Kamis, 01 Mei 2014

Cara Mudah Membuat Orang Lain Terkesan

Kita semua mengenakan topeng, karena tak sempurna.
Sebagian orang sadar mengenakan topeng,
sebagian lain menganggap topeng itu wajahnya.
@noffret 


Salah satu hukum rahasia psikologi manusia adalah, “Jika seseorang berusaha membuatmu terkesan, sebaiknya tidak usah terkesan!”

Ketika saya masih remaja, dan belum mengetahui hukum psikologi itu, saya sering terkesan pada orang-orang tertentu yang gayanya meyakinkan, bicaranya terkesan pintar, atau yang tingkahnya cenderung dibuat-buat agar mengesankan. Waktu itu, dengan segala kenaifan sebagai remaja, saya menganggap orang-orang semacam itu layak dipercaya dan diikuti. Kini, ketika dewasa, saya justru menertawakannya.

Sekarang, jika bertemu seseorang yang berusaha membuat saya terkesan, saya justru tidak akan terkesan!

Beberapa tahun lalu, untuk suatu keperluan, saya bersama seorang teman ditugaskan sebuah lembaga untuk melakukan survai di beberapa daerah yang terhitung pelosok. Daerah-daerah itu nyaris tidak terdapat di peta, dan para penduduknya bisa dibilang masih “terbelakang”—dalam arti belum semodern orang-orang di perkotaan. Rata-rata pendidikan mereka masih sangat minim, dan akses informasi juga sangat terbatas.

Seperti umumnya orang desa, mereka sangat ramah, meski terhadap orang asing. Saya bersama teman menelusuri desa-desa itu untuk mengerjakan tugas kami, mewawancarai orang-orang yang dipilih, dan melakukan beberapa hal yang harus kami lakukan sehubungan kunjungan kami di sana. Selama menemui orang-orang di rumah mereka, kami disambut dengan keramahan yang menyenangkan.

Kami bercakap-cakap dengan mereka dalam suasana akrab, dengan bahasa sehari-hari, dan pertemuan-pertemuan itu pun terasa sangat menyenangkan sekaligus mengesankan. Terbiasa hidup di kota yang bising dan asing satu sama lain, keramahan orang-orang desa terasa seperti oase di tengah kegersangan. Mereka bertanya dan kami menjawab, atau kami bertanya dan mereka menjawab. Semuanya dalam bahasa sederhana, dengan dialek sehari-hari yang akrab.

Sampai kemudian, kami menemui seseorang yang “berbeda”. Dia lelaki berusia 35-an, tidak tamat SMP, tidak pernah membaca buku, hanya sesekali membaca koran, namun sering menonton televisi. Dia suka mengikuti berita, katanya, khususnya berita politik. 

Berbeda dengan orang-orang lain yang telah kami temui sebelumnya, lelaki itu berbicara dengan gaya “akademis”. Dia tidak bicara dengan bahasa sederhana sehari-hari, tapi menggunakan istilah-istilah yang diusahakan terdengar intelek—derivatif, probabilitas, tipologi, profan, kausalitas, dan lainnya. Mungkin dia mengenal istilah-istilah itu dari televisi yang biasa ditontonnya. Tujuannya jelas, dia ingin membuat kami terkesan.

Dan apakah kami terkesan? Tidak!

Kami tidak terkesan, bukan karena dia berpendidikan rendah atau karena dia tinggal di desa. Kami tidak terkesan, karena dia berusaha membuat kami terkesan! Padahal, kalau saja dia bercakap-cakap dengan bahasa yang wajar, dengan istilah sehari-hari, bisa jadi kami justru akan terkesan. Tapi tidak, dia berusaha membuat kami terkesan. Dan karena dia berusaha membuat kami terkesan, kami justru tidak terkesan!

Semakin kuat upaya kita untuk membuat orang lain terkesan, mereka justru tidak akan terkesan! Itu hukum psikologi yang berlaku di mana pun, kapan pun, dengan siapa pun. Sebegitu pentingnya hukum ini, hingga saya merasa perlu mengulanginya sekali lagi dengan cetakan tebal. Semakin kuat upaya kita untuk membuat orang lain terkesan, mereka justru tidak akan terkesan!

