Selasa, 24 Februari 2015

Penulis, Penerbit, dan Promosi Buku (3)

Posting ini lanjutan posting sebelumnya. Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik, sebaiknya bacalah post sebelumnya terlebih dulu.

***

Karena jadwal menulisnya yang sangat ketat, dia pun menolak jika diminta meluangkan waktu untuk berpromosi, bedah buku, atau semacamnya, karena dia benar-benar tidak punya waktu. Menurutnya, tugasnya sebagai penulis hanyalah menulis. Jika penerbit menilai naskahnya layak terbit, artinya penerbit juga telah memperhitungkan bahwa naskah itu memang punya potensi penjualan yang bagus. Kenyataannya, buku-bukunya terus terjual dan menghasilkan royalti besar, tanpa dia harus repot-repot berpromosi.

Baca: Media Online Paling Memuakkan

Jadi, dia hanya menulis, menulis, dan terus menulis, hingga waktunya benar-benar telah habis untuk menulis. Lagi pula, penerbit-penerbit yang bekerjasama dengannya juga tidak pernah memintanya berpromosi apa pun, karena mereka menyadari kesibukan si penulis. Penerbit-penerbit itu bahkan lebih suka si penulis terus produktif menghasilkan naskah untuk mereka, hingga tidak pernah mengusik waktu si penulis.

Nah, untuk penulis produktif semacam itu, alasan yang mendasari tidak mau membantu promosi semata-mata karena tidak adanya waktu. Ada cukup banyak penulis semacam itu, dan rata-rata mereka sudah menghabiskan semua waktunya untuk menulis, sehingga tidak mau melayani permintaan penerbit sehubungan dengan promosi, bedah buku, peluncuran buku, wawancara buku, atau semacamnya.

Ada ilustrasi menarik menyangkut hal ini. Dalam suatu pertemuan, saya mengobrol dengan seorang teman sesama penulis. Kami membicarakan naskah yang baru ditulisnya. Naskah itu tidak terlalu tebal—hanya sekitar 150-an halaman. Saya membacanya sekilas, dan materi naskah itu bagus, orisinal, menarik. Itu pula yang saya katakan kepadanya.

“Kamu punya saran sebaiknya naskah ini dikirim ke penerbit mana?” dia bertanya.

Melihat kualitas naskahnya, sebenarnya dia bisa mengirim naskah itu ke penerbit mana pun, karena hampir bisa dipastikan naskah itu akan lolos seleksi. Namun, karena dia meminta pendapat, saya pun memberikan pendapat. Saya mengajukan nama suatu penerbit yang benar-benar tepat untuk naskah tersebut. Tetapi, dia menolak. Alasannya, “Karena penerbit itu selalu meminta penulis untuk berpromosi.”

Coba lihat, hanya karena kemungkinan diminta membantu promosi, seorang penulis sampai menghindari suatu penerbit. Apakah itu aneh? Bagi para penulis profesional, kenyataan itu sama sekali tidak aneh, karena banyak sekali penulis yang semacam itu.

Masih ingat kisah Anita yang pernah saya ceritakan di sini? Dia penulis terkenal, yang buku-bukunya bestseller, yang namanya dikenal banyak orang. Tapi dia tidak pernah mau muncul ke publik, untuk alasan atau keperluan apa pun, termasuk promosi, bedah buku, wawancara, atau semacamnya. Bahkan ketika novelnya difilmkan pun, dia tidak muncul sama sekali. Dia menyerahkan seluruh tetek-bengek urusan itu pada penerbitnya.

Penulis semacam Anita tidak sedikit. Rata-rata mereka adalah para penulis yang benar-benar mencintai aktivitas menulis, dan mereka menjalani hidup sebagai penulis. Mereka tidak terlalu memikirkan nama, popularitas, atau hal-hal semacam itu. Mereka hanya menulis—dan membiarkan dunia hanya mengenal tulisannya, tanpa harus mengusik kehidupan pribadinya.

Jadi, setidaknya ada dua jenis penulis yang tidak tertarik pada aktivitas promosi buku, yaitu penulis produktif yang tidak punya waktu, dan penulis yang memang tidak tertarik muncul ke publik untuk alasan apa pun.

Di luar kedua jenis penulis tersebut, rata-rata penulis bersedia untuk membantu promosi bukunya—apalagi jika si penulis menyadari dirinya masih pemula, sehingga perlu upaya keras untuk dikenal publik pembaca.

Menyangkut para penulis yang bersedia membantu promosi bukunya, ada beberapa hal yang ingin saya ceritakan di sini, agar penerbit juga lebih bisa memahami mereka, demi kerjasama yang lebih baik.

Ada banyak penulis yang mau membantu promosi buku-bukunya di sela-sela kesibukan. Mereka mau menghadiri peluncuran buku, bedah buku, wawancara, dan lainnya—tetapi dengan syarat; buku tersebut sesuai yang mereka bayangkan, sehingga mereka merasa senang dan bangga pada buku tersebut. Agar hal ini bisa lebih dipahami, izinkan saya menjelaskannya lebih gamblang.

Hubungan antara penulis dan penerbit adalah hubungan yang setara, karena keduanya saling membutuhkan dan saling menunjang. Penulis butuh penerbit untuk menerbitkan naskahnya, sebagaimana penerbit butuh penulis agar memperoleh naskah untuk diterbitkan. Karena latar belakang itu, penulis dan penerbit pun saling menghormati. Namun, kadang ada penerbit yang merasa posisinya lebih tinggi dari penulis, sehingga berlaku seenaknya terhadap si penulis dan terhadap buku si penulis.

Ketika seorang penulis menetapkan judul untuk naskah, misalnya, kadang dia harus memikirkannya berhari-hari, bahkan berminggu-minggu, atau sampai berbulan-bulan, demi menemukan judul yang ia anggap paling tepat dan menarik. Penerbit yang baik memahami itu, sehingga mereka sangat menghargai judul yang telah ditetapkan si penulis. Sebagai bentuk penghargaan, mereka tidak mengubah judul itu sedikit pun. Kalau pun judul terpaksa diubah karena adanya pertimbangan tertentu, mereka akan menghubungi dan mengonfirmasikannya terlebih dulu pada si penulis, agar ada persetujuan bersama.

Dalam hal ini, saya bisa mencontohkan Gramedia Pustaka Utama, sebagai penerbit yang sangat menghormati penulis. Berdasarkan pengalaman sendiri maupun teman-teman sesama penulis yang pernah bekerjasama dengan mereka, kami tahu Penerbit Gramedia sangat berhati-hati dalam memperlakukan judul naskah yang telah dipilih oleh penulis. Bahkan, sepanjang pengalaman kami, Gramedia tidak pernah sekali pun mengubah judul naskah/buku kami—meski satu kata pun—tak peduli seaneh apa pun judul yang kami pilih.

Lanjut ke sini.

 
;