Selama aku masih bisa menikmati nasi uduk,
batagor, rokok, teh hangat, dan buku bagus,
aku tidak punya alasan untuk mengeluh.
—@noffret
batagor, rokok, teh hangat, dan buku bagus,
aku tidak punya alasan untuk mengeluh.
—@noffret
Lima tahun yang lalu, para kutubuku di seluruh dunia heboh membicarakan trilogi novel, yang gemanya ikut menyebar ke Indonesia. Untuk memudahkan cerita, kita sebut saja trilogi novel itu dengan sebutan Novel X. Di milis para kutubuku, trilogi novel itu dibicarakan berhari-hari, dan kehebohannya membuat siapa pun yang belum membaca jadi penasaran setengah mati.
Kebetulan, waktu itu saya belum membacanya. Seperti para penggila buku yang lain, saya pun segera memburu buku-buku tersebut. Kau tahu, jika para kutubuku menghebohkan suatu buku, kau bisa percaya buku itu memang bagus. Jadi saya pun searching di internet, mencari website yang menyediakannya.
Pada waktu itu, trilogi Novel X belum masuk ke Indonesia. Kalau saya memaksa membeli, maka saya harus membeli buku impor. Di situs Amazon, ketiga seri novel itu tersedia, dan harganya cukup mencekik leher—sekitar 1,4 juta. Cukup mahal, karena masing-masing novel tersebut sama-sama tebal, sekitar 900-an halaman.
Sampai kemudian saya mendapat kabar trilogi Novel X akan segera diterjemahkan di Indonesia. Itu kabar yang sangat menyenangkan. Maka saya pun menunda pembelian, dan memilih menunggu edisi bahasa Indonesia yang tentunya lebih murah. Hingga suatu hari, buku terjemahan edisi pertama dan kedua trilogi itu akhirnya terbit di Indonesia, dan tersedia di toko-toko buku.
Dengan nafsu membara, saya pun segera pergi ke toko buku, dan mendapatkan dua edisi Novel X—seri satu dan seri dua—seri tiganya waktu itu belum terbit. Tampilannya hebat, sampulnya hebat, dan ketebalannya yang 900-an halaman juga tampak hebat. Benar-benar makanan sempurna untuk kutubuku, pikir saya waktu itu.
Sesampai di rumah, saya langsung melahap seri satu novel itu, dan membacanya nyaris tanpa henti. Seperti yang telah dihebohkan para kutubuku di milis, novel itu memang hebat—ceritanya memukau, karakter-karakternya unik, idenya orisinal, dan cara penceritaannya pun bagus. Karena semua kualitas tersebut, novel yang sangat tebal itu pun dapat dinikmati tanpa rasa bosan.
Sayangnya, ada kesalahan fatal dalam terjemahan Novel X.
Di Indonesia, terjemahan Novel X diterbitkan oleh salah satu penerbit islami. Sebenarnya tidak masalah penerbit islami menerjemahkan novel berbahasa Inggris dari negara mana pun. Yang jadi masalah jika di dalam novel itu terdapat adegan atau kisah yang dianggap “tidak/kurang islami”, dan kemudian penerbit dengan seenaknya sendiri memotong atau menyensor bagian itu.
Kenyataan itulah yang terjadi pada Novel X. Novel itu memang ditujukan untuk pembaca dewasa. Berkaitan dengan jalan ceritanya, ada beberapa adegan yang terkesan vulgar di dalam Novel X—agak-agak mirip dengan adegan vulgar ala novel Shidney Sheldon, kalau kalian paham maksud saya. Nah, adegan-adegan vulgar itu dihilangkan oleh penerbit yang menerjemahkan.
Sebenarnya, penerjemahan novel itu pun tidak bisa dibilang bagus. Sejak pertama kali membaca, saya sudah bisa menilai penerjemahannya kurang profesional, dan terlalu “harfiah”. Namun itu belum jadi masalah. Meski penerjemahannya relatif buruk, pembaca masih bisa menikmati, karena aslinya Novel X memang bagus.
Tetapi, ketika sampai pada adegan yang dipotong, amarah saya benar-benar meletup. Sebagai penikmat buku sejati, pemotongan adegan itu membuat saya merasa dicurangi. Penerbit—yang menerjemahkan novel itu—dengan seenaknya sendiri menghilangkan beberapa bagian yang seharusnya disampaikan kepada pembaca sesuai novel aslinya.
Yang menjengkelkan, pemotongan adegan itu dilakukan dengan kasar—maksudnya asal potong, tanpa usaha menutup “lubang” yang terbuka akibat terjadinya pemotongan. Efeknya terasa jelas penyensorannya. Para pembaca pemula mungkin tidak menyadari adanya pemotongan atau penyensoran. Tapi para kutubuku akan mengetahuinya. Seperti alarm, insting saya memberitahu bahwa sebenarnya di bagian itu ada suatu adegan yang seharusnya ada, tapi telah dihilangkan.
Gara-gara kenyataan itu, saya tidak puas membaca terjemahan novel tersebut. Meski telah mengkhatamkannya, dan mengakui bahwa Novel X memang bagus, saya tetap belum puas. Saya ingin tahu adegan apa sebenarnya yang ada dalam kisah itu hingga sampai membuat penerbit di Indonesia memotongnya. Membaca jalan ceritanya, saya bisa membayangkan adegan macam apa yang disensor tersebut, tapi saya ingin tahu aslinya.
