—ditulis dengan senyum untuk Dianita,
yang suka bilang, “Sekali-sekali kamu nulis soal jodoh, dong.”
Ketika saya masih kecil—maksud saya, masih keciiiiil sekali—ada sebuah group musik dangdut bernama ‘Manis Manja Group’. Di dalam group ini tergabung empat orang pesinden dangdut paling okay bohay pada zaman itu, yakni Ine Chintya, Yulia Citra, Kitty Andriani, dan Lilis Karlina.
(Deskripsi di atas hanya berdasarkan memori masa kecil saya. Karenanya, kalau ternyata terdapat kekeliruan, tolong dikoreksi).
Nah, ada satu lagu milik ‘Manis Manja Group’ yang pernah sangat populer, berjudul “Jodoh”. Sebegitu populernya, hingga saya yang waktu itu masih kanak-kanak ikut hafal liriknya, dan hingga hari ini masih terkenang-kenang pada refrainnya. Refrain lagu itu berbunyi, “Joooodoh… tak usah dicari-cari, tak usah dinanti-nanti…”
Jadi, waktu itu, kalau pas lagi pengin nyanyi atau bersenandung, saya pun tidak jarang mendendangkan lagu itu. Lama-lama, sambil menyanyikan lagu yang asyik itu, saya mikir, “Kok, jodoh tak usah dicari-cari, tak usah dinanti-nanti? Lalu bagaimana orang bisa mendapatkan jodohnya?”
Karena otak bocah saya waktu itu tidak sanggup menemukan jawaban atas kebingungan tersebut, saya pun bertanya pada nyokap, “Mah, kalau jodoh tak usah dicari-cari dan tak usah dinanti-nanti, lalu gimana orang-orang bisa dapet jodoh? Apa jodoh tuh turun dari langit?”
Mungkin, karena ingin menutup pembicaraan “tingkat tinggi” itu, nyokap hanya menjawab, “Ya.”
Dan saya pun percaya—bahwa jodoh memang turun dari langit. Karena itu saya pun makin senang menyanyikan lagu itu, “Joooodoh… tak usah dicari-cari, tak usah dinanti-nanti…”
Ketika saya puber dan mulai tertarik dengan lawan jenis, saya mulai meragukan kebenaran bahwa jodoh turun dari langit. Ketika SMP, saya menyaksikan teman-teman saya mengejar-ngejar lawan jenis—yang cowok agresif sama cewek, yang cewek sibuk ngerumpi soal cowok. Pas SMA, urusan seputar cowok-cewek makin “parah”—dalam arti sama sekali tidak menunjukkan tesis si ‘Manis Manja Group’ bahwa jodoh turun dari langit.
Kalau jodoh turun dari langit, pikir saya waktu itu, maka seharusnya teman-teman saya tidak perlu mengejar-ngejar lawan jenis untuk bisa berpacaran. Kata ‘Manis Manja Group’, “tak usah dicari-cari, tak usah dinanti-nanti.” Tetapi, kenyataannya, jika kita tidak mencari dan menanti, susah banget mendapatkan pacar!
Ketika mulai kuliah, saya semakin tidak percaya pada lagu di atas, karena pada waktu-waktu itu banyak teman yang curhat tentang kisah cinta mereka yang beraneka ragam—yang semakin menunjukkan bahwa seseorang memang harus mengejar mati-matian untuk mendapatkan pacar atau jodoh. Saya masih ingat, ada teman sekelas saya waktu itu, yang cerita bahwa dia melakukan pedekate sampai satu semester hanya untuk meyakinkan calon pacarnya kalau dia benar-benar serius.
Artinya, seseorang mendapatkan jodohnya dengan usaha, dengan pencarian, dengan penantian, bahkan dengan pengejaran. Jadi apa maksudnya empat cewek manis di atas itu menyanyikan, “Joooodoh… tak usah dicari-cari, tak usah dinanti-nanti…?”
Tentu saja jodoh harus dicari dan dinanti, pikir saya waktu itu.
Sekarang, sambil menulis catatan ini, saya memutar ulang memori saya mengenai kisah-kisah yang berhubungan dengan cinta dan hubungan antarlawan jenis yang pernah dialami kawan-kawan saya. Dan, sambil menulis catatan ini pula, tiba-tiba saya mulai menyadari apa maksud nyanyian di atas.
