Senin, 01 Mei 2017

Doktrin Dusta Perkawinan

Nasib terbaik adalah tidak dilahirkan.
Soe Hok Gie


Di catatan sebelumnya (Lolong Serigala pada Rembulan), saya menulis tentang cara orang tua saya dalam mendidik anak-anaknya, termasuk saya. Jika kalian jeli, catatan itu sebenarnya mengungkapkan latar belakang kenapa saya tidak percaya—dan sulit diyakinkan—pada doktrin perkawinan. Latar belakang itu pula yang membuat saya begitu gigih menentang siapa pun yang suka “membohongi” orang-orang tentang “indahnya perkawinan”.

Saat dewasa kini, seiring pikiran makin matang, saya memahami bahwa perlakuan orang tua saya yang begitu buruk pada anak-anaknya, dilatari oleh kondisi hidup yang sangat menekan dan serbakekurangan. Kenyataan itu tentu membuat mereka (orang tua saya) kerap stres dan frustrasi, yang menjadikan mereka sulit berpikir jernih, sekaligus mudah emosi.

Saya percaya, orang tua saya—sebagaimana orang-orang tua lain—adalah manusia-manusia baik, yang tentu ingin memberikan yang terbaik untuk anak-anaknya. Tapi “ingin” sering kali berhadapan dengan “realitas”. Orang tua memiliki anak, dan ingin memberikan yang terbaik untuk si anak. Sayangnya, keinginan sering harus berbenturan dengan realitas yang tidak memungkinkan terjadi. Akibatnya, alih-alih memberikan yang terbaik, orang tua justru memberikan yang terburuk.

Itu kenyataan umum yang sebenarnya mudah kita lihat dan temukan di sekitar, kalau saja kita cukup peka.

Jika saya duduk tenang, dan membiarkan pikiran flashback ke masa lalu, saya bisa melihat semua peristiwa yang terjadi bertahun-tahun lalu, sejelas saya menonton layar bioskop. Termasuk peristiwa-peristiwa yang terkait orang tua saya, bertahun-tahun lalu. Meski ayah saya telah meninggal bertahun lalu, misalnya, saya bisa mengingat sosoknya dengan jelas, semua yang ia lakukan, yang saya saksikan saat ia masih hidup, hari demi hari... seolah saya benar-benar sedang melihatnya sekarang.

Saya mengakui, ayah saya manusia yang baik. Melihatnya hidup di masa lalu, dia bekerja begitu keras, siang malam tanpa kenal lelah, demi menghidupi keluarga, demi berusaha memberikan yang terbaik untuk anak-anaknya. Tetapi, kondisi yang menghimpit dan begitu menekan—kemiskinan yang kami jalani—juga menjadikan ayah saya mudah emosi. Itu sesuatu yang manusiawi. Dia tentu stres dan frustrasi menghadapi hidup yang terus penuh tekanan. Hal itu, tanpa disadarinya, menjadikan dia memperlakukan anak-anaknya—khususnya saya—dengan begitu buruk.

Akibatnya, meski sebenarnya dia ingin memberikan yang terbaik untuk anak-anaknya, tapi hasilnya justru bertolak belakang. Dia bekerja keras dengan niat untuk menghidupi keluarga. Tapi karena kondisi terus menerus penuh kekurangan, dia pun frustrasi. Hasilnya, bukan memberikan yang terbaik sebagaimana yang dia bayangkan, dia justru memberikan yang terburuk. Dia mudah marah, dan saya kerap menjadi sasaran kemarahannya.

Sudah memahami yang saya maksud? Manusia yang semula sangat baik, bisa menjadi begitu buruk, ketika dihadapkan pada tekanan terus menerus yang tidak bisa ia selesaikan. Kemiskinan, kekurangan, dan kondisi serbasusah yang kami alami, adalah hal-hal yang tidak bisa diselesaikan ayah saya. Hasilnya, orang yang sebenarnya baik bisa berlaku sedemikian buruk pada anak-anaknya, meski mungkin ia tidak menyadari.

Ketika hal semacam itu terjadi, siapakah yang menjadi korban? Jawabannya jelas, anak-anaknya! Saya tahu betul hal itu, karena saya menjadi korban dalam hal ini! Saya adalah korban orang tua yang sebenarnya baik, tapi berubah buruk akibat kemiskinan dan himpitan hidup.

