Keadilan dalam hidup ini sederhana.
Kau memilih hidupmu tanpa merugikan orang lain, dan
tidak memaksakan pilihan hidupmu kepada orang lain.
—@noffret
Kalau kalian ke Pekalongan, jangan lupa menikmati sego megono. Kalau-kalau ada yang belum tahu, sego megono bukan nama pendekar seperti Suro Menggolo. Sego megono adalah sebutan orang Pekalongan terhadap nasi megono. Dalam bahasa Jawa, nasi disebut sego. Dan apa itu megono? Megono adalah bumbu yang digunakan sebagai pelengkap untuk makan nasi putih.
Megono dibuat dari nangka muda yang dicacah sampai menjadi serpihan-serpihan kecil, lalu dimasak dan diolah, plus dicampur bumbu-bumbu tertentu, hingga jadilah megono. Fungsi sejati megono adalah menyedapkan nasi yang kita makan.
Bagi sebagian masyarakat Pekalongan, menikmati sego megono adalah hal terbaik untuk memulai hari baru. Karenanya, waktu sarapan pagi, banyak dari mereka membeli sego megono, dan dimakan dengan tempe goreng yang masih panas. Hanya nasi megono dan gorengan tempe panas saja, nikmatnya luar biasa. Setelah itu, ditutup dengan minum teh hangat. Benar-benar pagi yang sempurna!
Dulu, waktu masih tinggal bersama orang tua, saya juga sering sarapan dengan menu seperti itu, karena kebetulan di dekat rumah kami ada warung penjual nasi megono yang sangat enak. Hanya nasi megono, dimakan dengan tempe goreng panas.
Meski mungkin terdengar sederhana, rasanya memang sangat enak. Yang aneh, jika megononya dihilangkan, dan tinggal nasi sama tempe goreng saja, saya tidak mau makan! Soalnya tidak enak! Jadi, meski sifatnya hanya sebagai bumbu, megono memiliki peran penting dalam menjadikan aktivitas makan lebih nikmat.
Orang Pekalongan sering mengidentikkan megono dengan sifat “sedap”. Sepertinya memang itulah fungsi megono, menyedapkan nasi yang kita makan. Nasi putih, kan, rasanya hambar. Kalau cuma dimakan dengan tempe goreng, rasanya tetap hambar. Tapi dengan diberi megono, nasi putih yang semula hambar terasa lebih enak. Atau lebih sedap. Dan makan pun terasa lebih nikmat.
Sebegitu erat masyarakat Pekalongan dengan megono, nyaris semua warung atau rumah makan di Pekalongan dan sekitar (khususnya yang dimiliki orang Pekalongan) pasti menyediakan megono.
Di warung atau rumah makan, sajian sego megono tidak sesederhana yang saya ceritakan di atas (cuma sego megono dan tempe goreng). Di warung gulai, misalnya, kita bisa menikmati nasi gulai dengan tambahan megono. Begitu pula saat menikmati makan di warung atau rumah makan yang menyediakan aneka masakan, megono selalu bisa ditambahkan. Mau makan dengan apa pun, kita selalu bisa menambahkan megono ke dalamnya. Makan dengan sayur lodeh, misal, rasanya lebih nikmat jika ditambah megono.
Megono, dalam bayangan saya, adalah karunia alam semesta.
Meski dibuat dari bahan yang sama—cacahan nangka muda—megono bisa memiliki cita rasa berbeda. Hal itu dilatari cara mengolah dan aneka bumbu yang digunakan dalam membuat megono, yang bisa jadi berbeda-beda. Karenanya, meski sama-sama sego megono, cita rasa yang kita nikmati bisa berbeda. Yang unik, cita rasa megono yang mungkin nikmat bagi satu orang, belum tentu nikmat pula bagi orang lain. Meski banyak pula megono yang sama-sama disepakati sebagai megono yang enak.
Misalnya begini. Warung makan A menyediakan nasi megono. Bagi saya, mungkin megono di warung A sangat sedap. Tetapi, jika saya mengajak kawan ke warung A, belum tentu dia akan sepakat. Bisa jadi, bagi teman saya, megono di warung A biasa saja. Karena dia mungkin telah memiliki warung makan favorit yang menyediakan megono yang lebih sesuai selera lidahnya.
Atau sebaliknya. Teman saya memuji-muji megono di suatu warung makan yang dikunjunginya, lalu mengajak saya untuk ikut mencoba. Tetapi, ternyata, bagi lidah saya, megono di warung itu biasa-biasa saja. Jadi, meski sama-sama megono, dan meski sama-sama dihasilkan dari bahan yang sama, cita rasa yang dihasilkan bisa berbeda, dan menghasilkan penyuka yang berbeda.
Meski tidak selamanya juga begitu.