Saya masih ingat, dulu si A pacaran dengan si B selama bertahun-tahun, tapi kemudian mereka menikah dengan orang lain yang sama sekali tak terduga. Si A menikah dengan si X, sedang si B kawin dengan si Z. Lalu, saya pun masih ingat, si K dulunya termasuk cewek populer di kampus, tapi sampai sekarang masih jomblo. Sedang si G yang dulunya dianggap cowok culun (bahkan pernah disangka homo) sekarang sudah punya tiga anak.
Kemudian, si D dan si W, yang dulu dianggap pasangan paling serasi di kampus, sekarang ternyata sudah kawin sendiri-sendiri dengan orang lain, dan sekarang hidup terpisah sejauh berkilo-kilo meter. Nah, si H kabarnya sudah berumahtangga dengan si R—keduanya dulu satu kampus, satu fakultas, satu angkatan, tapi tidak saling kenal. Mereka bertemu tanpa sengaja di acara kondangan, lalu saling sapa, dan jadi akrab setelah tahu kalau mereka satu kampus. Dan sekarang mereka sudah kawin.
Ini aneh. Ini jodoh. Ini… well, ini sepertinya memang turun dari langit.
Saya sendiri juga mengalami hal yang sama. Saya pernah pacaran dengan seseorang. Kami saling cinta, saling sayang, dan berjanji akan bersama sehidup semati. Baik saya maupun dia sama-sama yakin kalau kami berjodoh. Tapi kemudian hubungan kami bubar di tengah jalan, karena kesibukan masing-masing. Saya sibuk belajar, dia sibuk syuting. Sekarang, mantan pacar saya itu kawin dengan Christian Sugiono.
(Oke, oke, yang barusan itu ngaco! Tolong kalian tidak usah tegang begitu!).
Jadi, apakah jodoh memang turun dari langit? Mungkin saja iya. Kita lihat, ada dua orang yang sebelumnya tak pernah bertemu, tidak saling kenal, dan terpisah jarak ribuan kilometer, tapi kemudian suatu hari mereka bertemu di tempat yang tak terduga, di waktu yang tak disangka, dan setelah itu… nyebar undangan. Dasar jodoh!
Ada juga dua orang yang pada mulanya sudah saling kenal karena pernah satu sekolah. Tapi mereka tidak pernah memendam perasaan apa pun, selain hanya sebagai teman. Setelah beberapa tahun tidak bertemu, keduanya saling bersua di internet, saling sapa di blog, lalu membangun hubungan yang lebih dekat, dan kemudian menikah. Sekali lagi, dasar jodoh!
Sebaliknya, ada pula dua orang yang sudah bertahun-tahun pacaran, dan dunia pun hampir yakin kalau kedua orang itu pasti akan menikah. Tapi kemudian tersiar kabar kalau kedua bocah itu putus, dan masing-masingnya kawin dengan orang lain yang sama sekali tak disangka-sangka. Oh, jodoh yang aneh!
Memang, jodoh termasuk satu di antara beberapa hal lain yang tak bisa diprediksi. Bisa dibilang kita tak bisa yakin siapa, di mana, dan kapan akan bertemu si Jodoh. Bagi yang sudah punya pacar, mungkin bisa saja memprediksi kalau si pacar sekarang akan menjadi jodohnya. Tapi prediksi bukan kepastian mutlak, karena sifatnya yang memang (hanya) prediktif. Siapa tahu kalau ternyata pacarmu adalah calon jodohku? Hehe…
Kebanyakan orang mungkin berpikir bahwa sosok-sosok yang terbilang “sempurna” akan mudah mendapatkan jodoh. Tetapi, itu pun tidak seratus persen benar, tidak seratus persen terbukti. Saya mengenal cukup banyak lelaki-lelaki “perfect” yang tetap saja melajang karena memang belum ketemu jodoh, saya pun menyaksikan wanita-wanita mengagumkan yang tetap sendirian dan menanti-nanti datangnya jodoh.
Di Yunani zaman dulu, ada seorang cewek bernama Xanthippe, yang tinggal di Athena. Bagi masyarakat Athena waktu itu, Xanthippe adalah cewek yang terbilang “parah”. Secara fisik, dia tidak bisa dibilang cantik. Secara otak, dia juga dianggap tolol. Lebih dari itu, cewek ini juga cerewet, usil, judes, ceriwis, tidak bisa bersikap manis—pendeknya bukan tipe cewek yang akan membuat cowok jatuh hati.
Tetapi, ternyata, cewek “parah” ini mendapatkan jodoh yang luar biasa. Dia menikah dengan Socrates. Iya, Socrates yang itu!