Selama bertahun-tahun, khususnya saat dewasa, saya sering bertanya dalam hati dan berpikir, “Mengapa orang tua saya menikah dan punya anak-anak, padahal kondisi hidup mereka tidak memungkinkan untuk itu?” Mereka tentu menyadari keadaan dan kehidupan yang mereka jalani, yang serbakekurangan. Tapi mengapa mereka berani melahirkan anak-anak, yang tentu akan semakin membebani hidup mereka?

Sejujurnya, saya membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk menemukan jawaban atas pertanyaan tersebut. Dan begitu mulai memahami jawabannya, saya benar-benar marah campur mau muntah.

Orang tua saya menikah dan punya anak, setidaknya karena tiga hal atau tiga latar belakang. Pertama, mereka memang ingin menikah dan punya anak, karena dorongan atau fitrah manusiawi. Kedua, mereka terdoktrin untuk segera menikah, karena percaya bualan orang-orang bahwa menikah akan membuat mereka bahagia dan lancar rezeki. Ketiga, mereka memiliki anak-anak tanpa berpikir panjang, karena percaya “setiap anak memiliki rezeki sendiri”.

Latar belakang itu pulalah yang selama ini menjerat dan memerangkap jutaan—oh, well, miliaran—orang untuk menikah dan punya anak-anak, tanpa berpikir panjang. Dan meski realitas terus membuktikan bahwa doktrin perkawinan tidak selalu benar, orang-orang terus mendoktrin dan mendoktrin, terus berbohong dan berbohong, terus berdusta dan berdusta.

Menikah akan membuatmu bahagia dan lancar rezeki, kata mereka. Tapi saya kesulitan menemukan kebenaran doktrin itu, karena orang tua saya tidak begitu, karena lingkungan saya tidak begitu, karena teman-teman saya tidak begitu, karena orang-orang yang saya kenal tidak begitu. Bagaimana bisa saya mempercayai sesuatu yang jelas-jelas bertolak belakang dengan kenyataan...?

Mereka juga mengatakan, agar orang tidak perlu khawatir punya anak, karena anak-anak memiliki rezeki sendiri-sendiri. Sekali lagi, saya kesulitan menemukan kebenaran doktrin itu, karena nyatanya saya menjalani masa kecil yang amat pahit. Sedemikian pahit, hingga rasanya ingin menggampar cocot siapa pun yang masih membual bahwa “anak-anak memiliki rezeki sendiri”.

Kalau memang anak-anak memiliki rezeki sendiri, kenapa dulu saya menjalani kehidupan masa kecil—bahkan sampai dewasa—yang begitu pahit dan menyedihkan? Rezeki keparat macam apa yang melemparkan saya ke jalanan, menyabung nyawa demi mendapat receh tak seberapa, padahal saya masih anak-anak? Dan bagaimana dengan jutaan anak lain yang juga mengalami nasib seperti saya? Bagaimana dengan jutaan anak yang kini terdampar di jalanan, di mana-mana, kelaparan, dan kesepian?

Mereka punya rezeki sendiri-sendiri? Oh, well, bastard, katakan itu pada mereka!

Jutaan anak malang itu—yang kelaparan, yang menyabung nyawa demi bisa makan—yang bisa kita temukan di mana pun, adalah hasil kebodohan yang dibangun oleh doktrin dusta perkawinan. Anak-anak itu tidak minta dilahirkan, tapi mereka dilahirkan hanya untuk menghadapi penderitaan, penderitaan, dan penderitaan...

Jadi, di mana rezeki yang katanya “setiap anak memiliki rezekinya sendiri”?

Itulah latar belakang yang membuat saya tidak percaya, dan sulit diyakinkan, oleh doktrin perkawinan. Karena tidak sesuai kenyataan, bahkan bertolak belakang. Yang membuat saya marah, masih adaaaaaaa saja bangsat-bangsat yang terus mencoba menipu orang-orang, berusaha ngibul tentang indahnya perkawinan, hingga anak-anak malang terus dilahirkan dan terus dilahirkan. Anak-anak malang itulah yang saya tangisi, yang terus saya tangisi. Anak-anak malang itu dilahirkan tanpa meminta, lalu menjalani hidup dalam jurang luka, karena kebodohan orang tua mereka.

Yang lebih ironis, bangsat-bangsat yang hobi menyuruh dan memprovokasi orang-orang lain cepat menikah—dengan iming-iming kebahagiaan dan segala macam—justru menjalani kehidupan yang menyedihkan. Apa yang lebih bejat dibanding itu? Mereka menikah dan menjalani hidup keblangsak, lalu berusaha menipu orang-orang lain agar sama keblangsak seperti mereka. Itu benar-benar bejat dan biadab, sesat sekaligus menyesatkan, asu seasu-asunya!

