Yang paling bertanggung jawab atas kerusakan bumi bukan hanya mereka
yang memperkosa alam, tapi juga mereka yang "jualan dusta perkawinan".
—@noffret
yang memperkosa alam, tapi juga mereka yang "jualan dusta perkawinan".
—@noffret
“Pernikahan akan menjadi kejahatan, jika kulakukan. Kejahatan pada diriku sendiri, kejahatan pada pasanganku, juga kejahatan pada anak yang mungkin kumiliki.” Setelah terdiam sejenak, dia melanjutkan, “Aku telah menjadi korban pernikahan, dan aku tidak mungkin melakukan hal serupa pada orang lain—pasangan, dan anak yang mungkin kumiliki.”
Fandi adalah salah satu teman saya, dan kami telah menjalin pertemanan sejak bertahun lalu. Dulu, kami pernah bekerja bersama, di tempat ini. Seperti saya, dia berasal dari keluarga miskin. Ketika dulu saya sering bekerja lembur sampai pukul 02.00 dini hari, Fandi juga ikut lembur sampai dini hari.
Selama beberapa tahun, kami menikmati kebersamaan dari pagi sampai dini hari. Itu bukan hanya kebersamaan dua orang yang bekerja di tempat sama, tapi juga kebersamaan yang mengeratkan kami sebagai teman. Setiap hari, seiring bekerja, kami saling bercakap, bercanda, saling curhat, menikmati tawa dan kesedihan bersama. Dia tahu semua hal tentang saya, sebagaimana saya tahu semua hal tentang dirinya.
Perjalanan hidup kemudian memisahkan kami. Saya mengejar mimpi-mimpi saya, dan tak lama kemudian Fandi juga keluar dari sana, untuk mencoba peruntungan nasib di tempat lain.
Ada waktu-waktu yang sangat lama, ketika kami sama sekali tidak pernah bertemu—karena waktu itu kami terpisah di tempat yang saling berjauhan—namun kemudian kami pulang. Setelah itu, kami kembali menjalin pertemanan, menyambung tali yang dulu pernah kami miliki. Dalam waktu singkat, kami kembali akrab dan dekat. Sejak itu, saya sering dolan ke rumahnya, mengobrol panjang, tentang banyak hal.
Dulu, waktu saya mulai sering dolan ke rumahnya, dia pernah bertanya, “Apakah kamu juga mengunjungi teman-teman yang lain?” (Maksudnya, teman-teman yang dulu pernah bekerja bersama kami).
Saya menggeleng. “Sebenarnya, aku ingin dolan ke rumah mereka, menjalin kedekatan seperti dulu. Tapi mereka telah menikah, dan aku selalu khawatir kedatanganku akan mengganggu. Bagaimana pun, orang yang sudah berkeluarga menjalani kehidupan yang berbeda dengan orang yang masih lajang seperti kita.”
Fandi berkata dengan pahit, “Aku memahami maksudmu. Jangankan cuma teman, bahkan adik pun bisa berubah setelah menikah. Ketika adik-adikku menikah, aku bukan hanya kehilangan mereka, karena kini hidup dengan keluarga masing-masing, tapi juga karena merasa mereka telah menjadi orang lain.”
Fandi tinggal bersama ibunya yang sudah tua, dan seorang adik perempuan yang invalid. Fandi punya dua adik lain—laki-laki dan perempuan—namun keduanya telah menikah, dan tinggal bersama keluarga masing-masing. Secara terang-terangan, khususnya kepada saya, Fandi mengaku tidak berniat menikah. Karena menikah, sebagaimana yang ia katakan, “adalah sebentuk kejahatan yang tidak mungkin kulakukan.”
Fandi adalah anak pertama dari empat bersaudara. Latar belakang kemiskinan tidak hanya membuatnya menghadapi hidup yang pahit, tapi juga kenyataan yang sangat menyakitkan. Kedua orang tuanya pemarah, dan sejak kecil Fandi telah kenyang dengan segala bentuk kekerasaan dari mereka.
Dulu, bertahun lalu, kami pernah membincangkan hal itu, suatu hari, saat jam istirahat kerja, dan saya berkata kepadanya, “Aku bisa merasakan amarah dan luka yang kamu rasakan. Mungkin, orang tua kita pemarah bahkan kejam karena terlalu frustrasi menghadapi kenyataan hidup. Dan kitalah yang menjadi korbannya.”
Bertahun kemudian, ketika kami bercakap-cakap di rumahnya, Fandi mengatakan, “Sekarang aku memahami maksudmu bertahun lalu. Keras dan kejam bisa jadi sifat atau pembawaan orang per orang. Tetapi, bagaimana pun, kenyataan hidup yang sangat menekan bisa mengubah kepribadian orang, hingga menjadi keras dan kejam. Itulah yang terjadi pada orang tuaku. Mereka tak mampu melawan tekanan hidup. Dan sebagai akibatnya, aku menjadi korban frustrasi mereka.”
