Yang paling mengerikan di pikiranku adalah
membayangkan anak-anak yang menyesali kelahirannya,
dan menangisi hidup hingga ajal tiba.
—@noffret
membayangkan anak-anak yang menyesali kelahirannya,
dan menangisi hidup hingga ajal tiba.
—@noffret
Kasus kejahatan anak sepertinya makin marak akhir-akhir ini—pelecehan, kekerasan seksual, perkosaan, bahkan sampai pembunuhan, yang semua korbannya masih anak-anak. Itu sangat mengerikan! Bahkan saya yang belum punya anak pun selalu ngeri setiap kali membaca atau menonton berita mengenai kejahatan terhadap anak-anak. Iblis macam apa yang tega melukai anak-anak itu?
Kita terkejut saat mendengar anak-anak di TK Jakarta International School (JIS) menjadi korban peadofilia. Belum reda keterkejutan kita, media kembali menghujani berita soal Emon di Sukabumi yang melakukan kejahatan sama kepada lebih seratus anak. Kasus Emon masih panas di telinga kita, dan media kembali menyuguhkan kasus serupa di berbagai tempat, dengan bajingan-bajingan berbeda, dengan anak-anak yang terus menjadi korbannya.
Kasus paedofilia di TK JIS atau kasus pelecehan seksual yang dilakukan Emon terhadap anak-anak di Sukabumi, serta kasus serupa lainnya, mungkin hanya sebagian kecil dari potret buram anak-anak dunia, khususnya di Indonesia. Bagaimana pun, kita bersyukur kasus-kasus itu terungkap, dan kita berharap semoga para pelakunya dihukum seberat-beratnya.
Sekarang, masih soal anak-anak, saya ingin menceritakan kasus lain, yang beritanya mungkin tidak sampai ke telinga banyak orang, karena kurang diekspos media.
Enam tahun yang lalu, seorang anak tewas di rel kereta api, di suatu tempat di Semarang. Kisah tragis itu melibatkan dua bocah berusia 9 tahun, sebut saja namanya Alit dan Ageng. Dua bocah itu putus sekolah, dan menghabiskan hari-harinya dengan mengamen di berbagai tempat, berbekal tutup botol yang dibuat menjadi alat musik sederhana.
Alit dan Ageng bertetangga, dan kedua bocah itu berkawan karib sejak kecil. Karena sadar mereka lahir dalam keluarga miskin, Alit dan Ageng seperti dipaksa dewasa sebelum waktunya. Karena orangtua mereka tidak selalu bisa memberi makan, Alit dan Ageng pun berusaha mencari uang sendiri. Entah siapa yang pertama menemukan ide, yang jelas keduanya lalu menjadi pengamen di jalanan.
Jadi, setiap menjelang siang, dua bocah itu pergi dari rumah, lalu seharian mencari uang dengan menyanyi sambil membunyi-bunyikan alat musik buatan mereka. Kadang-kadang ada orang berbaik hati memberi uang, kadang-kadang mereka mendapat makian. Kadang-kadang uang yang mereka dapatkan bisa digunakan untuk makan di pinggir jalan, kadang pula mereka harus gigit jari dan berjalan lunglai di bawah terik panas Semarang.
Semarang bukan kota besar, tetapi inilah ibukota Jawa Tengah. Dan seperti kota metropolit lain, Semarang tidak hanya berisi kemegahan dan kemewahan, tetapi juga kekerasan dan kejahatan. Alit dan Ageng menghadapi semua itu setiap hari. Mereka telah biasa dengan berbagai ancaman kekerasan yang terjadi di jalanan, mereka pun tahu bagaimana cara melarikan diri ketika Satpol PP muncul dan mengejar.
Jadi, setiap hari, ketika anak-anak lain berangkat sekolah, Alit dan Ageng berangkat ke jalan. Ketika anak-anak lain dilepas orangtua mereka dengan peluk cium, Alit dan Ageng keluar dari rumah untuk menyabung nyawa. Ketika anak-anak lain duduk manis dalam kelas, Alit dan Ageng sedang berjuang mengumpulkan receh. Ketika anak-anak lain pulang sekolah dijemput mobil-mobil mewah, Alit dan Ageng masih berpeluh keringat di jalanan... bersama nasib yang menikamkan ujung belati ke jantung takdir mereka.
Sore hari, bersama mentari yang mulai tenggelam, Alit dan Ageng akan melangkah pulang. Rumah mereka tidak jauh dari rel kereta api yang melintas di daerah mereka, dan setiap hari kedua bocah itu selalu melewati rel di sana. Kadang-kadang mereka berjalan sambil tertawa karena mendapatkan uang lumayan, kadang-kadang mereka melangkah lesu karena tidak ada uang yang didapat. Selalu ada esok, mungkin itu yang ada dalam benak mereka, sebagaimana selalu ada esok bagi anak-anak beruntung lain di dunia.
Tapi ternyata esok tak pernah tiba.
