Bersama seorang bocah, saya duduk di kegelapan tengah malam, berhadapan dengan sebuah tambak—atau mungkin harus saya katakan, bekas tambak.
Jadi, di hadapan kami ada sebuah tambak yang kini tidak aktif. Semula, tambak itu merupakan tambak udang. Namun, setelah wabah rob melanda Pantura, tambak udang itu mengalami masalah. Ketika rob datang dan air membeludak hingga menenggelamkan tambak, udang-udang yang ada di tambak lepas ke mana-mana. Akhirnya, tambak udang itu dinonaktifkan.
Di sebelah tambak adalah jalan kecil, seperti umumnya jalan di perkampungan, dan di sebelah jalan kecil itu ada kebun pisang. Di kebun itu ada beberapa tumpukan batu, yang biasa dijadikan untuk tempat duduk.
Malam itu, saya bersama bocah pemilik tambak udang tadi, duduk-duduk di batu yang ada di kebun pisang. Kami berdua duduk berdampingan, sambil udud di kegelapan, dan mengobrol dengan asyik—seperti umumnya bocah.
Jalan kecil di hadapan kami diterangi lampu yang berdiri di beberapa bagian, sehingga cukup terang. Orang-orang yang berlalu lalang—bersepeda, bermotor, atau berjalan kaki—dapat kami lihat dengan jelas. Tapi orang-orang itu mungkin tidak melihat kami, karena kami ada di kebun pisang remang-remang.
Sekitar pukul 01.00, seorang bocah tampak berjalan kaki sendirian, melangkah di jalan di depan kami. Bocah itu jelas tidak melihat kami, karena dia melangkah begitu saja, menatap lurus ke depan.
Ketika sampai di depan tambak udang, bocah itu tampak berhenti. Kemudian, sambil menatap tambak udang di depannya, bocah itu berkata, “Hei tambak, tambak udang, asu kabeh sak ndunyo!”
Saya dan pemilik tambak seketika bengong sambil menahan tawa.
Ketika bocah tadi sudah pergi dan tak terlihat, saya penasaran ingin mencoba yang tadi ia lakukan. Jadi, saya pun keluar dari kegelapan, mendekati tambak, lalu berkata seperti bocah tadi, “Hei tambak, tambak udang, asu kabeh sak ndunyo!”
Setelah itu, bocah pemilik tambak ikut melakukan.
Entah kenapa, kami merasa senang.