Senin, 16 Desember 2019

Bidadari Bersayap Darah

“Kau tidak bisa menegakkan keadilan, Pak Hakim.
Biar aku saja.”
Riley North, Peppermint


Karier Hakim James Stevens berakhir mengerikan. Wajahnya babak belur dan berdarah, kedua tangannya dipaku pada meja, mulutnya tertutup lakban, sementara tubuhnya terlilit kabel yang terhubung dengan bom.

Di hadapannya, Riley North berdiri, menatapnya, dan berkata perlahan, “Berapa kali kau mengkhianati sumpahmu, Pak Hakim? Kau sangat korup, dan membuatku muak.”

Hakim James Stevens tak bisa menjawab, selain hanya menatap Riley North, dengan pandangan penuh amarah dan ketakutan.

Riley North melanjutkan, “Begini saja. Kalau kau bisa menyebutkan namaku, akan kubiarkan kau hidup. Kau bisa makan lewat selang selama hidupmu, tapi kau masih hidup. So, kau masih ingat namaku?”

Ekspresi Hakim Stevens bercampur antara tangis, amarah, dan ketakutan, tapi dia tidak bisa mengingat siapa nama wanita di hadapannya. Ada terlalu banyak nama, banyak kasus, banyak vonis, dan dia tidak ingat siapa wanita ini—salah satu orang yang pernah duduk di persidangannya—entah apa kasusnya. Persetan, Hakim James Stevens tidak ingat!

Riley North habis kesabaran. Maka dia pun pergi, dan membiarkan Hakim Stevens tetap terikat di kursinya, dengan kedua tangan masih terpantek pada meja, dan kabel bom masih melilit tubuhnya. Seratus meter dari rumah sang Hakim, Riley North meledakkan bom yang ia pasang di sana, dan tubuh Hakim James Stevens hancur bersama rumahnya yang meledak.

Pembantaian yang merupakan pembalasan dendam mengerikan itu berawal dari peristiwa lima tahun sebelumnya.

Lima tahun sebelumnya, Riley North adalah wanita bahagia, dengan sebuah keluarga. Hidupnya tidak mewah, tapi dia memiliki suami dan anak perempuan yang dicintainya. Mereka tinggal di rumah kontrakan yang nyaman. Chris North, suaminya, punya usaha bengkel, sementara Riley bekerja kantoran. Anak mereka masih kecil, dan baru sekolah di SD.

Chris North memiliki teman, bernama Mickey. Suatu hari, Mickey mendengar akan ada transaksi narkoba yang akan dilakukan anak buah Diego Garcia. Mickey mengajak Chris untuk merampok transaksi itu, agar bisa mendapat uang banyak dalam waktu singkat.

Semula, Chris sempat tertarik dengan tawaran itu, tapi belakangan ia membatalkan. “Aku tidak mau, risikonya tak sepadan,” ujar Chris lewat ponsel.

Kabar mengenai rencana Mickey untuk merampok ternyata terdengar oleh Diego Garcia, bos mafia yang dijuluki “Si Pemenggal” karena kekejamannya. Dia senang memenggal kepala siapa pun yang dianggapnya layak, dan dia tidak punya maaf. Termasuk pada Mickey... dan Chris North.

Mickey memang batal merampok. Tapi Diego Garcia tak punya maaf. Jadi, Mickey lalu diculik dan dipenggal, karena “punya rencana merampok Diego Garcia”. Kalau kau berurusan dengan Si Pemenggal, bahkan baru berencana saja bisa membuatmu terbunuh.

Nasib serupa dialami Chris North, suami Riley. Meski dia sudah membatalkan dan tidak mau terlibat, tapi Diego Garcia juga tidak punya maaf untuknya. Bos mafia itu bahkan mengirim tiga anak buahnya untuk membantai keluarga Chris di hadapan umum, agar “menjadi pelajaran bagi yang lain”.

Dan itulah yang lalu terjadi.

Malam itu, Chris dan Riley sedang berusaha menggembirakan anak perempuan mereka, yang sedang berulang tahun. Mereka ada di tempat karnaval, dan mereka berfoto-foto, juga menikmati es krim. Di tengah keramaian, tiba-tiba, senjata memberondong tubuh ketiganya.

Riley North, yang berjalan terpisah dari suami dan anaknya, sempat melihat wajah orang-orang yang memberondongkan senjata dari dalam mobil. Tapi dia ikut tertembak. Bedanya, dia mampu bertahan hidup, sementara suami dan anaknya tewas.

Sejak itu, kehidupan Riley North menjadi jejak darah dan kenangan penuh luka.

Setelah sembuh dari perawatan di rumah sakit, Riley North diminta datang ke kantor polisi, untuk mengenali para tersangka yang membunuh suami dan anaknya. Riley bisa mengenali mereka, dan tiga penjahat itu pun diajukan ke pengadilan.

Seiring bergulirnya kasus, seorang pengacara—yang menjadi pembela anak buah Diego Garcia—mendatangi rumah Riley North, dan menawarkan uang suap. Ia meminta agar Riley tidak melanjutkan penuntutan, “dan kau bisa melanjutkan hidup baru dengan kenangan baru,” kata sang Pengacara.

Riley North marah, dan mengusir pengacara itu. Tapi sang Pengacara menantang, “Kaupikir bisa mendapatkan keadilan? Tidak akan! Kami telah membayar semuanya!”

