Sabtu, 10 Mei 2014

Cinta Tak Selesai

Aku belajar, aku tak bisa memaksa orang lain
untuk jatuh cinta kepadaku.
@noffret


Waktu kelas satu SMA, saya sekelas dengan Martha (bukan nama sebenarnya). Karena seringnya ketemu di perpustakaan, kami pun jadi akrab. Dia murid yang pintar. Jadi, sering kali saya nyontek dia kalau kebetulan ada PR. Kalau suatu hari saya bolos sekolah, biasanya saya juga akan nitip surat izin lewat Martha. Selama setahun di kelas satu, kami menjalin pertemanan yang menyenangkan.

Saat naik kelas dua, Martha masuk jurusan IPA, sementara saya masuk IPS. Ruang kelas kami kebetulan cukup jauh. Jadi sejak itu kami pun mulai jarang ketemu, selain di perpustakaan waktu istirahat sekolah. Tapi kami masih berteman, dan masih senang bercanda bersama.

Di kelas dua, saya duduk sebangku dengan Firdan (juga bukan nama sebenarnya). Sebelumnya, di kelas satu, Firdan beda kelas dengan saya—dia di kelas B, saya di kelas D. Tapi kami saling kenal, lalu nasib mempertemukan kami untuk duduk satu meja di kelas dua IPS. Dan nasib itu pula yang kemudian mengantarkan saya pada kisah cinta… yang kemudian tak selesai.

Suatu hari, ketika sedang bercakap-cakap di perpustakaan, Martha membuka pembicaraan mengenai Firdan. Dia menanyakan pendapat saya tentang Firdan, dan saya pun menjawabnya dengan jujur. Setahu saya, Firdan anak baik, tidak sombong, meski saya tidak tahu apakah dia rajin menabung atau tidak. Yang jelas, Firdan bernilai positif di mata saya.

“Dia udah punya pacar?” tanya Martha suatu kali.

Saya menjawab jujur, “Setahuku sih belum.”

“Hmm... kira-kira cewek gimana sih yang dia inginkan?”

“Uhm, nggak tahu, tuh. Mau aku tanyain ke orangnya?”

Martha cuma tersenyum.

Suatu hari, Martha membukakan kisah hatinya. Ternyata, sejak kelas satu, dia telah naksir Firdan. Tetapi, karena tidak sekelas, dia agak kesulitan menunjukkan perhatian bahwa dia naksir Firdan. Sekarang, karena saya duduk satu meja dengan Firdan, Martha pun berharap saya bisa menyampaikan perasaannya pada cowok itu, meski tentu tidak secara langsung.

Saya memahami maksud Martha. Dan saya menjanjikan untuk melakukan misi itu sebaik-baiknya. Saya akan ikut senang kalau Firdan bisa jadian dengan Martha.

Jadi, ketika suatu hari saya ngobrol berdua dengan Firdan di depan kelas, dan pembicaraan kami sampai ke topik cewek, saya pun mancing-mancing Firdan. Dia menanyakan tipe cewek seperti apa yang saya impikan, dan saya menjawab jujur.

Lalu saya tanya ke Firdan. “Kalau kamu, Fir? Sukanya cewek yang gimana?”

“Uh, nggak tahu,” jawabnya.

“Masak nggak tahu?”

“Maksudnya, aku sulit gambarin gimana-gimananya. Pokoknya kalau aku nemu yang pas, aku akan tahu kayak apa cewek yang aku impikan.”

“Hmm… kalau cewek tipe Martha, gimana?”

“Martha temenmu itu?”

“Iya. Kamu suka yang tipe kayak dia?”

Firdan tersenyum. “Kayaknya nggak, deh. Dia tuh… apa, ya? Kayaknya dia tuh terlalu kelihatan pinternya. Jadinya malah bikin takut.”

Saya melongo. Dan diam-diam membatin, mungkin Martha perlu kelihatan sedikit tolol untuk menarik perhatian cowok ini.

Firdan adalah cowok kalem yang tidak banyak tingkah. Di sekolah kami, tidak banyak yang mengenal namanya, karena dia memang “low profile” dalam arti sebenarnya. Dia ramah, murah senyum, dan agak pendiam. Sebaliknya, Martha adalah cewek populer di sekolah. Karena tampilan fisiknya, juga karena kecerdasannya. Seperti yang tadi dibilang Firdan, “dia tuh terlalu kelihatan pinternya”.

Berhari-hari setelah obrolan kami di depan kelas itu, Firdan dan saya tidak membahas topik itu lagi. Tapi Martha tak pernah berhenti bertanya pada saya tentang Firdan, setiap kali kami bertemu di perpustakaan. Dari “gimana kabarnya?” sampai “dia bener belum punya pacar, kan?”

Saya selalu berusaha menjawab jujur untuk setiap pertanyaan Martha, meski saya tidak ingin memberikan harapan kosong kepadanya. Jadi, saya berterus terang apa pun keadaan Firdan. Tapi saya kebingungan ketika Martha bertanya, “Da’, menurutmu, kira-kira gimana prospek jadian kami?”

Mungkin saya akan tertawa kalau mendengar pertanyaan semacam itu di masa sekarang. Tapi waktu itu saya masih SMA. Dan mendengar pertanyaan tentang “prospek jadian” waktu itu membuat saya membayangkan takdir dua manusia, tentang masa depan anak-anak mereka, hingga membayangkan nasib umat manusia kalau mereka sampai tidak jadian.

“Uh…” saya bingung menjawab pertanyaan Martha. “Nggak tahu, Mar.”

Tapi Martha rupanya sudah “kebelet” cinta. Dia berkata sungguh-sungguh, “Da’, bantuin aku, dong.”

