Jumat, 16 Mei 2014

Kuntilanak di Kantor (2)

Posting ini lanjutan post sebelumnya. Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik, sebaiknya bacalah post sebelumnya terlebih dulu.

***

Di luar dugaan, dia semakin erat memeluk begitu saya mengulang ucapannya. Sambil terus melangkah berdampingan, saya semakin bingung dan makin khawatir. Bingung, karena tidak tahu apa yang sedang terjadi. Dan khawatir, karena saya tidak tahu apa yang harus saya lakukan dengan wanita ini. Dia seperti tidak mau melepaskan pelukannya sedikit pun, tidak mau menjelaskan apa pun, dan hanya melangkah mengikuti saya sambil terus berbisik mengajak keluar dari sana.

Langkah kami sampai di ruang jaga, dan beberapa petugas di sana menatap kami dengan tatapan aneh. Mereka pasti ingat, tadi saya naik sendirian. Dan sekarang saya turun bersama seorang wanita yang memeluk dengan erat. Diam-diam saya ingin berteriak, “OH, TOLONG, INI TIDAK SEPERTI YANG KALIAN LIHAT...!!!”

Tapi saya bisa apa?

Sebenarnya, tadi, saya sempat kepikiran untuk menyerahkan wanita ini pada petugas di sana, agar tahu duduk perkara yang terjadi. Tapi dia benar-benar tidak mau melepaskan saya. Dia baru mulai tampak lega, dan perlahan-lahan mau melepaskan pelukannya, setelah kami berada di luar kantor. Dia terus mengikuti saya menuju mobil Dimas yang terparkir di sana.

Di dalam mobil, dia duduk dengan wajah lelah. Saya mencari-cari botol minuman, lalu menyerahkannya. Dia meneguknya sampai napasnya agak tenang. Tapi dia belum menjelaskan apa pun. Diam-diam saya berpikir untuk berkata, “Mbak, gimana kalau kita nyari hotel saja, biar lebih nyaman?” Tapi kemudian saya ingat, kami bukan muhrim.

Jadi, yang saya katakan kemudian adalah, “Mbak, bisa ceritain apa yang terjadi? Kenapa sampai panik gitu?”

“Oka-oka,” ujarnya seperti tanpa sadar. “Aku lihat oka-oka. Tadi ada oka-oka...”

Saya kembali kebingungan. “Uhm... oka-oka tuh, apa?”

“Mas!” tiba-tiba dia seperti marah. “Kita nggak boleh ngomongin itu!”

Akhirnya, karena bingung campur kesal, saya pun menyulut rokok, dan membiarkannya. Setelah paniknya reda, pikir saya, mungkin dia bisa menceritakan lebih jelas.

Wanita itu tidak mengatakan apa-apa lagi. Dia hanya kembali meneguk botol minuman tadi, kemudian melihat jam di dashboard. Lalu seolah baru sadar, “Ya ampun!” ujarnya tiba-tiba. “Udah jam sembilan!”

Kemudian, tanpa menjelaskan apa pun, dia berkata, “Mas, bisa nemenin nyari taksi?”

“Nyari taksi?” sahut saya bingung.

“Ya, di depan situ.”

Rupanya wanita ini benar-benar ketakutan. Bahkan untuk menunggu taksi di depan komplek kantor pun dia minta ditemani. Maka saya pun segera mengangguk, lalu kami melangkah ke luar komplek kantor.

“Mbak,” ujar saya perlahan, “situ baik-baik aja?”

“Ya, sekarang udah agak baikan,” sahutnya sambil terus melangkah. Kemudian, seperti berkata pada diri sendiri, dia menggumam, “Besok-besok nggak sudi kalo lembur lagi!”

Sebuah taksi pas lewat saat kami sampai di depan. Wanita itu menatap saya sungguh-sungguh, dan berkata, “Makasih ya, Mas. Bener-bener makasiiih.”

“Hati-hati, Mbak,” ujar saya melepas kepergiannya.

Dia mencoba tersenyum. Kemudian masuk ke taksi yang segera melaju.

Sambil melangkah kembali menuju tempat parkir mobil, saya berpikir, pertemuan macam apa tadi itu. Seorang wanita yang tidak saya kenal, berlari panik dan histeris, memeluk dengan erat, dan ketakutan. Sampai kami berpisah, saya tetap tidak tahu apa yang terjadi, bahkan tidak tahu namanya. Satu-satunya hal yang saya tahu hanyalah oka-oka, dan saya masih belum paham apa itu oka-oka.

Ponsel saya bergetar. Panggilan dari Dimas.

“Di mana?” tanya Dimas di ponsel.

“Di mana lagi? Aku nunggu di tempat parkir.”

“Oke, aku turun sekarang.”

“Eh, Dim,” ujar saya perlahan, “uhmm... oka-oka tuh apa, sih?”

Di luar dugaan, Dimas langsung berteriak, “OH, SIALAN! KENAPA KAMU HARUS TANYA ITU WAKTU AKU MASIH DI SINI, SIH...???”

