Waktu berjalan seperti hantu melintas di kegelapan malam.
—@noffret
—@noffret
Selama ini, saya sering mendengar orang menyatakan, “Gedung DPR banyak setannya,” atau “gedung kementerian”, atau “gedung pemerintah” lainnya. Tetapi, selama ini, saya tidak pernah mengartikannya secara harfiah. Ternyata, “setan” yang dimaksud dalam kalimat semacam itu kadang benar-benar harfiah, dan bukan cuma kata kiasan. Kisah berikut ini di antaranya.
Sepupu saya—sebut saja namanya Dimas—bekerja di sebuah kantor pemerintah. Suatu hari, saya datang ke rumahnya, dan kami janjian untuk keluar pukul 19.00 nanti malam. Tetapi, sampai pukul 18.50, dia belum juga pulang dari kantornya. Kadang-kadang dia memang bekerja lembur sampai malam, atau bisa jadi waktu itu sedang terjebak macet di jalan.
Maka saya pun menghubungi ponselnya. Dimas menjelaskan, saat itu dia masih harus menyelesaikan beberapa pekerjaan lagi, dan mungkin acara kami agak terlambat. Saya bilang, tidak masalah, kita bisa keluar lain waktu. Tapi Dimas menyahut, “Gini aja. Karena aku pasti akan terjebak macet kalau pulang dulu, gimana kalau kamu yang ke sini, biar menghemat waktu. Minta Pak Noto ngantar kamu ke sini, ntar kita jalan pakai mobilku.”
Pak Noto adalah sekuriti di rumah Dimas. Menanggapi saran tadi, saya lalu meminta Pak Noto untuk mengantar ke kantor Dimas. Perjalanan itu memang cukup menghabiskan waktu karena macet di mana-mana, seperti yang tadi dikhawatirkan Dimas. Sekitar satu jam kemudian, kami baru sampai di sana. Pak Noto melepaskan saya di halaman kantor, dan saya pun menghubungi Dimas untuk memberitahu telah sampai.
“Aku di lantai empat,” ujar Dimas di ponsel. “Kamu bisa minta diantar petugas jaga di depan.”
Jadi itulah yang kemudian saya lakukan. Saya mendatangi pos jaga di sana, dan memberitahukan tujuan. Ada beberapa petugas di sana, dan seorang dari mereka kemudian mengantarkan saya ke atas. Menggunakan lift kantor, kami sampai di lantai 4, tempat Dimas sedang bersetubuh dengan setumpuk berkas. Penjaga tadi kembali turun, dan saya menemui Dimas yang tampangnya sangat kusut.
“Kelihatannya masih sibuk,” ujar saya mengomentari tumpukan berkas di mejanya, sementara monitor besar di depannya tampak menyala.
“Lumayan,” sahut Dimas. “Kamu bisa nunggu aku, sambil buka-buka internet atau main tetris di komputer. Pilih aja yang mana, dan nyalain. Kalau ingin kopi, kamu bisa bikin sendiri di sono.”
Saya mengangguk. Ruangan kantor itu luas, namun tampaknya para pegawai sudah pulang. Tinggal Dimas dan tiga orang lain yang masih sibuk bekerja di sana. Saya duduk di salah satu kubikel yang kosong, menyalakan komputer, dan masuk internet. Keluyuran di dunia maya selalu mampu menjadi pengisi waktu luang.
Sekitar setengah jam kemudian, mulut saya mulai asam. Maka saya pun mendekati dispenser, dan menyeduh kopi. Setelah menghirup kopi, saya mengeluarkan rokok untuk menyalakannya, tapi Dimas buru-buru berteriak, “Hei, hei, hei, dilarang merokok di sini! AC di mana-mana!”
Saya baru sadar kalau seluruh ruangan di sana terdapat AC. Sambil memasukkan kembali bungkus rokok ke saku, saya maki-maki, “Kantor macam apa yang melarang orang merokok di dalamnya!”
“Kantor pemerintah!” sahut Dimas sambil cengengesan.
Akhirnya, karena ingin merokok, saya pun memutuskan untuk keluar. Lagi pula, kata Dimas, pekerjaannya akan selesai sebentar lagi, jadi dia bisa segera menyusul. Saya meminta kunci mobilnya, agar bisa menunggu dalam mobil. Setelah itu saya meninggalkan ruang kantornya, dan menuju tempat lift untuk turun. Pada waktu itulah kisah yang sangat horor terjadi....
Selama berada di kantor yang luas itu, saya tidak berpikiran buruk apa pun, karena tidak tahu apa-apa tentang kantor itu. Jadi, ketika melangkah sendirian dari ruang Dimas ke tempat lift—yang jaraknya cukup jauh—saya pun santai saja. Tetapi, begitu memasuki lift, dan pintu akan menutup untuk mengantarkan saya ke bawah, muncul seorang wanita yang berlarian dengan tampang panik dan histeris.
“Mas! Mas!” teriaknya dengan panik sambil berlari ke arah saya. “Tahan pintunya! Tahan pintunyaaaaaa!”
Saya pun menunggunya masuk lift. Begitu dia masuk dan pintu lift menutup, wanita itu langsung memeluk saya dengan erat, seolah kami sepasang kekasih yang lama tak berjumpa. Tentu saja saya bingung dan ikut panik, karena bagaimana pun kami bukan muhrim.
((((((BUKAN MUHRIM???))))))
Uhmm... maksud saya, bagaimana pun kami kan tidak saling kenal. Saya tidak tahu siapa wanita ini. Kalau pun dia mengenal saya—dan sepertinya itu tidak mungkin—tentunya dia juga tidak perlu memeluk saya seerat itu. Diam-diam saya melirik ke langit-langit lift, mencari-cari kemungkinan adanya kamera pengintai.
“Mbak, Mbak,” ujar saya perlahan dengan tidak enak.
Tapi dia terus memeluk erat. Sebenarnya, dia memeluk dengan panik, karena tampak ketakutan. Dia tidak mengatakan apa-apa, hanya diam sambil memejamkan mata, sementara kedua tangannya melingkari tubuh saya dengan kuat. Sambil menunggu lift mengantarkan kami ke bawah, diam-diam saya memperhatikannya. Wanita itu mungkin berusia menjelang 30-an, berkulit putih bersih, berwajah manis, dan bertipe mbakyu. Tetapi yang jelas, kami bukan muhrim.
Saat lift sampai di bawah dan pintu membuka, saya menepuk tangannya. Dia membuka mata, dan berbisik panik, “Udah sampe? Udah sampeeee...?”
Wanita ini sedang ketakutan, pikir saya. Sesopan mungkin saya berusaha melepaskan tangannya yang masih memeluk, tapi dia tampaknya tidak sadar. Jadi dia terus saja memeluk saya dengan erat, sementara kami mulai melangkah meninggalkan lift.
“Mbak,” saya mencoba mengajaknya ngomong, untuk mengurangi ketegangan, “ada apa, sih?”
Dia tidak menjawab, meski mengikuti langkah saya sambil terus memeluk erat. Yang ia katakan cuma, “Oka-oka... kita keluar... kita keluar... oka-oka...”
“Oka-oka...?” sahut saya bingung.
Lanjut ke sini.