Berjuang, menangis, dan gigihlah menulis.
Jangan lupa pula untuk mencintainya.
—Gregory Poirier
Jangan lupa pula untuk mencintainya.
—Gregory Poirier
Seorang editor mengeluh di Twitter, mengenai hubungannya dengan seorang penulis. Saya kurang tahu bagaimana masalah yang terjadi. Namun, berdasarkan pemahaman saya atas tweet-nya, editor itu mengeluhkan tidak berimbangnya keleluasaan penulis dan penerbit dalam menyampaikan uneg-uneg. Menurut si editor, seorang penulis bisa leluasa menyampaikan keluhannya mengenai sebuah penerbit secara terbuka di blog atau media lain. Di lain pihak, penerbit merasa tidak bisa seleluasa itu.
Baca: Media Online Paling Memuakkan
Ketika seorang penulis merasa kecewa pada sebuah penerbit—apa pun alasannya—si penulis merasa bebas dan merasa berhak menyampaikan keluhannya di mana saja secara terbuka. Sementara penerbit tidak bisa seperti itu. Ketika sebuah penerbit merasa kecewa pada seorang penulis—juga apa pun alasannya—mereka lebih memilih untuk diam, atau membicarakannya secara tertutup dengan si penulisnya langsung.
Tampaknya memang benar, karena sampai sekarang—setidaknya yang saya tahu—belum pernah ada penerbit yang secara terbuka menulis di web atau blognya mengenai kekecewaan mereka pada seorang penulis.
Tweet editor itu membuka mata saya mengenai hubungan atau relasi antar penulis dan penerbit, yang mungkin selama ini tidak sempat terpikirkan oleh kalangan penulis. Saya sendiri, sebagai penulis, tidak pernah memikirkan hal itu. Dalam posisi sebagai penulis, saya memandang industri penerbitan dari kacamata penulis. Padahal penerbit, dalam industri yang sama, tentu memiliki kacamata sendiri. Penulis bisa saja kecewa pada sebuah penerbit, dan penerbit pun bisa saja kecewa pada seorang penulis.
Yang menjadikan penerbit kesulitan menyampaikan kekecewaannya pada penulis, mungkin disebabkan karena posisi penerbit sebagai lembaga, sementara penulis menempati posisi perorangan.
Sekarang, pertanyaannya, benarkah penerbit tidak bisa menyampaikan keluhannya secara terbuka pada seorang penulis, sementara penulis merasa berhak menyampaikan keluhannya secara terbuka ketika kecewa pada sebuah penerbit?
Sebenarnya, penerbit bisa saja melakukan hal itu, meski tentu dengan cara yang elegan. Di masa sekarang, kebanyakan penerbit memiliki web atau blog. Sarana itu bisa saja digunakan untuk menyampaikan uneg-uneg penerbit, berkaitan dengan para penulis yang bekerjasama—atau yang akan bekerjasama—dengan mereka. Saya pikir tidak masalah, jika uneg-uneg itu disampaikan dengan cara yang santun, tanpa harus menyebut identitas untuk melindungi privasi yang bersangkutan.
Bahkan, uneg-uneg penerbit yang ditujukan untuk para penulis sebenarnya diperlukan, agar para penulis tahu apa sebenarnya yang diinginkan penerbit. Dalam hal ini, penerbit bisa menuliskan harapan-harapan mereka mengenai kerjasamanya dengan penulis, sebagaimana para penulis biasa mengharapkan penerbit ideal untuk menerbitkan naskah mereka. Dari situ, masing-masing pihak mengetahui apa yang diinginkan “calon pasangannya”, dan wujud kerjasama seperti apa yang baik.
Jika saya amati, web atau blog kebanyakan penerbit saat ini hanya berisi pameran sampul buku yang ditujukan untuk promosi, dan beberapa catatan ala kadarnya. Mungkin akan lebih baik jika sarana itu dimaksimalkan untuk menuliskan atau menyampaikan pikiran-pikiran penerbit—tidak hanya yang berkaitan dengan buku yang dijual atau diterbitkan, tapi juga yang berhubungan dengan para penulis yang bekerjasama—atau yang akan bekerjasama—dengan mereka.
Bagaimana pun, industri penerbitan digerakkan oleh penulis dan penerbit—untuk tidak bermaksud menafikan elemen lain. Tanpa penulis, penerbit tidak bisa berproduksi. Begitu pun, tanpa penerbit, penulis tidak bisa menerbitkan karyanya. Meski sekarang ada teknologi POD (Print On Demand) sehingga siapa pun bisa menerbitkan karyanya secara mandiri atau indie, tapi para penulis profesional tetap cenderung memilih penerbit mayor.
Artinya, penerbit membutuhkan penulis, sebagaimana penulis membutuhkan penerbit. Dalam relasi itulah kita melihat pentingnya kesalingpengertian pada masing-masing pihak, sehingga kerjasama yang terjadi bisa saling menguntungkan sekaligus memuaskan. Kerjasama yang baik bukan menang-kalah atau kalah-menang, melainkan menang-menang. Kedua pihak harus saling merasa puas dalam hubungan itu, dan tidak ada yang dirugikan.
Dalam perspektif yang sederhana, untuk mencapai tujuan itu sebenarnya tidak sulit. Hanya dibutuhkan dua hal—kejujuran dan keterbukaan.
