purba manusia untuk bersaing pun muncul—wanita-wanita dari berbagai negara berebutan mendaftar. Setelah itu terjadi, sebagian orang merasa terusik karena acara itu dianggap tidak sesuai nilai-nilai mereka. Kesadaran sering kali datang terlambat.
Yang menggerakkan sebagian orang untuk memprotes acara Miss World karena adanya nilai-nilai tertentu, dan acara kontes itu dianggap tidak sesuai dengan nilai-nilai tersebut. Nilai-nilai di Brasil menganggap pantat wanita sebagai keindahan yang layak diapresiasi, dan setiap tahun mereka menggelar kontes pantat terindah. Nilai-nilai di Jepang menganggap ketelanjangan sebagai hal yang tak tabu, dan produksi bokep di sana pun terus meningkat dari tahun ke tahun.
Bagaimana nilai-nilai di Indonesia? Sepertinya, dalam hal ini, kita masih setengah-setengah. Setengah matang dan setengah mentah.
Di satu waktu, kita menentang acara kontes Miss World atau Miss Universe, di waktu lain kita penasaran siapa pemenang kontes. Di satu waktu, kita menganggap kontes semacam itu mengeksploitasi wanita, di waktu lain kita asyik membicarakan wanita. Di satu waktu, kita menganggap pantat adalah hal tabu untuk dikonteskan, di waktu lain kita asyik memandangi pantat menggemaskan di jalan-jalan.