Komunikasi sering menghadirkan “lubang”. Jika lubang tidak ditutup dengan benar, maka muncullah asumsi. Pemahaman keliru berasal dari situ.
Banyak orang meyakini sesuatu bukan berdasarkan fakta sebenarnya, melainkan berdasarkan asumsinya sendiri yang keliru, lalu terus keliru.
Asumsi tidak pernah benar, sampai dibuktikan sebaliknya.
Setiap asumsi membutuhkan klarifikasi dan verifikasi. Sayangnya, pemilik asumsi malas melakukannya, dan lebih suka mempercayai asumsinya.
Orang yang mengatakan, “Si Anu itu begini”. Sebenarnya, tidak pernah ada jaminan bahwa Si Anu memang benar “begini” selama itu hanya asumsi.
Banyak orang tersesat, keliru, salah paham, meyakini tanpa dasar, dan selama bertahun-tahun terus begitu. Hanya karena asumsi yang keliru.
Bahkan komunikasi yang dijawab dan dijelaskan pun kadang masih meninggalkan “lubang” untuk lahirnya asumsi. Apalagi yang tidak.
Asumsi berbahaya, karena menular. Juga merusak, karena korban salah-asumsi tidak pernah ditanya, hingga tidak bisa menjawab dan menjelaskan.
*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 2 Maret 2017.