Sore itu, seperti hari-hari lain, Alit dan Ageng melangkah bersama di rel kereta api. Mereka telah hafal kapan kereta akan lewat, dan mereka pun biasanya sudah jauh-jauh menyingkir ketika kereta api akan datang. Tetapi, entah apa yang terjadi sore itu, Alit dan Ageng seperti tak mendengar peluit kencang yang muncul dari belakang mereka. Keduanya sedang melangkah lunglai ketika kereta api datang... dan para saksi mata menjerit... bersama kesadaran yang datang terlambat.
Ageng yang pertama kali menyadari maut di belakang mereka. Dia sudah mencoba memberitahu Alit untuk segera menyingkir dari rel, tapi Alit tampaknya sedang memikirkan sesuatu di kepalanya. Dia seperti tak mendengar teriakan Ageng, bahkan seperti tak mendengar suara keras di belakangnya. Dia sedang terbebani oleh pikirannya, dan terus melangkah lunglai... dan kereta api itu pun menghantam tubuh kecilnya dengan sangat keras.
Ageng, yang telah menyingkir dari rel, berdiri terpaku menyaksikan tubuh temannya tewas dihantam kereta api. Kelak, karena shock, dia bahkan tidak bisa berkata-kata sampai beberapa hari.
Kisah tragis itu dimuat sejumlah koran—bukan sebagai berita utama. Beberapa hari sejak muncul di koran, orang-orang membicarakannya. Tapi kemudian berita itu seolah menguap begitu saja di tengah-tengah masyarakat yang terlalu sibuk dan pelupa, di tengah-tengah gencarnya berbagai peristiwa yang terus memborbardir kesadaran kita.
Saat menulis catatan ini, saya bertanya-tanya, salah apa Alit dan Ageng hingga keduanya sampai menjalani masa kanak-kanak seperti itu? Mereka tidak minta dilahirkan, tapi mereka dilahirkan hanya untuk menanggung kepahitan, penderitaan, kekerasan jalanan, dan hidup yang amat berat. Mereka hanya sebagian kecil anak-anak terluka di bawah langit, yang setiap hari merasakan pedihnya kelaparan, perihnya kesepian, pahitnya penderitaan.
Di antara bayi-bayi yang terus lahir setiap hari, di sudut-sudut kehidupan kita ada anak-anak terluka yang bersabung nyawa demi meneruskan hidup, karena orangtua yang melahirkannya tak mampu memberi hidup. Mereka ada di mana-mana, setiap hari bertambah banyak, dengan luka-luka menganga yang mungkin tak terlihat, dengan darah dan nanah yang bercampur air mata.
Dan kenyataan itu pun sepertinya belum mampu membuka mata kesadaran banyak orang, hingga setiap hari bayi-bayi tak berdosa lain dilahirkan tanpa tanggung jawab, lalu mereka tumbuh besar bersama rintih kelaparan, ancaman kekerasan, perasaan terbuang, dan hidup tanpa masa depan. Mereka lahir hanya untuk digilas roda hidup, mereka hidup hanya untuk ditikam belati nasib.
Saya tahu bagaimana persisnya pikiran dan perasan anak-anak semacam itu—karena saya pernah menjadi bagian dari mereka. Saya tahu bagaimana rasanya kelaparan, seperti apa sulitnya hidup dalam penderitaan, dan bagaimana perihnya menanggung luka yang tak bisa dikatakan. Saya tahu bagaimana rasanya kesepian, merasa terbuang di jalanan, dan hidup tanpa harapan, lalu menangis sendirian. Bahkan sekarang, ketika saya telah jauh keluar dari hidup semacam itu pun, bekas lukanya belum juga sembuh.
Sekarang, saya telah menjalani hidup yang jauh berbeda dari masa kanak-kanak saya yang sangat pahit. Jika sekarang saya ditanya apakah mau dilahirkan kembali untuk menjalani kehidupan yang persis sama, maka saya akan menolak! Saya akan memilih tidak pernah dilahirkan sama sekali, daripada dilahirkan hanya untuk menjalani kehidupan seperti yang pernah saya jalani. Trauma akibat masa kecil yang rusak, jauh lebih mengerikan dari yang bisa kalian baca di koran-koran!
Karena kenyataan dan kesadaran semacam itulah yang membuat saya teramat peka setiap kali menyaksikan anak-anak terluka di sekeliling kita. Anak-anak yang menanggung beban yang seharusnya belum mereka tanggung, anak-anak yang menjadi korban kemiskinan dan penderitaan, anak-anak yang menjadi tumbal bodohnya peradaban, anak-anak yang menjadi martir bagi sakitnya kemanusiaan.
Dan di tengah-tengah tangis tak terdengar semacam itu pun, masih ada orang-orang sok bijak yang dengan jumawa menyatakan, “Tak perlu khawatir, banyak anak banyak rezeki.”
Coba katakan itu bertahun-tahun lalu ketika saya masih hidup di jalanan, dan mungkin saya akan menghantamkan batu ke mulutmu. Katakan itu pada Ageng dan Alit di Semarang—rezaki macam apa yang dimaksudkan. Atau katakan itu pada anak-anak telantar di sudut-sudut jalan, yang merintih kelaparan, menangis kesepian, terluka dan nelangsa di bawah hening rembulan.
Kemanusiaan kita sedang sakit. Dan catatan ini belum selesai.