Malam itu, ketika kami bercakap-cakap sambil menikmati teh hangat dan udud, Fandi menyatakan, “Hidup bisa begitu mengerikan, kalau dipikir-pikir. Orang tuaku miskin—dan mereka sadar kalau mereka hidup serba kekurangan—tapi mereka memiliki lima anak! Apakah mereka tidak pernah berpikir bahwa menghidupi lima anak bisa membuat mereka frustrasi? Rumah kami yang sempit bahkan tidak mampu menampung keluarga kami, sementara penghasilan mereka yang pas-pasan tidak sanggup menghidupi kami!”
Saya bertanya hati-hati, “Kamu pernah bertanya pada orang tuamu, kenapa mereka punya lima anak, padahal mereka sadar hidup berkekurangan?”
Di luar dugaan, Fandi tersenyum. “Bahkan tanpa bertanya, aku sudah tahu jawabannya. Seperti yang sering kamu tulis di blog, orang tuaku—juga jutaan orang lain—adalah korban doktrinasi terkutuk yang menipu mereka. Mereka ditipu bahwa penikahan akan membuat bahagia, dan mereka pun menikah tanpa persiapan dan kesadaran. Mereka ditipu bahwa punya anak-anak akan melapangkan rezeki, dan mereka pun punya banyak anak tanpa pikir panjang lagi. Hasilnya adalah keluarga kami yang miskin, anak-anak tanpa masa depan, dan luka serta penderitaan yang kualami.”
Sesaat, kami terdiam. Kemudian Fandi meneruskan, perlahan, “Aku senang bisa mengatakan ini kepadamu, tanpa khawatir dihakimi, tanpa khawatir diceramahi macam-macam, yang lagi-lagi cuma doktrin tak masuk akal.”
Saya jadi tertarik, “Kamu pernah mengatakan yang barusan kamu katakan kepada orang lain?”
“Pernah,” jawab Fandi. “Ada tetanggaku yang suka menyuruh-nyuruhku cepat kawin, dengan segala macam alasan; karena aku telah dewasa, karena adik-adikku sudah kawin, dan segala macam provokasi lain. Karena muak dan bosan, aku pernah berkata kepadanya bahwa aku tidak berniat kawin, dan kukatakan sesuatu yang tadi kukatakan kepadamu. Lalu dia berceramah macam-macam—khas orang-orang sok pintar. Dia mengatakan bahwa menikah akan melancarkan rezeki, bahwa aku tidak perlu khawatir punya anak, karena setiap anak membawa rezeki sendiri. Ironisnya, dia pede mengatakan semua itu, padahal hidupnya sendiri menyedihkan.”
Setelah mengisap rokoknya, Fandi kembali berkata, “Aku benar-benar tidak berminat menikah, karena menyadari bahwa pernikahan akan mendatangkan lebih banyak mudarat daripada manfaat bagiku. Aku harus merawat ibu dan adikku, karena adik-adikku yang lain sudah sibuk dengan keluarga serta urusan masing-masing. Aku juga menyadari kehidupanku masih berat. Jika aku menikah, aku hanya akan mengulang kejahatan yang dilakukan orang tuaku. Jika aku menikah, aku hanya akan melahirkan anak-anak terluka seperti yang kualami dulu.”
Yang dikatakan Fandi memang benar. Konsep pernikahan di lingkungan kita memiliki arti “menciptakan keluarga baru”. Artinya, ketika seorang laki-laki dan seorang perempuan menikah, mereka akan dituntut untuk punya anak. Jika tidak, setumpuk tuduhan bisa dilemparkan untuk mereka. Dari tuduhan impoten (hingga tidak bisa membuahi), sampai tuduhan mandul (hingga tidak bisa hamil).
Karenanya, meski sepasang suami istri bisa saling menyadari bahwa mereka belum mampu menghidupi anak, bisa jadi lingkungan—termasuk orang tua masing-masing—akan menekan. Dibutuhkan mental yang sangat kuat untuk mampu bertahan dari tekanan semacam itu, dan banyak pasangan suami istri terpaksa punya anak, demi membungkam cocot-cocot terkutuk di sekitarnya.
“Tidak menikah adalah pilihan terbaik bagiku,” ujar Fandi. “Saat ini, dengan memilih tidak menikah, aku hanya menghadapi orang-orang yang menyuruhku menikah. Dan aku mampu menghadapinya, karena hanya melibatkanku sendirian. Jika aku menikah, yang artinya aku punya pasangan, akan datang berbagai tuntutan lain, khususnya tuntutan agar punya anak. Mungkin aku sanggup bertahan, tapi bagaimana dengan pasanganku?”
Saya bertanya, “Ibumu... pernah menyuruhmu agar menikah?”
