Itu kehidupan privat kok diatur negara.
Menurut saya, itu kebijakan yang tidak jelas, tidak mutu—
kartunya buat apa? Nggak ada dalam pikiran saya ada jomblo
terus dikasih kartu gitu—menurut saya kurang kerjaan.
Harusnya bagaimana membuat Jakarta menjadi lebih baik.
—Agus Pambagio
Yang terpenting adalah membuat warga Jakarta merasa bahagia.
Lu mau jomblo, mau enggak, yang penting bahagia.
—Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama
Menurut saya, itu kebijakan yang tidak jelas, tidak mutu—
kartunya buat apa? Nggak ada dalam pikiran saya ada jomblo
terus dikasih kartu gitu—menurut saya kurang kerjaan.
Harusnya bagaimana membuat Jakarta menjadi lebih baik.
—Agus Pambagio
Yang terpenting adalah membuat warga Jakarta merasa bahagia.
Lu mau jomblo, mau enggak, yang penting bahagia.
—Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama
Sandiaga Uno, Wakil Gubernur DKI terpilih, berencana meluncurkan program Kartu Jakarta Jomblo untuk anak-anak muda di DKI Jakarta yang tidak/belum memiliki pasangan. Sejujurnya, saya sulit membayangkan ide sekonyol itu bisa muncul dari pikiran Sandiaga Uno. Konyol, apalagi ide terkait urusan jomblo itu lahir dalam kapasitas Sandiaga Uno sebagai pejabat/pemimpin Jakarta.
Semula, saya pikir urusan “kartu jomblo” itu cuma bahan guyon atau canda-candaan. Ternyata benar-benar ditindaklanjuti secara serius, bahkan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta berencana menggunakan ruang publik terpadu ramah anak (RPTRA) untuk memfasilitasi hal itu.
Lebih lanjut, Sandiaga Uno bahkan menjelaskan programnya—atau kekonyolannya—dengan menyatakan bahwa Kartu Jakarta Jomblo nantinya akan berlaku selama enam bulan. Enam bulan, menurutnya, merupakan periode waktu yang dimiliki oleh individu yang melajang untuk segera mendapatkan jodoh.
Ini yang dikatakan Sandiaga Uno kepada para wartawan, “Sebenarnya ada waktu yang fix gitu, enam bulan, atau mungkin bisa perpanjang jadi total setahun. Karena kalau enggak, dia harus keluar dari ekosistem itu. Dia enggak boleh nyaman menjomblo. Karena suatu saat kan harus berpasangan.”
Sekali lagi, saya—dan mungkin sekian banyak orang lain—sulit membayangkan ide sekonyol itu bisa keluar dari pikiran Sandiaga Uno. Oh, saya bahkan merasa akan mimisan! Bagaimana bisa seorang Wakil Gubernur DKI Jakarta memiliki pemikiran seperti itu? “Dia enggak boleh nyaman menjomblo,” katanya, “Karena suatu saat kan harus berpasangan.”
Kenyataan bahwa Wakil Gubernur DKI Jakarta memiliki pemikiran semacam itu, membuat saya sadar bahwa ternyata “kekacauan pikir” tidak hanya dialami orang-orang yang tinggal di desa atau di kota-kota kecil, tapi juga di kota besar, bahkan di ibu kota!
Karena urusan “kartu jomblo” ternyata benar-benar serius, saya pun gatal untuk merespons secara serius.
Mari kita mulai dengan premis ini; bahwa menjadi jomblo (lajang) adalah soal pilihan. Setiap orang berhak untuk menikah atau tidak menikah, dengan berbagai alasan dan latar belakang. Jika Sandiaga Uno—atau siapa pun—memilih untuk menikah, itu hak mereka. Tapi Sandiaga Uno—atau siapa pun—tidak bisa memaksa orang lain agar sama menikah seperti mereka.
