Selasa, 24 Desember 2019

Noffret’s Note: Jumat Berkah

Dari dulu aku bertanya-tanya, orang-orang yang nge-tweet tagar #JumatBerkah itu Jumatnya seperti apa? Karena Jumat yang kualami selama ini biasa-biasa saja, bahkan sering ada masalah yang muncul di hari Jumat. Aku ingin sekali menikmati "Jumat Berkah", tapi entah kapan datangnya.

Mungkin ini tak jauh beda dengan orang-orang yang naik haji, lalu pulang & menceritakan "pengalaman menakjubkan" selama berhaji, sampai kemudian muncul seorang bocah yang mencoba membuktikan pengalaman itu. Dan inilah hasilnya: Teman Saya Kapok Naik Haji » http://bit.ly/2flPP5N

Selain eufemisme, hal lain yang lekat dengan masyarakat umum di Indonesia memang konformitas—upaya untuk sama dengan kebanyakan orang. Sebagian pihak mengartikan konformitas sebagai “kemunafikan sosial”. Jika mayoritas mengatakan A, kita merasa perlu untuk juga mengatakan A.

Orang tidak mungkin mengatakan "kapok naik haji" terang-terangan, karena mayoritas yang lain mengatakan naik haji begitu "menakjubkan". Sama halnya, orang tak mungkin mengatakan "menikah membuatnya menyesal", karena mayoritas mengatakan "menikah begitu indah". Itulah konformitas.

Tentu saja banyak orang naik haji yang memang mengalami hal-hal menakjubkan, tapi tentu tidak semua. Begitu pula, banyak orang yang menikah dan bahagia, tapi—sekali lagi—tentu tidak semua. Sayangnya, tidak semua orang punya keberanian untuk mengatakan kejujuran secara apa adanya.

Menabung bertahun-tahun demi bisa naik haji, mengumpulkan uang sampai puluhan juta, lalu harus menunggu lagi bertahun-tahun. Ketika berangkat, diantar orang sekampung, lalu pulang disambut meriah. Dalam kenyataan semacam itu, mungkinkah orang berani mengatakan "kapok naik haji"?

Sama saja, orang montang-manting cari pasangan, menabung bertahun-tahun demi bisa menikah. Prosesnya lama, dari lamaran sampai resepsi. Ketika menikah, orang sekampung ikut merayakan. Setelah itu, mungkinkah orang berani mengatakan "menikah ternyata tak seindah yang kubayangkan"?

Aku sadar, mengatakan semua ini akan menempatkanku pada posisi yang berseberangan dengan (keyakinan) mayoritas. Tetapi harus ada yang mengatakannya!

Dan begitu kau memahami bahwa aku berseberangan dengan mayoritas, setidaknya kau mulai menyadari adanya fasisme dalam konformitas.

NN (Nambah Ngoceh):

Kadang, saat baru ngepost catatan baru di blog, aku menerima e-mail yang kira-kira isinya, "Maaf, saya tidak setuju dengan tulisanmu yang baru."

Biasanya, sambil tersenyum, aku menulis jawabannya, "Tak perlu khawatir. Saya juga tidak meminta persetujuanmu."

*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 1 Maret 2019.

 
;