Ketika Socrates kawin dengan Xanthippe, masyarakat Yunani pun gempar! Tapi begitulah jodoh—kadang-kadang memang tak masuk akal. Kita tak pernah bisa memprediksikan nasib seseorang menyangkut jodohnya, kita bahkan kadang tak bisa memprediksi siapa yang kelak akan menjadi jodoh kita. In this case, saya pun tidak yakin kelak akan berjodoh dengan siapa.
Si B, seorang cowok yang saya kenal, saban malam keluyuran ke kafe-kafe dengan harapan bisa ketemu cewek yang diharapkan dapat berjodoh dengannya. Pasalnya, nyokap si B terus-terusan menyinggung soal jodohnya, dan si B sendiri juga sebenarnya ingin segera menikah, lalu hidup tenteram bersama seorang istri. Tetapi, sampai bertahun-tahun keluyuran keluar masuk kafe dan menghamburkan uang tak terhitung banyaknya, si Jodoh tidak juga tertemukan.
Si D sebaliknya. Cowok ini terkenal sebagai “cowok rumahan” karena kegiatannya sehari-hari cuma membaca buku, main game di komputer, nonton bokep, dan punya pekerjaan mapan yang tidak mengharuskannya keluar rumah. Kalau disindir soal pacar, si D akan cengengesan sambil berujar, “Apa enaknya pacaran, sih?” Kebetulan si D hidup sendirian di rumahnya, jadi tidak ada orangtua yang ribut bertanya soal jodoh.
Eh, suatu hari, terjadi sesuatu yang tidak masuk akal. Suatu siang, ketika si D baru saja bangun tidur, pintu rumahnya diketuk orang. Waktu dibuka, ternyata seorang cewek. Muda, dan cantik. Singkat cerita, ternyata si cewek salah alamat. Singkat cerita pula, si D dan cewek itu berkenalan, kemudian akab, dekat, dan… taraaaa, mereka kawin! Waktu saya menulis catatan ini, si D dan istrinya sedang happy, karena tak lama lagi anak pertama mereka akan lahir.
Jadi, sekali lagi, apakah jodoh memang turun dari langit, sehingga tak perlu dicari dan dinanti sebagaimana yang dinyanyikan ‘Manis Manja Group’? Mungkin iya. Hanya saja, kita tak pernah tahu di langit sebelah mana jodoh itu akan turun menemui kita.
yang suka bilang, “Sekali-sekali kamu nulis soal jodoh, dong.”
Ketika saya masih kecil—maksud saya, masih keciiiiil sekali—ada sebuah group musik dangdut bernama ‘Manis Manja Group’. Di dalam group ini tergabung empat orang pesinden dangdut paling okay bohay pada zaman itu, yakni Ine Chintya, Yulia Citra, Kitty Andriani, dan Lilis Karlina.
(Deskripsi di atas hanya berdasarkan memori masa kecil saya. Karenanya, kalau ternyata terdapat kekeliruan, tolong dikoreksi).
Nah, ada satu lagu milik ‘Manis Manja Group’ yang pernah sangat populer, berjudul “Jodoh”. Sebegitu populernya, hingga saya yang waktu itu masih kanak-kanak ikut hafal liriknya, dan hingga hari ini masih terkenang-kenang pada refrainnya. Refrain lagu itu berbunyi, “Joooodoh… tak usah dicari-cari, tak usah dinanti-nanti…”
Jadi, waktu itu, kalau pas lagi pengin nyanyi atau bersenandung, saya pun tidak jarang mendendangkan lagu itu. Lama-lama, sambil menyanyikan lagu yang asyik itu, saya mikir, “Kok, jodoh tak usah dicari-cari, tak usah dinanti-nanti? Lalu bagaimana orang bisa mendapatkan jodohnya?”
Karena otak bocah saya waktu itu tidak sanggup menemukan jawaban atas kebingungan tersebut, saya pun bertanya pada nyokap, “Mah, kalau jodoh tak usah dicari-cari dan tak usah dinanti-nanti, lalu gimana orang-orang bisa dapet jodoh? Apa jodoh tuh turun dari langit?”
Mungkin, karena ingin menutup pembicaraan “tingkat tinggi” itu, nyokap hanya menjawab, “Ya.”
