Minggu, 04 Mei 2014

Awal Menulis

Aku bodoh, miskin, dan gila.
Tapi aku menulis… dan itu mengubah segalanya.
@noffret


Ini kisah awal saya menekuni dunia kepenulisan. Saya menulis catatan ini untuk mengenang kembali saat-saat yang kini menjadi kenangan manis. Sebenarnya, saya suka menulis sejak SD. Tetapi awal menulis secara profesional saat di SMA—ketika mulai mengirimkan tulisan ke majalah.

Dulu, waktu saya masih ABG, ada majalah-majalah remaja yang bagus, dan saya pun suka membaca serta mengikutinya. Di antara majalah-majalah yang bagus itu, tiga yang sangat saya sukai adalah Mode, Ceria, dan majalah Anita.

Saya menyukai majalah Mode, karena, well, isinya keren—khususnya untuk saya yang waktu itu masih ABG. Melalui majalah itu saya tahu tren apa yang sedang berlangsung, perkembangan zaman seperti apa yang sedang terjadi. Jadi saya pun sering meminjam majalah itu dari teman.

Sedang alasan saya menyukai majalah Ceria dan Anita, karena dua majalah itu memuat banyak puisi serta cerpen yang dikirim para pembaca. Di tahun 90-an, ketika saya masih ABG, membaca majalah Ceria dan Anita adalah keasyikan luar biasa. Melalui kedua majalah itu, saya bisa menikmati cerpen-cerpen bagus—suatu hal yang kemudian membuat saya terobsesi.

Benar, saya terobsesi untuk dapat menulis cerpen yang bisa dimuat majalah itu. Pada waktu itu, memiliki karya yang dimuat majalah Anita atau Ceria adalah suatu prestise bagi remaja yang suka menulis. Kedua majalah itu memiliki redaktur hebat, dan cerpen-cerpen yang dimuat di dua majalah itu pun bukan karya-karya sembarangan.

Di majalah Ceria, misalnya, redaktur cerpennya Nina Pane (salah satu penulis terkenal Indonesia), sedang redaktur puisinya Sutardji Calzoum Bachrie, penyair yang dianggap sebagai presidennya kaum penyair di Indonesia. Jadi kita bisa membayangkan seperti apa kualifikasi yang dibutuhkan untuk dapat menembus dinding seleksi mereka.

Dan memang, menembus dinding seleksi majalah-majalah itu agar karya kita dimuat di sana bukan pekerjaan mudah. Pertama; karena taraf kualifikasinya sangat tinggi, dan kedua; karena tingkat persaingannya sangat ketat.

Majalah-majalah yang saya sebutkan itu terbit dua minggu sekali, sementara setiap hari mereka mendapat kiriman puluhan naskah yang terus menumpuk. Sering kali, seorang pengirim naskah harus sabar menunggu sampai 6 bulan (setengah tahun) hanya untuk memperoleh kepastian apakah karyanya diterima (untuk dimuat) atau ditolak (dan dikembalikan).

Karenanya, mengirim naskah dengan harapan dapat dimuat di majalah pada masa itu tidak hanya membutuhkan perjuangan yang keras, tetapi juga kesabaran luar biasa. Dua hal itulah yang kemudian—secara tak langsung—menempa banyak calon penulis muda Indonesia pada waktu itu.

Ada kalanya, majalah Anita mengadakan sayembara penulisan cerpen dengan hadiah mesin ketik. Pada masa itu, hadiah mesin ketik mungkin setara dengan satu set komputer atau laptop di masa sekarang. Karenanya, ketika sayembara semacam itu diadakan, peminatnya pasti membludak. Jumlahnya tidak lagi ratusan, tapi ribuan. Dan, biasanya, saya termasuk yang ikut. Dan, biasanya pula, saya termasuk yang tidak menang.

Tapi saya senang.

Saya senang meskipun tidak juara atau menjadi pemenang dalam lomba itu. Bahkan, ketika berkali-kali saya mencoba mengirimkan naskah ke majalah dan berkali-kali pula ditolak, saya tetap merasa senang. Jangan tanya mengapa, karena saya sendiri tidak tahu jawabannya.

Yang saya tahu, saya senang karena menyadari bahwa saya sedang berproses dalam mengejar sesuatu, atau berproses untuk menjadi sesuatu. Padahal, kalau ingin tahu, saya sampai tidak jajan berhari-hari agar dapat membeli kertas, kemudian meminjam mesin ketik milik teman, agar bisa menulis naskah-naskah yang kemudian ditolak. (Omong-omong, waktu itu komputer belum musim, dan rental pengetikan belum ada).