“Lhah, emangnya oka-oka tuh, apa?”

Tidak ada jawaban. Dimas telah mematikan ponselnya.

Beberapa saat kemudian, Dimas muncul dan segera masuk mobil sambil maki-maki. “Kenapa tadi tanya-tanya gitu waktu aku masih di dalam?!” tanyanya dengan jengkel.

“Emangnya kenapa?” tanya saya lugu. “Dan oka-oka tuh, apa?”

Dimas memastikan semua jendela mobilnya tertutup rapat sebelum menjawab, “Kuntilanak.”

“Hah...?” saya bengong. “Kuntilanak...?”

“Oka-oka tuh kuntilanak, dodol!” ujarnya sambil menghidupkan mesin. “Dan kenapa tiba-tiba kamu tanya soal itu?”

Saat mobil mulai melaju, saya pun menceritakan peristiwa yang tadi saya alami—saat masuk lift, dan tiba-tiba muncul wanita yang histeris, hingga kemudian saya melepaskan kepergiannya naik taksi.

“Uh, rupanya ada yang lihat penampakan lagi,” ujar Dimas dengan prihatin, mengomentari cerita saya.

Saya mengerutkan kening. “Penampakan...?”

Dimas lalu menceritakan, di kantornya sedang muncul kasak-kusuk tentang keberadaan kuntilanak. Semula, orang-orang di kantornya tidak ada yang percaya, meski kadang was-was jika dapat jatah lembur. Kasak-kusuk itu dimulai sejak seorang pegawai di sana mengaku melihat kuntilanak.

Ceritanya, waktu itu, dia sedang kerja lembur sampai cukup larut. Saat bermaksud menemui temannya di ruang sebelah, langkahnya dihadang sesosok makhluk yang ia gambarkan sebagai “wanita berwajah menyeramkan, memakai gaun putih panjang yang tampak kotor, dan menyeringai menakutkan.”

Pegawai yang mengaku melihat kuntilanak itu sangat ketakutan, tapi semula orang-orang lain belum terlalu yakin. Mereka orang-orang berpendidikan yang cukup rasional untuk memahami bahwa makhluk absurd semacam kuntilanak tidak mungkin keluyuran di kantor mereka yang modern. Tetapi, beberapa waktu kemudian, ada pegawai lain yang juga melihat penampakan yang sama di kantor mereka, dan orang-orang di sana mulai gempar, meski semula hanya meributkannya secara kasak-kusuk di antara rekan sejawat. 

Di kantor itu sering ada pegawai yang lembur sampai malam, bahkan kadang sampai cukup larut, dan semula tidak mengkhawatirkan apa pun. Tetapi, sejak kasak-kusuk kemunculan kuntilanak, mereka mulai khawatir dan ketakutan jika kebetulan mendapat jatah lembur. Menurut Dimas, sudah ada beberapa orang yang melihat penampakan kuntilanak di kantor mereka saat sedang menyelesaikan pekerjaan di malam hari. Gara-gara itu pula, gosip dari mulut ke mulut pun segera menyebar luas, hingga diketahui banyak orang di luar kantor mereka.

“Terus-terang, aku juga was-was tiap dapat lembur,” ujar Dimas sambil terus menyetir.

Saya mencoba menghibur, “Yeah, paling kuntilanak, kan?”

“PALING...???” Dimas melotot. “Emang kamu berharap lihat apa? Genderuwo? Pocong? Oh, sialan, sekarang aku jadi merinding!”

“Dan oka-oka itu?” ujar saya mengingatkan. “Kenapa kalian menyebutnya oka-oka?”

“Itu sebutan kami di kantor,” jawab Dimas. “Yeah, namanya orang ketakutan, kita sengaja kasih nama lain, biar nggak terlalu takut.”

Penjelasan dan cerita Dimas mengenai keberadaan kuntilanak itu membuat saya termenung. Bagaimana pun, kantor mereka adalah bangunan modern, berada di pusat kota yang ramai dan sibuk—bukan gedung tua tak terawat di tempat angker yang sepi atau terpencil. Apa iya makhluk absurd semacam kuntilanak sampai keluyuran ke situ?

Ketika saya utarakan hal itu pada Dimas, dia menyahut, “Kayaknya mindset-mu soal makhluk begituan perlu di-update. Bahkan Gedung Putih di Amrik pun konon ada hantunya.”

“Omong-omong, kamu sendiri udah pernah lihat kun... eh, oka-oka, di kantormu?”

“Belum,” jawab Dimas, “dan semoga nggak akan pernah!”

“Uhmm... kalau umpama suatu malam kamu lihat dia, gimana, Dim?”

“Oh, sialan, kenapa kamu tanya gitu, sih?”

“Lhah, kan umpama. Gimana pun, kamu harus antisipasi, kan? Kamu kerja tiap hari di sana, dan sering lembur. Selalu ada kemungkinan kamu dapat jatah untuk lihat dia.”

“Errr...” Dimas tampak bimbang. “Kita pulang aja, yuk.”

....
....

Malam itu, kami tidak jadi keluyuran.
 
 
;