Ucapan itu terbukti di pengadilan. Ketiga tersangka diajukan ke muka Hakim, dan Riley North menjadi saksi. Tapi pengacara bisa membela kliennya dengan meyakinkan, sementara hakim telah disuap. Hasil akhirnya, pengadilan yang dipimpin Hakim James Stevens itu memutuskan ketiga tersangka tidak bersalah.

Riley North marah, mengamuk, dan Hakim Stevens memutuskan untuk mengirim wanita itu ke Program Kesehatan Mental—semacam karantina untuk orang-orang yang dianggap tidak waras.

Seharusnya semua sandiwara itu berakhir dengan tenang. Pengacara telah menang membela klien-kliennya, Hakim James Stevens telah berhasil menyelesaikan pengadilan dan mengantongi uang suap, Riley North akan menghabiskan hidupnya di tempat pengasingan, dan Diego Garcia tetap menjadi bos mafia yang tak tersentuh. Dia tidak cuma mencengkeramkan kuku di pengadilan, tapi juga di kepolisian.

Sayangnya, Riley North berhasil kabur... dan perjalanan menuju pembalasan dendam mengerikan dimulai.

Waktu itu, Riley North sudah tak punya apa pun. Suami dan anaknya telah tewas, dan dia juga diusir dari rumah kontrakannya karena tak bisa membayar. Sejak itu, orang-orang melupakannya, dan Diego Garcia—beserta semua yang terlibat dalam kasusnya—melanjutkan hidup dengan tenang.

Lima tahun kemudian, Riley North kembali muncul, dan kali ini telah menjadi pribadi yang jauh berbeda. Rupanya, selama menghilang, dia melatih kemampuan fisiknya habis-habisan, dari perkelahian di jalanan sampai pertarungan di atas ring. Dan perempuan yang semula lemah itu kini berubah menjadi petarung tangguh yang mematikan.

Tepat lima tahun sejak menghilang, Riley North mendatangi para pembunuh suami dan anaknya, dan membantai mereka satu per satu. Kemudian, ia menggantung ketiga mayat penjahat itu dengan tubuh terbalik di tempat karnaval, tempat dulu suami dan anaknya terbunuh.

Setelah itu, ia mendatangi pengacara yang dulu mencoba menyuapnya, dan si pengacara belakangan ditemukan tewas di kolam renang rumahnya. Lalu Hakim Stevens tewas dengan tubuh terlilit bom, dan jasadnya tercerai-berai tak karuan.

Tapi dendam Riley North belum selesai. Ia tahu, akar kejahatan yang menimpanya adalah Diego Garcia, sang bos mafia yang tak tersentuh hukum. Karenanya, seperti yang ia katakan pada Hakim Stevens, “Kau tidak bisa menegakkan keadilan, Pak Hakim. Biar aku saja.”

Riley North memulai pembalasan dendamnya dengan mengacaukan bisnis narkoba Diego Garcia. Ketika upaya itu dianggapnya kurang memuaskan, ia pun langsung mendatangi markas Diego Garcia, dan mengamuk serta membantai semua yang ada di sana.

Kali ini, sang bos mafia harus berhadapan dengan bidadari bersayap darah, dengan amarah dari neraka, yang tak bisa dihentikan apa pun... sebelum dendamnya terbalas.

....
....

Hollywood sangat tahu cara membuat film tentang balas dendam, dan menempatkan penontonnya pada posisi dilematis. Seperti dalam Peppermint, yang kisahnya saya uraikan tadi. Kita tahu, yang dilakukan Riley North adalah kesalahan, tapi kita juga seperti dipaksa untuk memaklumi—bahkan memaafkan—yang ia lakukan.

Kita bisa membayangkan posisi Riley North—seorang wanita lemah yang harus berhadapan dengan pengadilan korup, hakim korup, pengacara korup—yang menghasilkan ketidakadilan baginya. Suami dan anaknya tewas, sementara penjahat yang jelas membunuh mereka dibiarkan lepas begitu saja, karena uang membungkam keadilan. Apa yang harus dilakukannya?

Mungkin Riley North bisa pasrah menerima kenyataan, dan menyabarkan diri bahwa semua itu cobaan, ujian, atau sebut apa pun. Lalu dia berusaha melupakan yang telah terjadi, dan berusaha meneruskan kehidupan dengan luka hati yang entah kapan akan sembuh.

Tapi Riley North juga punya pilihan lain—setidaknya, Hollywood memungkinkannya begitu. Alih-alih pasrah dan menerima nasib ketidakadilan yang menikam hidupnya, Riley North memilih untuk membalas dendam. Bukan hanya membalas dendam pada para pembunuh suami dan anaknya, tapi juga membalas dendam pada pengadilan yang korup dan sistem yang korup.

Itulah yang dia lakukan, dan dia benar-benar melakukannya. Setelah semua bajingan tewas bersimbah darah, dia ditangkap, dan tentu akan diajukan ke pengadilan, untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya.

Tetapi, seorang polisi yang baik hati menemuinya, dan berbisik, “Kau membunuh banyak sekali orang jahat. Kau memberangus bandar narkoba raksasa, dan mengungkap pengkhianat di kantorku. Tak ada polisi yang kukenal yang bisa melakukan semua yang kaulakukan. Well... mari kita katakan saja, sebagian kita tidak ingin keadaan jadi seperti ini.” Lalu, diam-diam, dia menyerahkan kunci borgol yang mengikat tangan Riley North.

Riley North lepas. Ia kembali hilang. Tak ada yang tahu ke mana dan di mana dia sekarang.

 
;