“Dulu, ya,” jawab Fandi. “Tapi sekarang tidak lagi. Dia tentu sadar. Kalau aku menikah, tidak ada lagi yang akan merawatnya. Sekarang dia telah melihat. Bahwa ketika anak-anaknya menikah, mereka akan sibuk sendiri dengan keluarganya.”
Sesaat kami terdiam.
Fandi kemudian berkata, dengan nada amarah yang jelas terdengar, “Tragis, kalau dipikir-pikir. Orang menikah, lalu punya anak-anak, dan berharap anak-anaknya segera menikah, juga berharap kelak akan ada yang merawat ketika mereka tua. Tentu tidak masalah, jika kita memang bisa menghidupi anak secara baik, dan anak-anak kita bisa hidup secara layak. Tapi bagaimana jika tidak? Bukankah itu perilaku egois? Kita punya anak, dengan harapan agar kelak ada yang merawat. Sementara kita tidak bisa menghidupi anak secara layak. Apa namanya jika bukan sikap egois, eksploitasi, bahkan kejahatan?”
“Karena itulah aku tidak berminat menikah,” lanjut Fandi. “Karena, jika aku menikah, artinya aku akan melanjutkan kejahatan yang dilakukan orang tua kepadaku. Aku menyadari hidupku belum jelas, dan aku tidak akan berspekulasi, khususnya untuk keputusan yang melibatkan orang lain, seperti menikah. Jika aku menikah dan harus menjalani kehidupan seperti orang tuaku, aku hanya akan mewariskan kejahatan pada anak-anakku. Mereka akan mengulangi kehidupan penuh luka seperti yang kualami, mereka akan mengutuk hidupnya seperti yang kulakukan. Aku akan merasa sangat jahat jika sampai melakukannya.”
Saya berkata perlahan, “Sayangnya, masyarakat kita tidak berpikir seperti itu...”
“Itulah yang membuatku heran,” sahut Fandi. “Mereka telah melihat dan mengalami sendiri, bahwa penikahan—dan kehidupan yang mereka jalani—meleset dari doktrin-doktrin yang telah menipu mereka. Tapi mereka justru mengulang doktrin-doktrin itu kepada orang lain, menyuruh-nyuruh orang lain cepat menikah dan punya anak. Kenapa mereka tidak introspeksi—bertanya pada diri sendiri, kenapa kehidupan mereka tidak sesuai dengan doktrin-doktrin yang pernah mereka dengar?”
Saya mengisap rokok, lalu berkata, “Sebenarnya, bisa jadi mereka tahu. Mereka tahu telah tertipu. Mereka tahu bahwa pernikahan tidak seindah doktrin yang biasa mereka dengar. Mereka tahu bahwa punya anak-anak mendatangkan beban luar biasa besar, khususnya kalau hidup mereka pas-pasan.”
“Kalau mereka tahu, kenapa mereka malah berusaha menipuku?”
Dengan senyum getir, saya menjawab, “Karena begitulah Homo sapiens.”
....
....
Kemampuan memahami mungkin terdengar bijaksana. Tetapi, pada satu titik, “kemampuan memahami” akan melemparkan kita pada kesadaran yang mengerikan. Misalnya, “memahami” kenapa Hitler melakukan genosida pada Yahudi. Atau “memahami” kenapa ada orang-orang yang ingin melenyapkan separo isi bumi.
“Manusia” dan “bukan manusia” adalah konsep paling tua dalam sejarah manusia. Konsep itu pula yang melahirkan tokoh-tokoh sejarah dengan jejak panjang penuh darah. Mungkin mereka memang jahat, sebagaimana yang ditulis tinta sejarah. Tapi bagaimana kalau, ternyata, mereka sudah terlalu muak menghadapi orang-orang yang “belum menjadi manusia”—dari sudut pandang atau perspektif mereka?
Seperti kita, di zaman ini. Sebagian orang saat ini telah sampai pada kesadaran bahwa menikah adalah soal pilihan, bahwa punya anak-anak adalah soal pilihan. Kesadaran itu secara tak langsung akan menafikan—untuk tidak menyebut menihilkan—konsep-konsep doktrinasi terkait perkawinan dan kepemilikan anak.
Konsekuensinya, mereka akan muak setiap kali diprovokasi cepat menikah dan punya anak, dan mereka akan menilai orang-orang yang memprovokasi mereka sebagai “makhluk lain” yang tidak seperti mereka.
Bisa melihat yang saya maksud?
Karenanya, kemampuan memahami—dan berempati—mestinya tidak hanya dimiliki oleh satu pihak, tapi harus dari dua pihak.
Yang menikah dan punya anak harus bisa memahami orang lain yang memilih tidak menikah atau tidak punya anak, dan begitu pula sebaliknya. Karena, jika tidak, kita sedang berusaha menjadikan sebagian kita sebagai bukan manusia. Dan jika kenyataan semacam itu telah terjadi... kita sedang mengundang petaka.