Chat sex dengan pacar bukan kejahatan dan
tidak merugikan orang lain. Asal kau belum punya istri,
dan asal kau tidak sok alim atau sok suci.
Andai aku yang ketahuan chat sex, dan benar-
benar melakukannya, aku akan mengakui. Apa salahnya?
Bodo amat, wong paling chat sex ini!
—@noffret
Jika suatu hari—entah bagaimana asal usulnya—muncul berita di internet bahwa saya melakukan chat sex dengan seorang wanita, dan screenshot chat itu tampil sebagai bukti yang tak terbantah—dalam arti saya memang benar melakukan chat sex tersebut—lalu saya dipanggil polisi terkait beredarnya chat sex itu... apa yang akan saya lakukan?
Saya tidak perlu berpikir panjang untuk menjawab. Saya akan langsung mengakui!
Saya akan jujur mengakui, bahwa itu memang chat sex saya dengan seseorang. Wong paling chat sex saja, apa salahnya? No problem.
Kenapa saya bisa menganggap kasus bocornya chat sex sebagai “no problem”? Karena saya pikir itu memang bukan masalah!
Chat sex—sebagaimana aktivitas chatting umumnya—bukan kejahatan, dalam arti bukan pencurian apalagi perampokan, bukan pembunuhan atau perkosaan, pendeknya bukan sesuatu yang merugikan orang lain. Oh, well, saya melakukan chatting dengan pacar, dan dalam chatting itu terselip percakapan yang intim, apa salahnya? Wong paling chat sex ini!
Orang tidak bisa menyalahkan saya, hanya karena melakukan chatting dengan pacar, terlepas seintim apa pun isi chat kami! Wong kami sama-sama dewasa, dan kami pun melakukannya sebagai bagian keintiman kami berdua. Sekali lagi, di mana salahnya? Kalau kau saling rayu dengan pasanganmu, seintim apa pun rayu-rayuan kalian, saya tidak akan menyalahkan! Wong itu urusan pribadi kalian!
Jadi, sekali lagi, jika benar saya melakukan chat sex dengan seorang wanita, lalu isi chat sex itu beredar di internet dalam bentuk screenshot, dan saya dipanggil polisi untuk mempertanggungjawabkan hal itu, saya akan datang.
Persetan, saya akan datang! Wong paling urusan chat sex saja, kok bingung!
Kepada polisi yang memeriksa, saya akan berkata, “Mari kita persingkat saja, Pak Polisi, biar tidak buang-buang waktu. Saya tahu, Anda punya banyak urusan, dan saya juga sangat sibuk. Jadi, saya akan langsung saja mengakui, bahwa chat sex yang beredar itu memang benar saya yang melakukan. Saya melakukan chat sex itu dengan pacar, dan, Anda tahu, kami sudah sama-sama dewasa. So, ada masalah?”
Jika polisi—atau siapa pun—menyalahkan saya karena melakukan chat sex dengan pacar, terus terang saya akan tertawa.
Ini negara demokrasi. Orang bebas melakukan apa pun, asal tidak merugikan orang lain, termasuk tidak merugikan kucing, anjing, kerbau, ayam, kuda nil, genderuwo, atau kuntilanak! Saya dan pacar melakukan chat sex sebagai bentuk keintiman pribadi, dan kami sama-sama dewasa, dan melakukannya dengan kesadaran, dan tidak ada pihak lain yang dirugikan. Kalau itu dipermasalahkan, demokrasi macam apa yang kita junjung tinggi?
Mungkin polisi yang memeriksa akan mengatakan, “Sebenarnya, yang kami persoalkan—sehingga memanggil Anda ke sini—bukan chat sex yang Anda lakukan bersama pacar. Yang kami persoalkan adalah beredarnya rekaman atau transkrip chat sex Anda tersebut, sehingga meresahkan masyarakat.”
Jika menghadapi pernyataan seperti itu, saya akan menjawab, “Kalau begitu, Anda salah sasaran. Saya memang melakukan chat sex dengan pacar, tapi kami tidak pernah membocorkannya ke publik, apalagi sampai menyebarkannya di internet. Itu percakapan pribadi kami. Anda pikir kami gila, sampai menyebarkan percakapan pribadi yang memalukan semacam itu hingga masyarakat tahu? Ingat, kami sudah sama-sama dewasa, dan kami tentu memahami untuk menjaga privasi. Percakapan dalam chat sex itu termasuk area privasi kami, yang tentu akan kami jaga setengah mati. Kalau sekarang chat sex itu beredar hingga—menggunakan istilah Anda—meresahkan masyarakat, mestinya yang Anda buru adalah pihak yang membocorkan dan mengedarkan.”
Percakapan itu bisa saja berlanjut dan terus berlanjut. Pihak polisi yang memeriksa bisa saja bertanya banyak hal—terkait chat sex yang beredar—tapi yang jelas saya tidak akan terlalu pusing. Wong paling melakukan chat sex dengan pacar, apa salahnya?
Kenapa saya bisa menghadapi kasus chat sex itu dengan mudah, bahkan tanpa harus pusing? Latar belakangnya sederhana; karena saya selalu berusaha jujur menyatakan diri apa adanya!