Kita terkesan pada orang yang wajar, apa adanya, tidak dibuat-buat. Sebaliknya, kita muak pada orang yang berkebalikan dari itu. Kita terkesan pada orang pintar yang wajar, tapi muak pada orang yang sok pintar. Kita terkesan pada orang alim yang wajar, tapi kita muak pada orang yang sok alim. Kita terkesan pada orang hebat yang wajar, tapi kita muak pada orang yang sok hebat.

Selama melakukan penelitian di desa-desa yang kami kunjungi, saya dan teman berinteraksi dengan orang-orang desa yang sederhana, tapi kami terkesan pada mereka. Mengapa? Karena mereka tampil wajar, apa adanya, dengan segala kesederhanaan mereka. Sebaliknya, ketika ada orang yang berusaha tampil dibuat-buat dengan tujuan agar kami terkesan, kami justru tidak terkesan!

Kita terkesan pada orang lain bukan karena mereka berusaha membuat kita terkesan, tapi karena mereka tampil sebagai diri mereka sejujurnya—tidak dibuat-buat, tidak munafik, tidak berusaha tampak hebat. Pendeknya, tidak sok! Bahkan, dalam skala ekstrim, orang yang sombong pun kadang masih mampu membuat kita terkesan, selama kesombongannya alami—bukan sekadar sok sombong-sombongan.

Ehmmm....

Masih beberapa tahun yang lalu, saya diminta sebuah lembaga untuk mencari satu orang untuk suatu pekerjaan di lapangan. Kualifikasi yang diminta sangat mudah—yang mereka inginkan hanya seseorang yang cerdas, dan memiliki penampilan yang biasa.

Melalui beberapa teman, saya mendapat rekomendasi sebuah nama. Kita sebut saja namanya Mister X. Dia masih muda, terkenal pintar, berwajah biasa, dengan penampilan yang juga biasa saja. Secara keseluruhan, pikir saya waktu itu, dia memenuhi syarat—cerdas, dan sosoknya biasa-biasa saja. Dia bukan tipe orang yang akan menarik perhatian.

Maka saya pun menyodorkan nama Mister X ke direktur lembaga yang menghubungi saya. Ketika mendengar nama yang saya sebutkan, dia langsung melengos. “Orang ini,” katanya, “sudah beberapa kali disodorkan, dan kami terus menolaknya.”

“Boleh saya tahu kenapa?” tanya saya penasaran.

Jawabannya terdengar bernada muak, “Ketika pertama kali namanya disodorkan, kami telah meriset kehidupan orang ini. Hasilnya, dia pintarnya tidak seberapa, tapi sombongnya telah sampai ke neraka!”

Kemudian, masih dengan nada muak, dia menceritakan. Mister X, katanya, mengidap “penyakit” yang biasa menghinggapi orang-orang yang “baru merasa pintar”. Seperti bocah yang baru belajar pencak silat, Mister X kemana-mana ingin pamer jurus, berusaha membuat orang lain terkesan dengan wawasan dan pengetahuannya. Sosoknya memang tampak biasa, tapi gayanya yang memuakkan membuat orang mengingatnya secara negatif.

Untuk mendukung penjelasannya, dia menyodorkan sebuah portofolio yang menjelaskan kualifikasi Mister X seutuhnya. Menyangkut kecakapan berinteraksi, kemampuan dan tingkat kecerdasan, gaya sehari-hari, hingga lainnya. Di portofolio itu saya mendapati semua skor yang rendah—jauh berbeda dengan gaya yang biasa ia pamerkan. “Orang-orang tolol mungkin terkesan pada orang sok pintar semacam ini,” ujarnya sambil menuding lembar portofolio di atas meja, “tapi kita tidak butuh!”