Maka, dengan kedongkolan yang membara, saya membeli edisi bahasa Inggris novel tersebut, dan membacanya kembali. Dalam edisi bahasa Inggris, semua adegannya utuh, jalan ceritanya lengkap. Dan saya pun menemukan bagian-bagian mana saja yang telah dihilangkan oleh penerbitnya di Indonesia.
Padahal, bagi saya, adegan yang mereka potong itu tidak terlalu vulgar. Seperti yang saya bilang tadi, adegannya mirip adegan vulgar ala novel Sidney Sheldon—ya gitu-gitu aja, khas novel dewasa. Kalau saja novel itu diterbitkan penerbit yang moderat, hampir bisa dipastikan semua adegan itu tidak ada yang disensor. Sayangnya, novel bagus itu diterjemahkan dan diterbitkan oleh penerbit islami, atau relatif konservatif. Ketika mereka menganggap adegan semacam itu “kurang islami”, mereka pun memotongnya.
Ini masalah.
Masalah, karena pemotongan atau penyensoran semacam itu—langsung maupun tak langsung—telah merugikan pembaca, khususnya para kutubuku yang selalu menginginkan kenikmatan membaca. Apalagi jika pemotongan atau penyensorannya dilakukan secara kasar seperti yang terjadi pada Novel X. Sekali lagi, umpama Novel X diterbitkan penerbit moderat, saya yakin seyakin-yakinnya semua adegan itu akan dibiarkan utuh, tanpa ada penyensoran apa pun.
Nah, bagaimana dengan terjemahan Novel X seri kedua? Sama saja! Ketika saya mulai membaca, isinya tak jauh beda dengan seri pertama. Terjemahannya tidak profesional, dan sekali lagi ada bagian atau adegan yang dihilangkan. Terjemahan Novel X seri kedua bahkan mengalami kesalahan editing yang sangat fatal. Gara-gara adanya pemotongan yang dilakukan secara kasar, beberapa bagian ada yang “tidak nyambung”. Saya yakin para kutubuku di Indonesia pasti misuh-misuh ketika membacanya.
Sekali lagi, ini masalah. Dan ini salah satu dilema buku terjemahan di Indonesia, yang mungkin belum disadari semua orang.
Karena ketatnya persaingan dalam industri buku, penerbit-penerbit di Indonesia pun selalu berusaha mendapatkan hak cipta buku-buku terkenal dari luar negeri, khususnya yang terjamin laris. Dalam upaya memperebutkan hak cipta tersebut, para penerbit islami juga ikut terlibat. Masalah mulai terjadi, ketika pemenang tender hak cipta adalah penerbit islami, dan hak cipta yang diperolehnya adalah novel yang kebetulan ada adegan “kurang islami” di dalamnya.
Ketika itu terjadi, pihak penerbit mungkin mengalami dilema. Di satu sisi, mereka tahu buku itu akan terjual banyak di pasar. Di sisi lain, mungkin mereka merasa “berdosa” jika menerjemahkan/menerbitkan buku itu sesuai aslinya, dengan adegan-adegan vulgar di dalamnya. Maka jalan tengah (sebenarnya lebih layak disebut jalan pintas) pun diambil—mereka memotong atau menyensor adegan itu.
Sebagai pembaca, sejujurnya saya tidak terlalu mempermasalahkan jika penerbit memang memutuskan untuk menyensor beberapa adegan di dalamnya. Itu tak jauh beda dengan penyensoran yang terjadi dalam film. Tetapi, jika memang harus memotong atau menyensor, lakukanlah dengan halus, kerjakan dengan profesionalitas seorang ahli, sehingga para pembaca tidak menyadari. Karena, ketika pembaca menyadari adanya pemotongan atau penyensoran dalam buku, mereka akan merasa dicurangi.
Mungkin akan lebih bagus lagi kalau penerbit yang islami lebih fokus pada buku-buku yang relatif “bersih” saja, sehingga tidak perlu menghadapi dilema, tidak perlu melakukan pengubahan atau penyensoran di dalamnya, sehingga pembaca tetap menikmati bacaannya.
Seperti yang pernah saya tulis di sini, ada tiga macam pembaca buku. Yang pertama adalah “bukan pembaca”, yang kedua adalah “pembaca pemula”, dan yang ketiga adalah “kutubuku”. Ketika sebuah buku jatuh di tangan pembaca pemula atau masyarakat awam (bukan pembaca), hal seperti ini mungkin bukan masalah. Bagi mereka, yang penting jalan ceritanya asyik, mereka terhibur, dan habis perkara.
Tetapi, ketika sebuah buku berada di tangan kutubuku, mereka tidak hanya menginginkan jalan cerita yang asyik, tidak hanya mengharapkan penerjemahan dan editing yang bagus, tetapi juga “kenikmatan” di dalamnya. Dan “kenikmatan” itu tidak bisa optimal jika ada pemotongan serta penyensoran yang dilakukan dengan kasar, tanpa keahlian, serta kasatmata.