“Bukannya selama ini aku emang bantuin?”

“Maksudku, bantuin aku biar bisa jadian sama dia.”

Sebenarnya, jika saya menilai Martha secara objektif dengan mata seorang cowok, dia bisa mendapatkan cowok lain yang jauh lebih baik dibanding Firdan. Dia cantik, pintar, dan salah satu murid terkenal di sekolah. Kalau dia masuk kantin, bocah-bocah di sekolah kami akan berebutan menyapanya, sementara sebagian yang lain akan memandanginya diam-diam. Saya sendiri—dalam hati mengakui—mau-mau saja jadi pacarnya, kalau dia mau!

Tapi cinta kadang-kadang menuju ke arah yang keliru. Cewek yang jadi pujaan banyak cowok itu justru jatuh hati pada cowok “biasa-biasa saja” yang—sepertinya—justru tak punya perasaan apa pun kepadanya.

Satu tahun berlalu, dan Martha masih memendam perasaannya kepada Firdan. Saya sudah berusaha menunjukkan pada Firdan—dengan cara halus sampai cukup terang-terangan—bahwa Martha jatuh hati kepadanya, tetapi sikap Firdan dingin-dingin saja. Bahkan, setelah tahu Martha naksir padanya, Firdan justru terlihat berusaha menghindari Martha. Suatu hari saya pernah memergoki Firdan akan masuk perpus, tapi kemudian segera berbalik begitu tahu di sana ada Martha.

Ada pepatah yang bilang, “Cowok tuh pemberani, tapi jadi pemalu ketika jatuh cinta. Cewek tuh pemalu, tapi jadi pemberani ketika jatuh cinta.”

Mungkin pepatah itu memang benar. Setelah tahu saya tidak bisa membantunya lebih jauh, Martha akhirnya nekat mendekati Firdan secara langsung. Saat di kantin, misalnya, Martha akan mengambil tempat duduk di dekat Firdan, dan berusaha membuka percakapan dengan cowok itu. Tapi Firdan hanya menanggapi dingin.

Waktu itu ponsel belum semusim sekarang. Belum ada Twitter, Facebook, ataupun sarana lain yang memudahkan pedekate. Jadi, Martha meminta saya untuk mendapatkan nomor telepon rumah Firdan, dan saya memberikannya. Tetapi, setiap kali Martha menelepon ke rumah Firdan, selalu ada seribu satu alasan yang intinya Firdan tidak bisa menerima telepon Martha. Sepertinya, Firdan telah memesan orang di rumahnya agar semua telepon dari Martha tidak diteruskan kepadanya.

Sampai suatu hari, Firdan berkata sungguh-sungguh, “Da’, tolong temanmu dikasih tahu dong, jangan gitu terus.”

Saya memahami maksudnya. Upaya pendekatan yang dilakukan Martha telah cukup mengganggu Firdan, hingga ia tak lagi merasa nyaman. Tapi apa yang harus saya lakukan? Apakah saya harus berkata terus-terang pada Martha bahwa Firdan sama sekali tidak bisa mencintai atau menerima cintanya?

Oh, saya memang akhirnya menyatakan kepahitan itu. Kepada Martha, ketika kami hanya berdua di ruang perpus yang sepi, saya katakan dengan halus pada cewek itu, bahwa sepertinya Firdan tidak bisa menerimanya. Dengan halus pula saya memberikan saran kepadanya agar mencari cowok lain saja.

Tapi Martha tidak peduli. Salah satu penyakit orang pintar, kau tahu, adalah keras kepala. Dengan fasih dia malah berkata, “Mungkin kamu lupa, batu yang keras pun akhirnya berlubang setelah terkena tetesan air terus-menerus.”

Analogi yang hebat, pikir saya. Tapi mungkin Martha tak menyadari bahwa hati manusia ada kalanya jauh lebih keras dibanding batu yang paling keras, sebagaimana kepalanya sendiri yang jauh lebih keras dari batu keras. Jadi, seiring satu tahun lagi berlalu, Martha tetap keras kepala pada pendiriannya, pada cintanya. Sebagai teman, saya hanya bisa mendukung, dan diam-diam berdoa, semoga dua bocah aneh itu benar-benar bisa jadian—entah bagaimana caranya.

Sampai akhirnya waktu kelulusan tiba. Martha tetap belum jadian dengan Firdan, meski—berdasarkan pengakuannya sendiri—dia masih mencintai cowok itu dan tetap berharap untuknya. Selepas SMA, kami semua berpisah, mengejar nasib dan cita-cita. Dan sejak itu saya tidak tahu lagi bagaimana nasib mereka.

Bertahun-tahun kemudian, SMA kami mengadakan reuni, dan dalam acara itu saya kembali bertemu teman-teman lama, termasuk dengan Firdan dan Martha. Ada banyak hal yang telah berubah—dari tampilan fisik, sampai status masing-masing orang. Dalam reuni itu kami tahu ada teman-teman yang masih kuliah, ada yang bekerja, ada pula yang telah menikah.

Firdan dan Martha termasuk yang sudah menikah… tapi dengan orang lain. Firdan menikah dengan wanita teman sekampusnya, sementara Martha menikah dengan lelaki lain. Dalam acara reuni itu, Firdan maupun Martha datang sendirian. Kami semua telah dewasa, dan mungkin telah melupakan semua kekonyolan yang dulu terjadi di masa SMA.

Ketika bertemu Martha, Firdan menyapa dengan sopan, sementara Martha tampak salah tingkah. Saya ada di sana. Dan menyaksikan keduanya, saya pun tahu ada cinta yang tak selesai di hati seorang anak manusia.

 
;