Di blog, misalnya, saya mengatakan dengan jujur bahwa saya seorang perokok. Jadi, kalau sewaktu-waktu ada orang mendapati saya merokok, ya tidak masalah, karena saya memang perokok! Masih di blog, saya juga mengakui kadang menonton bokep. Kalau sewaktu-waktu saya kepergok nonton bokep, ya tidak masalah, karena nyatanya saya memang kadang nonton bokep. No problem.
Merokok, chat sex, juga nonton bokep, sebenarnya hal-hal biasa. Dalam arti, aktivitas-aktivitas semacam itu juga dilakukan banyak orang lain di sekeliling atau di sekitar kita. Akui sajalah, kita juga kadang-kadang melakukannya. Dan tidak perlu malu, karena kita memang manusia biasa. Yang kadang melakukan hal-hal baik, tapi juga kadang melakukan hal-hal “buruk”. Salah satunya melakukan chat sex dengan pacar. Tidak apa-apa. Itu manusiawi.
Yang menjadi masalah, kadang ada orang-orang sok suci yang menganggap diri mereka paling bersih, suci, mulia, tanpa dosa, bla-bla-bla, lalu ketahuan ternyata sama “mbeler” kayak kita-kita. Lhaaaah!
Meributkan rokok, menganggap rokok sumber penyakit, menuduh para perokok sebagai orang-orang tak bermoral, lalu—umpamakan saja—suatu hari dia ketahuan nyabu. Itu kan bangsat! Memaki-maki perokok seolah dirinya paling bener, belakangan malah ketahuan nyabu.
Atau, ada orang yang sok alim, suka meributkan orang pacaran, karena menurutnya pacaran adalah dosa dan bla-bla-bla, lalu—umpamakan saja—suatu hari dia ketahuan selingkuh. Itu juga bangsat! Meributkan orang pacaran seolah dia paling alim, belakangan malah ketahuan selingkuh.
Sama saja, ada orang meributkan bokep, menganggap penonton bokep sebagai “orang-orang munkar”, lalu—umpamakan saja—suatu hari dia ketahuan chat sex dengan wanita, dan meminta si wanita untuk mengirim foto telanjang. Itu piye, coba? Menuduh penonton bokep sebagai orang-orang rusak, tapi dia justru meminta wanita baik-baik untuk mengirimkan foto telanjangnya!
Orang-orang semacam itulah yang biasanya menghadapi masalah ketika “ketahuan belangnya”. Yaitu orang-orang yang berusaha mati-matian mengesankan diri mereka baik, benar, alim, bahkan suci—dan menganggap orang-orang yang tak seperti mereka salah dan berdosa—tapi belakangan terungkap kalau mereka ternyata sama seperti orang-orang lain. Yang juga bersalah dan berdosa.
Jadi, saya pikir, cara terbaik menjalani hidup bukan dengan cara mengesankan diri sebagai orang terbaik yang tidak mungkin melakukan kesalahan. Tapi berusaha menjalani kehidupan dengan baik, semampu yang kita bisa, dan tidak usah sibuk menyalah-nyalahkan orang lain. Karena, sebagaimana kita, orang lain juga manusia biasa. Mereka bisa salah, sebagaimana juga kita.
Cara paling mulia menjalani hidup juga bukan dengan cara mengesankan diri kita orang mulia yang tak mungkin jatuh dalam cela. Tapi berusaha menjalani kehidupan dengan cara mulia, semampu yang kita bisa, dan tidak usah sibuk merendah-rendahkan orang lain. Karena, sebagaimana kita, orang lain juga manusia biasa. Mereka bisa khilaf, sebagaimana juga kita.
Dan cara terpuji menjalani hidup bukan dengan cara mengesankan diri kita paling alim serta paling suci, yang tak mungkin berbuat dosa. Tapi berusaha menjalani kehidupan dengan terpuji, semampu yang kita bisa, dan tidak usah sibuk mengkafir-kafirkan orang lain. Karena mengadili manusia adalah tugas Tuhan, dan kita tidak perlu sok kuasa menggantikan peran Tuhan.
Jika kita bisa menjalani kehidupan dengan cara bersahaja—menyadari bahwa kita manusia biasa, yang bisa salah dan alpa—kita tidak akan panik apalagi sampai ketakutan, kalau sewaktu-waktu ketahuan melakukan kekhilafan atau kesalahan tertentu yang manusiawi. Bahkan, ketika kita ketahuan melakukan kesalahan atau kekhilafan, kita bisa berbesar hati mengatakan, “Terima kasih sudah mengingatkan. Aku memang kadang khilaf, seperti umumnya orang.” Sudah, tidak ada beban apa-apa.
Jadi, berhentilah bersikap seolah paling benar sendiri, paling alim atau paling suci sendiri, lalu sibuk menyalah-nyalahkan bahkan mengkafir-kafirkan orang lain. Karena bukan itu tugas manusia.
Tugas manusia adalah menjalani hidup sebaik dan semulia, semampu yang kita bisa, dan berusaha membenahi kekurangan yang kita miliki, atau kesalahan yang mungkin kita lakukan. Karena berbuat salah itu manusiawi. Tapi menganggap diri paling alim dan paling suci... oh, well, itu lebay!