Dan saya pun percaya—bahwa jodoh memang turun dari langit. Karena itu saya pun makin senang menyanyikan lagu itu, “Joooodoh… tak usah dicari-cari, tak usah dinanti-nanti…”
Ketika saya puber dan mulai tertarik dengan lawan jenis, saya mulai meragukan kebenaran bahwa jodoh turun dari langit. Ketika SMP, saya menyaksikan teman-teman saya mengejar-ngejar lawan jenis—yang cowok agresif sama cewek, yang cewek sibuk ngerumpi soal cowok. Pas SMA, urusan seputar cowok-cewek makin “parah”—dalam arti sama sekali tidak menunjukkan tesis si ‘Manis Manja Group’ bahwa jodoh turun dari langit.
Kalau jodoh turun dari langit, pikir saya waktu itu, maka seharusnya teman-teman saya tidak perlu mengejar-ngejar lawan jenis untuk bisa berpacaran. Kata ‘Manis Manja Group’, “tak usah dicari-cari, tak usah dinanti-nanti.” Tetapi, kenyataannya, jika kita tidak mencari dan menanti, susah banget mendapatkan pacar!
Ketika mulai kuliah, saya semakin tidak percaya pada lagu di atas, karena pada waktu-waktu itu banyak teman yang curhat tentang kisah cinta mereka yang beraneka ragam—yang semakin menunjukkan bahwa seseorang memang harus mengejar mati-matian untuk mendapatkan pacar atau jodoh. Saya masih ingat, ada teman sekelas saya waktu itu, yang cerita bahwa dia melakukan pedekate sampai satu semester hanya untuk meyakinkan calon pacarnya kalau dia benar-benar serius.
Artinya, seseorang mendapatkan jodohnya dengan usaha, dengan pencarian, dengan penantian, bahkan dengan pengejaran. Jadi apa maksudnya empat cewek manis di atas itu menyanyikan, “Joooodoh… tak usah dicari-cari, tak usah dinanti-nanti…?”
Tentu saja jodoh harus dicari dan dinanti, pikir saya waktu itu.
Sekarang, sambil menulis catatan ini, saya memutar ulang memori saya mengenai kisah-kisah yang berhubungan dengan cinta dan hubungan antarlawan jenis yang pernah dialami kawan-kawan saya. Dan, sambil menulis catatan ini pula, tiba-tiba saya mulai menyadari apa maksud nyanyian di atas.
Saya masih ingat, dulu si A pacaran dengan si B selama bertahun-tahun, tapi kemudian mereka menikah dengan orang lain yang sama sekali tak terduga. Si A menikah dengan si X, sedang si B kawin dengan si Z. Lalu, saya pun masih ingat, si K dulunya termasuk cewek populer di kampus, tapi sampai sekarang masih jomblo. Sedang si G yang dulunya dianggap cowok culun (bahkan pernah disangka homo) sekarang sudah punya tiga anak.
Kemudian, si D dan si W, yang dulu dianggap pasangan paling serasi di kampus, sekarang ternyata sudah kawin sendiri-sendiri dengan orang lain, dan sekarang hidup terpisah sejauh berkilo-kilo meter. Nah, si H kabarnya sudah berumahtangga dengan si R—keduanya dulu satu kampus, satu fakultas, satu angkatan, tapi tidak saling kenal. Mereka bertemu tanpa sengaja di acara kondangan, lalu saling sapa, dan jadi akrab setelah tahu kalau mereka satu kampus. Dan sekarang mereka sudah kawin.
Ini aneh. Ini jodoh. Ini… well, ini sepertinya memang turun dari langit.
Saya sendiri juga mengalami hal yang sama. Saya pernah pacaran dengan seseorang. Kami saling cinta, saling sayang, dan berjanji akan bersama sehidup semati. Baik saya maupun dia sama-sama yakin kalau kami berjodoh. Tapi kemudian hubungan kami bubar di tengah jalan, karena kesibukan masing-masing. Saya sibuk belajar, dia sibuk syuting. Sekarang, mantan pacar saya itu kawin dengan Christian Sugiono.
(Oke, oke, yang barusan itu ngaco! Tolong kalian tidak usah tegang begitu!).
Jadi, apakah jodoh memang turun dari langit? Mungkin saja iya. Kita lihat, ada dua orang yang sebelumnya tak pernah bertemu, tidak saling kenal, dan terpisah jarak ribuan kilometer, tapi kemudian suatu hari mereka bertemu di tempat yang tak terduga, di waktu yang tak disangka, dan setelah itu… nyebar undangan. Dasar jodoh!
Ada juga dua orang yang pada mulanya sudah saling kenal karena pernah satu sekolah. Tapi mereka tidak pernah memendam perasaan apa pun, selain hanya sebagai teman. Setelah beberapa tahun tidak bertemu, keduanya saling bersua di internet, saling sapa di blog, lalu membangun hubungan yang lebih dekat, dan kemudian menikah. Sekali lagi, dasar jodoh!