Jadi, itulah yang saya lakukan—menyimpan uang jajan selama berhari-hari, kemudian uangnya saya gunakan untuk membeli kertas HVS, lalu begadang beberapa malam untuk mengetik naskah di mesin ketik yang saya pinjam dari teman. Biasanya, suara mesin ketik yang keras di malam hari itu akan terdengar para tetangga sampai radius beberapa meter.

Ketika naskah cerpen yang saya bikin telah jadi, saya harus menyisihkan uang jajan lagi—kali ini untuk membeli amplop, perangko pengiriman, dan perangko balasan untuk pengembalian (jika naskah ditolak dan dikembalikan). Omong-omong, waktu itu internet belum ngetren, dan pengiriman naskah lewat e-mail masih menjadi bagian dari film fiksi ilmiah.

Seperti yang dikatakan tadi, saya senang melakukannya. Biasanya, enam bulan setelah mengirimkan naskah, saya pun akan tahu nasib naskah itu. Yang biasanya terjadi, sepulang sekolah saya akan mendapati sebuah amplop berisi naskah yang dikembalikan—naskah yang saya kirim enam bulan sebelumnya.

Ketika mendapati hal itu, rasanya saya ingin menangis sambil tertawa. Ingin menangis, karena semua perjuangan, kerja keras, dan semua upaya yang telah saya lakukan ternyata sia-sia. Tapi saya juga ingin tertawa, karena…

…karena saya bisa mulai menulis lagi, dan berharap lagi, dan bermimpi lagi, dan berkata pada diri sendiri, “Kau bisa berhenti sekarang dan membuang mimpimu. Tetapi, kau bisa mulai kembali, dan… siapa tahu ternyata karyamu selanjutnya berhasil terbit?”

Maka saya pun kembali menulis cerpen atau puisi di buku pelajaran saya—mengarang lagi, mencorat-coret lagi. Ketika cerpen atau puisi itu telah selesai dan sudah saya anggap bagus, saya pun mulai tidak jajan lagi agar dapat mengumpulkan uang untuk membeli kertas HVS. Setelah itu, saya akan meminjam mesin ketik milik teman lagi, dan mulai begadang lagi, mengetik lagi, dan tetangga-tetangga saya akan mulai mendengar suara ketak-ketik-keras sampai larut malam lagi.

Setelah karya itu selesai diketik, saya kembali tidak jajan untuk mengumpulkan uang buat membeli amplop dan perangko. Enam bulan kemudian… naskah itu ditolak dan dikembalikan lagi. Dan saya ingin menangis sambil tertawa lagi!

Dan prosesnya dimulai kembali—dari awal lagi.

Pada masa-masa itu, sejujurnya, ada bagian diri saya yang ingin menyerah, ingin berhenti dan tidak mencoba lagi. Tetapi, setiap kali ingin menyerah, setiap kali pula bagian diri saya yang lain berbisik, “Jangan membohongi dirimu sendiri. Kau tahu satu-satunya hal yang ingin kaulakukan di dunia ini hanyalah menulis. Jadi, ayo, menulislah lagi!”

Maka saya pun menulis lagi. Tidak jajan lagi. Meminjam mesin ketik lagi. Begadang lagi. Menunggu dengan harap-harap cemas lagi. Lalu… ditolak lagi. Dan setiap kali saya ingin menangis dan menyerah, setiap kali pula saya berkata pada diri sendiri, “Mungkin karyamu selanjutnya akan berhasil. Ayo coba lagi.”

Untuk setiap batang yang tumbuh, ada banyak benih yang mati. Jika kita menyebar sepuluh biji mangga, tidak ada jaminan sepuluh biji itu akan tumbuh semua.

Begitu pula proses menulis yang saya jalani. Untuk setiap karya yang berhasil terbit di majalah, ada puluhan karya lain yang ditolak. Tetapi penolakan demi penolakan itu, pada akhirnya, membuat saya belajar dan terus belajar—menulis dan menulis lebih baik lagi. Jika hari ini orang bertanya siapa guru menulis saya, maka guru menulis saya adalah penolakan-penolakan yang pernah saya terima.

Hari ini, saya telah cukup banyak menulis, artikel ataupun buku yang diterbitkan, fiksi maupun nonfiksi, di media cetak maupun internet. Dan saya masih suka menulis, masih terus menulis.

Kalau kau bertanya apakah saya senang, tentu saja saya senang. Menulis adalah satu-satunya pekerjaan yang dapat saya lakukan dengan perasaan senang dan cinta, dengan hati bahagia. Jika ada sesuatu yang paling ingin saya lakukan di dunia selagi hidup, maka itu adalah menulis.

Karena itulah saya melakukannya.

 
;