Fakta bahwa Sandiaga Uno berencana menerbitkan Kartu Jakarta Jomblo, dengan jelas membuktikan pola pikirnya kacau, bahkan keliru. Dia mengira, bahkan meyakini, setiap orang ingin punya pasangan, ingin menikah, lalu beranak pinak. Padahal, tidak ada jaminan pasti seperti itu. Bagaimana kalau ternyata ada sekian banyak warga Jakarta yang memang ingin melajang, dan menganggap penerbitan Kartu Jakarta Jomblo sebagai bentuk intervensi?
Umpama saya warga Jakarta, dan memilih menjomblo atau melajang, saya akan marah dengan keberadaan Kartu Jakarta Jomblo. Penerbitan kartu itu—langsung maupun tak langsung—telah mencampuri urusan pribadi saya, sekaligus mengintervensi pilihan hidup saya.
Bahkan umpama saya memilih untuk menikah, dan berharap memiliki pasangan, saya tetap tidak bisa menerima Kartu Jakarta Jomblo, karena kartu itu jelas menghina akal sehat. Kasihan sekali warga Jakarta, mau mencari pasangan dan menikah saja harus difasilitasi pemerintahnya.
Itu kekacauan pikir Sandiaga Uno yang pertama, yaitu meyakini bahwa setiap orang—khususnya warga Jakarta—ingin punya pasangan, ingin menikah, dan ingin beranak pinak, padahal tidak ada jaminan pasti begitu.
Yang kedua, Sandiaga Uno tampaknya kacau dalam memilah mana urusan privat dan mana urusan publik. Punya pasangan dan menikah adalah urusan privat, urusan masing-masing orang. Kalau pun ada pihak lain yang boleh memasuki, tentu sebatas keluarga atau orang-orang terdekat. Sejak kapan pejabat publik—Wakil Gubernur—punya hak mencampuri urusan privat orang per orang?
Jauh lebih baik memikirkan urusan yang bersifat publik, yang sesuai tugas seorang pejabat publik, daripada mengurusi apakah Si A punya pasangan atau tidak. Jauh lebih baik memastikan warga Jakarta dapat menjalani hidup sehat, aman, dan tenteram, daripada mengurusi Si B masih jomblo atau punya pasangan. Akhirnya, jauh lebih baik mengurusi hal-hal penting seperti pendidikan, daripada sibuk mengurusi selangkangan!
Kekacauan pikir ketiga, Sandiaga Uno berdalih, bahwa penerbitan Kartu Jakarta Jomblo dimaksudkan untuk mencegah penurunan populasi, khususnya di Jakarta. Dalih itu benar-benar kacau sekaligus membingungkan, karena justru bertolak belakang dengan kenyataan. Masalah kependudukan di Jakarta bukan kurang penduduk, tapi terlalu banyak penduduk! Mencegah penurunan populasi apaan? Jakarta sudah menjadi salah satu kota paling padat di dunia!
Bahkan Thoman Pardosi, Ketua BPS Jakarta, sampai bingung dengan rencana penerbitan Kartu Jakarta Jomblo. Kepada BBC Indonesia, dia menyatakan, “Niatnya (penerbitan Kartu Jakarta Jomblo) kan menyelesaikan persoalan. Persoalannya kan kita kelebihan penduduk. Kalau kelebihan penduduk, kok mencari program yang menambah penduduk?”
Terkait statistik penduduk Jakarta, yang bertolak belakang dengan pemikiran Sandiaga Uno, kita bisa membaca artikel di BBC Indonesia (Kartu Jomblo dan 'Mak Comblang yang Salah Kaprah'), atau di situs Tirto (Jakarta Tak Butuh Kartu Jomblo). Dua artikel itu secara telak mementahkan pikiran Sandiaga Uno.