Penjelasan itu kemudian membuka mata saya, bahwa orang yang suka sok-sokan memang sering kali justru tidak tahu apa-apa, sebagaimana tong kosong yang selalu berbunyi nyaring. Kemudian saya mengingat orang-orang yang pernah bekerja dengan saya—mereka memiliki kecakapan, kemampuan, dan kecerdasan di atas rata-rata, tapi sikapnya sangat bersahaja, dengan penampilan yang juga sangat biasa. Beberapa orang bahkan menguasai lebih dari dua belas bahasa, tapi biasa ngobrol dengan bahasa sederhana.

Tiba-tiba saya seperti dipaksa melihat dunia di sekitar kita—dunia nyata, maupun dunia maya. Meski mungkin dengan pahit, sepertinya kita harus mengakui bahwa tong kosong memang berbunyi nyaring.

Seperti yang disebutkan tadi, bocah yang baru belajar pencak silat selalu ingin pamer jurus dan sok jagoan, padahal pendekar yang benar-benar sakti justru bersikap kalem. Orang yang baru kemarin belajar agama suka bertingkah seolah paling alim sendiri, padahal ulama yang puluhan tahun belajar agama justru bersikap kalem. Orang yang baru membaca beberapa buku sering kali sok bertingkah paling pintar sendiri, padahal yang telah membaca ribuan buku justru bersikap kalem.

Kecenderungan semacam itu memang sering menghinggapi orang-orang yang “baru merasa hebat”. Kita bisa mudah menemukannya di sekeliling kita—di dunia nyata maupun di dunia maya. Di mana pun, selalu ada orang-orang yang sok jagoan, sok alim, atau pun sok pintar. Yang sok jago mudah marah hanya karena tersinggung sedikit, yang sok alim mudah menyalahkan dan mengafirkan orang lain, sementara yang sok pintar bertingkah seolah orang lain bodoh semua.

Mungkin sikap sok mereka bertujuan agar kita terkesan. Dan apakah kita terkesan? Sejujurnya, saya tidak! Karena ketika seseorang berusaha membuat orang lain terkesan, artinya dia tidak punya apa pun yang mengesankan. Dan ketika orang semacam itu berusaha membuat orang lain terkesan, saya tidak terkesan!

Ketika seseorang sibuk memamerkan gelar dan titelnya secara demonstratif, apakah kita terkesan? Tidak! Ketika seseorang sibuk menyombongkan kekayaannya yang tak seberapa, apakah kita terkesan? Tidak! Ketika seseorang sibuk mengkhotbahkan pengetahuan agamanya yang dangkal, apakah kita terkesan? Tidak! Ketika seseorang sibuk berkoar-koar memamerkan pengetahuannya yang pas-pasan, apakah kita terkesan? Juga tidak!

Sebaliknya, kita justru sering terkesan pada orang yang bersikap wajar, dan bersahaja. Mungkin dia memang tidak istimewa. Tapi sikapnya yang wajar dan apa adanya justru membuat kita terkesan. Dan, “ironis”nya, orang-orang yang sikapnya bersahaja semacam itu sering kali justru memiliki hal-hal yang benar-benar mengesankan. Sebagaimana padi yang makin merunduk karena berisi, orang-orang istimewa justru bersikap sederhana.

Jadi, cara mudah untuk membuat orang lain terkesan adalah; jangan berusaha membuat orang lain terkesan! Karena semakin kuat kita berusaha membuat orang lain terkesan, mereka justru tidak akan terkesan! Jadiah pintar, tapi tidak usah sok pintar. Jadilah alim, tapi tidak usah sok alim. Jadilah hebat, tapi tidak sok hebat.

Karenanya pula, cara mudah untuk mengetahui apakah kita “benar-benar hebat” atau “sekadar merasa hebat” adalah dengan melihat diri sendiri. Jika kita masih berupaya agar orang lain mengetahui dan mengakui kehebatan kita, artinya kita belum hebat. Orang-orang yang benar-benar hebat tidak peduli apakah orang lain mengetahui dan mengakui kehebatannya atau tidak.

Omong-omong, saya bukan orang hebat. Jadi tidak usah terkesan!

 
;