Kadang-kadang, ada megono yang memiliki cita rasa tertentu yang kebetulan disukai banyak orang. Saya suka, teman-teman saya suka, dan kebanyakan orang lain juga suka. Megono jenis ini biasanya dibuat dengan cita rasa yang sedap namun “moderat”, sehingga dapat sesuai dengan lidah siapa pun. Terkait hal ini, salah satu megono favorit saya adalah megono di rumah makan Mbak Yanna.
Rumah makan Mbak Yanna ada di Jalan Jenderal Soetoyo, di daerah perbatasan antara Pekalongan dan Batang. Omong-omong, Batang adalah kampung halaman Goenawan Mohamad. Iya, Goenawan Mohamad yang itu.
Jika kita dari arah Pekalongan kota, lalu masuk wilayah Setono, dan teruuuuuus mengikuti jalan yang ada di sana, nanti tembus Batang. Itu merupakan jalur alternatif menuju Batang, selain melalui jalan besar. Nah, di antara perbatasan Pekalongan dan Batang tersebut ada jalan yang dinamai Jalan Jenderal Soetoyo, dan di jalan itulah rumah makan Mbak Yanna berada. Karena di wilayah itu masih banyak sawah, rumah makan Mbak Yanna pun berhadapan dengan persawahan.
Kalau pas lewat sana, biasanya saya mampir makan di sana. Nasinya sesuai kualifikasi saya—ditanak dengan baik, dengan butir-butir nasi yang tidak menggumpal, dan tidak lengket. Sementara masakan di sana juga pas dengan lidah saya. Menu masakan yang disajikan di sana menu tradisional, termasuk sayur lodeh, sayur bening, masakan cumi, opor ayam, udang, olahan ikan, dan lain-lain semacamnya, termasuk megono.
Semua masakan yang disajikan sangat enak. Termasuk megononya, benar-benar mampu menyedapkan makanan. Nah, megono di rumah makan Mbak Yanna tampaknya juga disukai banyak teman saya, yang sama-sama sepakat kalau megono di rumah makan tersebut memang enak. Memilih menu masakan apa pun, rasanya lebih sedap dan lebih maknyus, jika ditambah megono.
Megono, dalam perspektif saya, adalah cara masing-masing kita dalam menatap kehidupan. Kita hidup dari olahan yang sama, tak jauh beda dengan megono. Sama-sama berasal dari cacahan nangka muda, megono bisa menghasilkan cita rasa yang berbeda, tergantung bagaimana mengolah dan menggunakan bumbu olahannya, dan masing-masing cita rasa megono memiliki penyuka sendiri-sendiri. Satu cita rasa megono yang enak bagi saya, belum tentu enak pula bagi yang lain. Begitu pula sebaliknya.
Hidup dan kehidupan kita tidak jauh beda dengan itu. Masing-masing orang dibekali fisik yang sama, otak yang sama, pikiran yang sama, bahkan hati yang sama. Namun, bumbu kehidupan kita bisa berbeda. Bumbu kehidupan kita adalah latar belakang, pengalaman, pergaulan, pendidikan, dan lain-lain, yang semuanya “mengolah” diri kita sedemikian rupa, hingga masing-masing kita mewujud dengan “cita rasa” berbeda.
“Cita rasa” pada manusia adalah kepribadian, cara berpikir, sampai bagaimana memandang dan menjatuhkan pilihan-pilihan dalam hidup. Dan seperti megono, yang enak bagi satu orang, belum tentu enak pula bagi orang lain. Karena masing-masing memiliki “bumbu olahan” atau pengalaman dan latar belakang berbeda, yang lalu menghasilkan kepribadian dan cara memandang hidup yang juga berbeda.
Selama ini, misalnya, kita sering mendeskripsikan atau mengidentikkan “kesuksesan” dengan kekayaan, popularitas, pangkat dan jabatan, serta hal-hal fisikal dan artifisial serupa. Artinya, kita baru menganggap seseorang sukses jika telah kaya-raya, atau menjadi tokoh terkenal, atau memiliki pangkat dan jabatan tinggi. Padahal, makna hakiki kesuksesan tidak sesempit itu. Karena kesuksesan, seperti megono, tergantung orang per orang yang “merasakan”. Yang enak bagimu, belum tentu enak bagi saya.
Memang ada—dan mungkin banyak—orang yang menganggap kekayaan atau kemewahan sebagai simbol kesuksesan. Artinya, kalau kau kaya dan menjalani hidup mewah, kau layak disebut sukses. Apalagi jika kau kaya, mewah, sekaligus terkenal. Bahkan calon mertuamu pun akan sepakat kalau kau memang sukses. Tetapi, jangan lupa, ada orang-orang yang mendefinisikan sukses tidak sebatas itu.
Ada orang-orang yang justru mencintai kehidupan sederhana, yang menilai kesuksesan pribadi tidak dengan skala kekayaan, tapi dengan skala kecukupan. Tidak menilai kesuksesan dengan kemewahan, tapi dengan kedamaian. Tidak menilai kesuksesan dari popularitas, tapi dari kemampuan menjalani hidup dengan cara yang ia pilih.