Selain itu, Sandiaga Uno tampaknya berpikir terlalu lugu, menganggap bahwa orang menikah pasti akan punya anak. Lugu—atau kacau. Karena orang yang menikah bisa saja tidak punya anak (misal karena alasan medis tertentu), atau sengaja memutuskan untuk tidak punya anak. Jadi, rencana penerbitan Kartu Jakarta Jomblo dengan jelas menunjukkan kekacauan berpikir Sandiaga Uno.
Memang, ada kemungkinan Sandiaga Uno mengeluarkan ide Kartu Jakarta Jomblo sebagai upaya politis—menarik minat anak-anak muda (khususnya anak-anak muda yang kurang mikir), yang memang mudah “dikibuli” dengan gimmick semacam itu. Terkait hal tersebut, situs Tirto punya artikel bagus yang perlu dibaca: Perjuangan Warga Jomblo yang Sandiaga Uno Perlu Tahu. (Saya sangat menyarankan kalian membaca artikel itu, agar lebih bisa memahami yang akan saya ocehkan berikut.)
....
....
Well, di dunia nyata maupun di dunia maya, memang ada orang-orang yang sengaja “memanipulasi” urusan jomblo untuk kepentingan dan keuntungan pribadi. Mereka tahu, salah satu cara menarik hati orang-orang—khususnya remaja dan anak muda—adalah dengan sering-sering membahas urusan jodoh atau pasangan. Jadi, mereka sengaja memanipulasi hal itu, demi agar disukai, agar tujuan mereka tercapai—apa pun tujuan mereka.
Karenanya, saya sengaja menggunakan istilah “memanipulasi”, karena memang itulah yang mereka lakukan—memanipulasi!
Orang-orang yang memanipulasi urusan jodoh, jomblo, pasangan, pernikahan, dan segala tetek bengeknya, sebenarnya tahu bahwa yang mereka ocehkan sering kali tidak benar. Tapi mereka tidak peduli, karena tujuan mereka memang bukan menyatakan kebenaran, melainkan agar disukai. So, mereka akan mengatakan hal-hal indah dan manis, yang memang ingin didengar orang lain, dan tak peduli kalau untuk itu mereka harus menutupi kenyataan sebenarnya.
Mengapa ada banyak orang yang mengatakan bahwa menikah itu menyenangkan, membuatmu bahagia, bahkan melancarkan rezeki? Bukan karena memang begitu kenyataannya, tapi karena orang-orang ingin diberitahu seperti itu!
Orang tidak percaya pada realitas, mereka hanya percaya pada yang ingin mereka percaya!
Mereka ingin percaya bahwa menikah itu menyenangkan, membahagiakan, dan melancarkan rezeki. Mereka ingin percaya itu! Karenanya, ketika ada orang yang mengatakan hal itu, mereka pun percaya... dan menyukai orang yang mengatakannya! Soal apakah ocehan itu terbukti kebenarannya, itu urusan lain. Yang penting, mereka ingin percaya seperti itu.
“Celah” itu dimanfaatkan beberapa orang untuk memanipulasi mereka, dengan mengatakan yang ingin mereka dengar. Maka muncullah orang-orang yang begitu rajin menyuruh-nyuruh orang lain menikah, dengan berbagai dalih, dengan berbagai alasan, bahkan dengan berbagai kebohongan. Mereka akan mengatakan apa pun—bahwa menikah akan membuatmu bahagia, tenteram, lancar rezeki, dan taik kucing lainnya—karena mereka tahu, orang-orang akan percaya. Bukan karena itu fakta, tapi karena orang-orang ingin percaya itu fakta!
Jadi, kalau kau ingin disukai orang-orang lain, caranya mudah. Katakan saja pada mereka, tentang hal-hal yang ingin mereka percaya!
Karena orang-orang ingin percaya bahwa menikah itu indah, katakan bahwa menikah itu indah. Karena orang-orang ingin percaya bahwa punya pasangan akan membuat bahagia, katakan bahwa punya pasangan akan membuat bahagia. Karena orang-orang ingin percaya bahwa pernikahan akan melancarkan rezeki, katakan bahwa pernikahan akan melancarkan rezeki. Lakukan itu terus menerus, dan cepat atau lambat kau akan menjadi sosok populer.