Sebaliknya, ada pula dua orang yang sudah bertahun-tahun pacaran, dan dunia pun hampir yakin kalau kedua orang itu pasti akan menikah. Tapi kemudian tersiar kabar kalau kedua bocah itu putus, dan masing-masingnya kawin dengan orang lain yang sama sekali tak disangka-sangka. Oh, jodoh yang aneh!
Memang, jodoh termasuk satu di antara beberapa hal lain yang tak bisa diprediksi. Bisa dibilang kita tak bisa yakin siapa, di mana, dan kapan akan bertemu si Jodoh. Bagi yang sudah punya pacar, mungkin bisa saja memprediksi kalau si pacar sekarang akan menjadi jodohnya. Tapi prediksi bukan kepastian mutlak, karena sifatnya yang memang (hanya) prediktif. Siapa tahu kalau ternyata pacarmu adalah calon jodohku? Hehe…
Kebanyakan orang mungkin berpikir bahwa sosok-sosok yang terbilang “sempurna” akan mudah mendapatkan jodoh. Tetapi, itu pun tidak seratus persen benar, tidak seratus persen terbukti. Saya mengenal cukup banyak lelaki-lelaki “perfect” yang tetap saja melajang karena memang belum ketemu jodoh, saya pun menyaksikan wanita-wanita mengagumkan yang tetap sendirian dan menanti-nanti datangnya jodoh.
Di Yunani zaman dulu, ada seorang cewek bernama Xanthippe, yang tinggal di Athena. Bagi masyarakat Athena waktu itu, Xanthippe adalah cewek yang terbilang “parah”. Secara fisik, dia tidak bisa dibilang cantik. Secara otak, dia juga dianggap tolol. Lebih dari itu, cewek ini juga cerewet, usil, judes, ceriwis, tidak bisa bersikap manis—pendeknya bukan tipe cewek yang akan membuat cowok jatuh hati.
Tetapi, ternyata, cewek “parah” ini mendapatkan jodoh yang luar biasa. Dia menikah dengan Socrates. Iya, Socrates yang itu!
Ketika Socrates kawin dengan Xanthippe, masyarakat Yunani pun gempar! Tapi begitulah jodoh—kadang-kadang memang tak masuk akal. Kita tak pernah bisa memprediksikan nasib seseorang menyangkut jodohnya, kita bahkan kadang tak bisa memprediksi siapa yang kelak akan menjadi jodoh kita. In this case, saya pun tidak yakin kelak akan berjodoh dengan siapa.
Si B, seorang cowok yang saya kenal, saban malam keluyuran ke kafe-kafe dengan harapan bisa ketemu cewek yang diharapkan dapat berjodoh dengannya. Pasalnya, nyokap si B terus-terusan menyinggung soal jodohnya, dan si B sendiri juga sebenarnya ingin segera menikah, lalu hidup tenteram bersama seorang istri. Tetapi, sampai bertahun-tahun keluyuran keluar masuk kafe dan menghamburkan uang tak terhitung banyaknya, si Jodoh tidak juga tertemukan.
Si D sebaliknya. Cowok ini terkenal sebagai “cowok rumahan” karena kegiatannya sehari-hari cuma membaca buku, main game di komputer, nonton bokep, dan punya pekerjaan mapan yang tidak mengharuskannya keluar rumah. Kalau disindir soal pacar, si D akan cengengesan sambil berujar, “Apa enaknya pacaran, sih?” Kebetulan si D hidup sendirian di rumahnya, jadi tidak ada orangtua yang ribut bertanya soal jodoh.
Eh, suatu hari, terjadi sesuatu yang tidak masuk akal. Suatu siang, ketika si D baru saja bangun tidur, pintu rumahnya diketuk orang. Waktu dibuka, ternyata seorang cewek. Muda, dan cantik. Singkat cerita, ternyata si cewek salah alamat. Singkat cerita pula, si D dan cewek itu berkenalan, kemudian akab, dekat, dan… taraaaa, mereka kawin! Waktu saya menulis catatan ini, si D dan istrinya sedang happy, karena tak lama lagi anak pertama mereka akan lahir.
Jadi, sekali lagi, apakah jodoh memang turun dari langit, sehingga tak perlu dicari dan dinanti sebagaimana yang dinyanyikan ‘Manis Manja Group’? Mungkin iya. Hanya saja, kita tak pernah tahu di langit sebelah mana jodoh itu akan turun menemui kita.