Hubungan kerjasama akan mulai rusak ketika kejujuran terdistorsi, dan kekecewaan disampaikan di belakang punggung. Fakta pahitnya, kenyataan itulah yang kadang terjadi. Penerbit kadang memanipulasi kepercayaan penulisnya, dan si penulis menyampaikan kekecewaannya pada si penerbit secara tidak langsung. Atau sebaliknya, si penulis melanggar perjanjian kerjasama mereka, dan penerbit kebingungan menghadapinya.
Para pelaku industri penerbitan tentunya paham bahwa relasi penulis-penerbit memang rentan kecurangan. Bagaimana pun, kalau boleh ngomong blak-blakan, penerbit bisa saja mencurangi jumlah buku yang dicetak sehingga mengorupsi royalti si penulis. Mereka bisa saja menyatakan mencetak lima ribu eksemplar, padahal kenyataannya yang dicetak delapan ribu eksemplar.
Sebaliknya, penulis juga bisa mencurangi penerbit dengan berbagai cara. Dari menulis naskah yang mirip, sampai penggandaan penerbitan (satu naskah yang sama diterbitkan dua penerbit berbeda secara sengaja). Kenyataan itu pernah terjadi—sebuah buku dengan materi atau isi yang persis sama seratus persen, tapi diterbitkan dua penerbit berbeda, dalam waktu nyaris bersamaan. Anehnya, masing-masing penerbit buku tersebut tidak menyadari kenyataan itu.
Untuk menghindari kemungkinan negatif semacam itulah dibutuhkan kejujuran dan keterbukaan. Karena tujuan itu pula, ada penerbit yang sampai menambahkan pasal khusus dalam perjanjian penerbitan, yang bunyinya kira-kira seperti ini, “Jika penulis merasa ragu terhadap data penjualan bukunya, penulis berhak menggunakan jasa akuntan publik untuk melakukan pengecekan atas data yang kami berikan.”
Melalui pasal itu, penerbit seolah menyatakan, “Kami menjamin bahwa kami penerbit jujur. Namun, kalau penulis masih merasa ragu, silakan gunakan akuntan publik untuk memverifikasi kejujuran kami.”
Saya percaya bahwa jika kita jujur pada seseorang, dia pun akan berusaha jujur kepada kita. Sebagaimana kalau kita terbuka pada seseorang, dia pun akan terbuka pada kita. Meski tentu saja kadang ada anomali, karena ini bukan rumus eksak. Tetapi, bagaimana pun, kita selalu berupaya menghormati kejujuran dengan kejujuran yang sama, sebagaimana kita selalu berusaha mengimbangi keterbukaan seseorang dengan keterbukaan yang sama. Begitu pula dengan relasi penulis-penerbit.
Dalam beberapa kasus, kadang ada penulis yang mengetahui penerbit telah mencuranginya. Karena si penerbit tidak terbuka, si penulis pun tidak terbuka. Si penulis kecewa, tapi diam saja. Alih-alih menyatakan kekecewaannya terus terang kepada si penerbit, dia mengumbar kekecewaannya di belakang punggung penerbit dengan membukakannya di mana-mana. Mungkin si penulis salah, tapi si penerbit yang lebih dulu memulai kesalahan.
Sebaliknya, dalam beberapa kasus, kadang memang ada penulis yang terlalu “rewel”—biasanya penulis pemula atau bukan profesional, sehingga kurang tahu dunia penerbitan.
Meski penerbit telah melakukan segalanya dengan baik dan jujur, si penulis tetap saja bawel. Kalau bukunya tidak laku, dia menyalahkan penerbit, padahal dia tidak mau membantu promosi sedikit pun. Kalau ada kritik dari pembaca, dia menyalahkan penerbit, padahal dia sama sekali tidak memberikan saran atau masukan apa pun untuk bukunya. Meski penerbit sudah jujur dan terbuka, dia malah ribut di belakang.
Karenanya, sekali lagi, unsur penting dalam hal ini adalah kejujuran dan keterbukaan, karena bagaimana pun penulis dan penerbit saling membutuhkan.
Jika penerbit sudah berusaha jujur dan terbuka, namun penulis masih merasa kecewa, sampaikan secara langsung pada penerbit, sehingga terjadi komunikasi yang sehat. Begitu pun, kalau penerbit ingin melakukan sesuatu menyangkut naskah, dan kebetulan hal itu belum diatur tersendiri dalam perjanjian penerbitan, sampaikan hal itu pada si penulis, agar tidak ada pihak yang kecewa atau merasa dirugikan.
Relasi penulis-penerbit sebenarnya sangat mudah dipahami, sebagaimana kita memahami hubungan sepasang pacar. Keduanya saling membutuhkan. Jika salah satunya merasa “sok tidak butuh” dan kemudian berlaku seenaknya pada si pasangan, maka hubungan itu pun akan retak.
Memang, di dunia ini—khususnya di negara ini—ada ribuan penulis. Tetapi, kalau ingin tahu, ada banyak penerbit yang kesulitan mendapatkan penulis yang mau bekerjasama dengan mereka. Sebaliknya, di negeri ini memang ada banyak penerbit. Tetapi hal sama juga berlaku—ada banyak sekali penulis yang kesulitan mendapatkan penerbit untuk menerbitkan karyanya.
Karenanya, sungguh tolol jika ada penulis yang menyia-nyiakan kepercayaan penerbit yang telah mau bekerjasama dengan mereka, sama tololnya dengan penerbit yang memanipulasi kepercayaan penulisnya.