Definisi sukses orang per orang bisa berbeda, karena masing-masing orang menjalani kehidupan serta pengalaman berbeda, sehingga kita juga tidak bisa memaksakan suatu definisi sukses secara kaku.
Mungkin kita menganggap kemewahan adalah simbol kesuksesan. Mengapa? Mungkin karena kita menyukai hal-hal mewah, dan membayangkan keglamoran adalah kebahagiaan. Tapi apakah semua orang pasti seperti itu? Belum tentu! Orang yang menyukai hidup sederhana justru tidak nyaman jika dipaksa menjalani kehidupan mewah dan glamor.
Selama ini, misalnya, kita sering mendengar orang mengatakan, “Dia sudah sukses sekarang. Sudah jadi artis!” Atau varian kalimat semacam, yang semuanya mengarahkan pikiran kita untuk memahami bahwa “menjadi artis” adalah simbol bahkan bukti paling nyata kesuksesan.
Kalau kau ibu rumah tangga, dan menjadi artis, orang-orang akan menganggapmu sukses. Kalau kau supir bajaj, dan menjadi artis, orang-orang akan menganggapmu sukses. Kalau kau pedagang kaki lima, dan menjadi artis, orang-orang akan menganggapmu sukses. Pendeknya, kalau kau semula orang biasa, lalu menjadi artis, orang-orang akan menilaimu sukses.
Saya pikir, itu definisi sukses yang salah kaprah, bahkan sebentuk pemaksaan terhadap definisi kesuksesan. Jika menjadi artis adalah ukuran untuk menilai seseorang sukses atau tidak, sampai mati pun saya tidak akan sukses! Karena memang tidak ingin jadi artis! Ini kan kacau. Sistem nilai dan definisi sukses, jelas tidak seperti itu. Pasti ada sistem nilai yang lebih adil.
Dalam definisi saya, sukses mirip sego megono. Kita sama-sama makan nasi putih, dan itulah kehidupan kita. Sementara megono adalah bumbu yang menambah cita rasa nasi putih yang kita makan, dan itulah sebenarnya kesuksesan. Jadi, kesuksesan hanya “bumbu penambah cita rasa”, dalam hal ini “kepuasan dalam menjalani hidup”. Sebagaimana megono, masing-masing orang bisa berbeda dalam selera. Megono yang enak bagi saya, belum tentu enak bagi orang lain. Pun sebaliknya.
Ada orang yang menilai kemewahan sebagai simbol kesuksesan, silakan. Tetapi, marilah kita menyadari bahwa tidak semua orang harus seperti itu. Ada guru-guru yang bekerja penuh pengabdian, dan mereka menilai kesuksesan pribadi tidak dengan kemewahan apalagi keglamoran, melainkan dengan banyaknya anak didik yang mereka antarkan menjadi orang-orang yang lebih pintar.
Saat menyaksikan murid-murid lulus sekolah, guru-guru itu menatap penuh kebahagiaan, dan merasakan diri mereka telah menjadi guru yang sukses, manusia yang sukses. Mungkin mereka jauh dari kemewahan, dan menjalani hidup dalam kesederhanaan, tapi mereka merasa sukses, dan mereka tentu berhak untuk itu. Dengan kata lain, kesuksesan tidak sesempit yang mungkin kita pikirkan.
Begitu pula, ada orang yang menganggap popularitas atau menjadi artis sebagai simbol kesuksesan, juga silakan. Tetapi jangan paksakan sistem nilai yang sama kepada setiap orang. Karena orang yang mencintai kesunyian dan menjauhi ingar-bingar, justru tidak menginginkan popularitas, apalagi berharap menjadi artis. Ada orang yang senang menjadi pusat perhatian, pun ada yang senang menikmati hening di kesunyian.
Karenanya, definisi sejati kesuksesan sebenarnya bukan hal-hal yang dianggap orang lain terhadap diri kita, melainkan hal-hal yang membuat kita puas menatap kehidupan. Kesuksesan hakiki bukan semata benda-benda yang terlihat di luar diri kita, melainkan kepuasan batin yang ada di dalam diri kita. Karena, apa artinya menjadi artis, terkenal, dan kaya-raya, tapi batin gersang dan hidup jauh dari kedamaian?
Menjadi diri sendiri, menjalani kehidupan sesuai yang kita pilih, menikmati waktu dengan hal-hal yang kita cintai, itulah kesuksesan sejati. Karena sifatnya sangat relatif, maka setiap orang bisa memiliki cara berbeda dalam menjalani kehidupan, dan begitu pula cara orang mendefinisikan kesuksesan. Sebab megono—bumbu kehidupan—memang enak dan sedap, tapi setiap orang memiliki selera berbeda.