Dulu, ibu saya—sebagaimana umumnya ibu-ibu lain—suka menyindir dan menyuruh saya agar menikah. Ketika saya mulai tidak tahan, saya pun berkata pada ibu saya, “Tolong tunjukkan satu saja orang yang menikah dan hidupnya bahagia, agar aku bisa bercermin kepadanya, sehingga tergerak untuk menikah.”

And you know what...? Ibu saya kebingungan! Dia tidak bisa menunjukkan satu pun! Jika kalian menempati posisi saya, apakah mungkin kalian masih tertarik untuk menikah? Ibu saya sendiri—yang melahirkan saya, dan yang mendorong saya agar menikah—tidak mampu menunjukkan satu orang pun yang menikah dan hidupnya bahagia! Apa yang lebih mengerikan dari itu?

Tentu saya percaya, ada orang-orang di luar sana yang menikah, dan hidup mereka bahagia. Tetapi, sayang seribu sayang, saya belum pernah menemukan satu orang pun di sekeliling saya, atau yang saya kenal, yang menikah dan hidupnya bahagia.

Karena itu pulalah, saya berani membuat tantangan terbuka di sini, “Jika ada lelaki yang telah menikah tiga tahun, dan dia berani bersumpah kepada saya, bahwa hidupnya lebih bahagia setelah menikah dibanding ketika masih lajang, maka saya akan bersumpah kepadanya untuk segera menikah seperti dirinya.”

Tantangan terbuka itu telah dibaca ribuan orang, baik oleh orang-orang yang mengenal saya di dunia nyata, maupun oleh orang-orang di luar sana yang hanya mengenal saya di dunia maya. Yang jelas, meski saya telah membuat tantangan itu sekian tahun lalu, sampai saat ini tidak ada satu orang pun yang berani menjawabnya.

Jadi, bagaimana dengan doktrin perkawinan? Kalau memang perkawinan akan membuatmu tenteram, bahagia, lancar rezeki, dan bla-bla-bla, tolong tunjukkan kepada saya. Tidak usah banyak bacot! Tunjukkan saja buktinya! Kalau memang anak-anak memiliki rezeki sendiri—sebagaimana doktrin yang kalian yakini—mari kita lihat anak-anak di jalanan, yang menjalani nasib seperti saya kecil dulu. Bagaimana, dan di mana, rezeki mereka?

Ngoceh itu mudah, bahkan bangsat paling idiot pun bisa melakukan. Yang sulit adalah membuktikan kebenaran yang kita ocehkan. Membual bahwa menikah itu indah, membahagiakan, dan taik kucing lainnya, itu mudah. Yang sulit adalah membuktikannya. Mendoktrin orang-orang bahwa setiap anak memiliki rezeki sendiri, itu mudah. Yang sulit adalah memastikan bahwa doktrin itu benar.

Jadi, kepada siapa pun yang mengatakan bahwa menikah akan membuatmu bahagia dan lancar rezeki, saya ingin bertanya. Mengapa orang tua saya begitu miskin, tertekan, dan menjalani kehidupan serbakekurangan? Dan bagaimana dengan jutaan pasangan lain, yang menjalani nasib serta kehidupan menyedihkan, padahal mereka menikah sebagaimana yang kalian doktrinkan?

Jika setiap anak memiliki rezeki sendiri, sehingga orang tidak perlu khawatir punya anak-anak, saya ingin bertanya. Mengapa masa kecil saya begitu pahit, bahkan mengerikan, akibat kemiskinan orang tua, hingga saya harus menyabung nyawa demi bisa jajan, padahal waktu itu saya masih anak-anak? Dan bagaimana dengan jutaan anak lain, yang kini sama-sama menjalani masa kecil begitu pahit, kelaparan, kesepian, karena orang tua mereka tak mampu memberi makan?

Jika tidak bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan penting itu, tutuplah cocotmu, dan berhentilah menipu orang-orang lain yang tidak tahu. Jauh lebih baik ada anak-anak yang tidak pernah dilahirkan, daripada mereka dilahirkan hanya untuk menghadapi hidup yang penuh luka dan penderitaan.

Saya tahu betul yang saya katakan. Karena saya mengalaminya.

 
;