Sekali lagi, kalau kau ingin disukai orang-orang lain, cukup katakan hal-hal yang ingin mereka percaya! Karena orang-orang tidak percaya pada realitas, mereka hanya percaya pada yang ingin mereka percaya!
Sebaliknya, cara mudah untuk tidak disukai orang-orang lain adalah mengatakan hal-hal yang bertolak belakang dengan yang ingin mereka percaya!
Orang-orang ingin percaya bahwa menikah itu indah, dan kau mengatakan sebaliknya. Orang-orang ingin percaya punya pasangan membuat bahagia, dan kau menunjukkan bukti-bukti sebaliknya. Orang-orang ingin percaya pernikahan akan melancarkan rezeki, dan kau menampar kesadaran mereka dengan realitas sebaliknya. Meski yang kaunyatakan benar—bahkan bisa dibuktikan—orang-orang akan sulit (bahkan tidak) percaya. Alih-alih percaya, mereka bisa jadi akan membencimu, karena kau melukai sesuatu yang ingin mereka percaya!
Sudah melihat betapa mengerikan urusan ini? Orang tidak percaya pada realitas, mereka hanya percaya pada yang ingin mereka percaya!
Sekarang kita paham, kenapa ada banyak keparat yang sangat pintar membual tentang indahnya perkawinan, tentang kebahagiaan punya pasangan, tentang rezeki lancar setelah menikah. Bukan karena memang itu realitasnya, tapi karena mereka ingin kau menyukai mereka! Itulah yang saya sebut manipulasi. Para pembual itu tidak mengatakan kebenaran. Mereka hanya mengatakan yang ingin kaudengar.
Berdasarkan kenyataan itu pula, sekarang kita juga mulai paham, kenapa nyaris tidak ada orang yang berani jujur mengatakan realitas, khususnya terkait perkawinan. Jawabannya jelas, karena menyatakan bahwa perkawinan tidak seindah yang dibayangkan orang-orang, hanya akan membuatmu tidak populer!
Meski setiap hari ada berita perceraian, kasus-kasus kejahatan dalam rumah tangga, dan semacamnya, nyaris tidak ada yang buka mulut untuk mengatakan kebenaran terkait perkawinan. Karena rata-rata orang ingin populer, ingin disukai, bahkan ingin dipuja. Mengatakan kebenaran yang bertolak belakang dengan keyakinan banyak orang—dalam hal ini realitas pahit perkawinan—hanya akan menyebabkanmu ditinggalkan.
Jadi, mereka lebih suka berbohong dan berdusta dan terus membual bahwa pernikahan begitu indah dan membuat bahagia, karena hanya dengan kebohongan semacam itulah mereka bisa memastikan mereka tetap populer dan disukai. Karena itu pula, sekarang kita paham kenapa ada orang yang menikah dan hidupnya keblangsak serta menyedihkan, tapi tidak malu mengatakan bahwa menikah sungguh indah dan menyenangkan.
Ada banyak pembual di sekitar kita, yang tidak mengatakan hal-hal bernilai apa pun, selain hanya mengatakan hal-hal yang ingin didengar orang-orang lain. Ada banyak pendusta di sekitar kita, yang tidak menyatakan kebenaran apa pun, selain hanya mengatakan hal-hal yang ingin dipercaya orang-orang lain. Karena dengan cara itu, mereka dapat meraih rasa senang dan simpati orang-orang lain, sehingga menjadikan mereka populer. Sekali lagi, itulah yang saya sebut manipulasi.
Sandiaga Uno pasti tahu kenyataan itu. Karenanya, saya curiga, rencana menerbitkan Kartu Jakarta Jomblo sebenarnya bukan dimaksudkan demi kemaslahatan warga, melainkan lebih ditujukan untuk maksud, rencana, dan kepuasan dirinya.