Rabu, 11 Desember 2019

Urusan Menantu dan Mertua

"Mapan" untuk menikah itu relatif. Tidak harus kaya-raya.
Intinya adalah bisa menghidupi keluarga secara layak
dan tidak berkekurangan, serta tidak merepotkan orang lain
(orangtua, saudara, mertua, dan seterusnya).
@noffret


Salah satu “humor dewasa” yang populer di Amerika adalah tentang Nabi Adam. Humor itu sederhana, dan bunyinya cuma seperti ini, “Pria paling beruntung di dunia adalah Nabi Adam, karena dia tidak punya mertua.”

Dulu, pertama kali mendengar humor itu, saya sama sekali tidak paham maksudnya. Boro-boro paham maksudnya, saya bahkan tidak paham di mana lucunya. Kenyataannya, itu “humor untuk orang dewasa”, dalam arti hanya dapat dimengerti orang yang benar-benar telah dewasa. Lebih spesifik, orang dewasa yang telah menikah.

Karena saya belum menikah, saya pun tidak terlalu mengerti bagaimana hubungan antara menantu dan mertua. Namun, gara-gara terpicu oleh “humor” tersebut, saya pun tertarik untuk mengetahui lebih mendalam urusan menantu dan mertua. Karena banyak teman saya yang telah menikah, saya pun banyak belajar dari mereka, dan perlahan-lahan saya memahami kenapa Nabi Adam adalah pria paling beruntung di dunia.

Urusan menantu-mertua adalah urusan rumit, kata teman-teman saya yang telah menikah. Tingkat “kerumitan” yang terjadi bahkan kadang lebih rumit dibanding teori relativitas atau Big Bang. Teori relativitas atau Big Bang setidaknya bisa diuraikan dengan cukup mudah. Tapi urusan menantu dengan mertua tidak sesederhana itu.

Yang disebut “menantu” bisa pria dan bisa wanita, karena ada orangtua yang punya menantu pria, dan ada pula orangtua yang punya menantu wanita. Begitu pula istilah “mertua” bisa merujuk pada orangtua pihak suami maupun orangtua pihak istri. Yang aneh, banyak orang—pria maupun wanita—tidak cocok dengan mertuanya. Padahal mereka menikah dengan anak mertua. Kalau sama anaknya cocok, kenapa sama orangtuanya tidak cocok?

Dari pembelajaran selama ini, saya mulai menyadari sesuatu yang sebelumnya tidak saya pahami. Hal-hal semacam ini jarang—bahkan nyaris tidak pernah—ditulis dengan gamblang di buku mana pun. Karenanya, saya mempelajari hal ini melalui kehidupan langsung yang saya amati, yang saya dengar, yang saya perhatikan.

Hampir semua orangtua sangat membanggakan anaknya, pria maupun wanita. Orangtua mana pun senang membangga-banggakan putra atau putri mereka, terlepas apakah anak-anak yang mereka banggakan itu memang layak dibanggakan. Yang menjadi masalah, orangtua sering kali terjebak pada ilusinya sendiri. Hal itu mulai tampak jelas, ketika sang anak akan menikah.

Ketika seorang anak akan menikah dengan orang yang dipilihnya, orangtua akan memastikan bahwa calon menantunya benar-benar layak. Tentu saja itu perlu dilakukan, karena bagaimana pun mereka ingin anaknya mendapat pasangan yang tepat. Yang menjadi masalah, orangtua kadang menetapkan tingkat “kelayakan” yang tak masuk akal untuk calon menantu, akibat terjebak ilusinya sendiri terhadap anaknya.

Yang punya anak laki-laki, menginginkan dapat menantu cantik, pintar masak, pintar dandan, dan sebagainya, dan sebagainya, dan lain-lain, dan lain-lain. Yang punya anak perempuan, menginginkan dapat menantu ganteng, kaya, dapat dibanggakan, dan sebagainya, dan sebagainya, dan lain-lain, dan lain-lain. Jika sang menantu ternyata tidak seperti itu, mereka akan mengharapkan menantunya seperti itu.

Itulah, pikir saya, akar dan awal mula hubungan tidak sehat antara mertua dan menantu.

Bisa jadi, sang menantu adalah wanita baik budi, yang sangat menghormati suami, yang penuh kasih pada sesama, seorang mbakyu yang dirindukan pria mana pun. Tetapi, jika sang menantu tidak memenuhi kriteria yang ditetapkan si mertua, tetap saja sang menantu dianggap “tidak cukup layak”. Alasannya bisa macam-macam, dari tidak bisa berdandan sampai tidak bisa memasak. Kalau mertua mau mencari kekuranganmu, itu sangat mudah bagi mereka.

Atau, bisa jadi, sang menantu adalah pria baik budi, yang sangat menyayangi istri, dan memiliki kepribadian mulia serta bijaksana. Tetapi, jika sang menantu tidak memenuhi kriteria yang ditetapkan si mertua, tetap saja sang menantu dianggap “tidak cukup layak”. Alasannya pun bisa macam-macam, dari belum punya rumah, tidak punya mobil, penghasilan kurang memadai, sebut apa pun. Kalau mertua mau mencari kelemahanmu, itu sangat gampang bagi mereka.

Ada cerita teman saya, sebut saja Adrian, yang layak diceritakan. Dia punya kakak perempuan, sebut saja Dewi. Dewi menikah dengan seorang pria baik, sebut saja Diki. Adrian menghormati Diki sebagai kakak ipar, juga karena kepribadian Diki yang memang baik. Adrian bahkan bersyukur kakak perempuannya menikah dengan pria seperti Diki. Tetapi, rupanya, ibu Adrian tidak berpikir seperti itu.

Ketika menikah, Diki belum punya rumah. Dewi tidak mempersoalkan hal itu, toh nyatanya Diki waktu itu sedang berusaha mendapatkan rumah yang cocok. Setelah menikah, Dewi mengikuti Diki ke luar kota, di tempat kerja Diki, dan hidup di sebuah rumah kontrakan. Mereka pasangan bahagia, yang saling mencintai.

Sesekali, Dewi pulang ke rumah orangtuanya, bersama Diki sang suami, kalau pas Diki libur kerja karena tanggal merah. Berdasarkan cerita Adrian yang dituturkan ke saya, orangtuanya (yang artinya juga mertua Diki) kerap menyindir soal rumah setiap kali anak dan menantunya datang. Biasanya, Diki atau Dewi akan menjawab, kalau mereka sedang berusaha mencari rumah yang lokasinya cocok, dekat dengan tempat kerja.

Lalu, suatu hari, pasangan itu memperoleh rumah yang diinginkan, sehingga tidak mengontrak seperti sebelumnya. Apakah masalah kemudian selesai? Terkait dengan mertua, urusannya belum selesai!

Setiap kali lebaran, Dewi pulang ke rumah orangtuanya, bersama Diki sang suami. Biasanya, Diki membawa mobil kantor, dan dengan mobil itu ia mengantarkan keluarga istrinya bersilaturrahmi ke tempat para famili (dalam hal ini famili dari pihak istri). Adrian juga ikut bergabung menumpang mobil yang dibawa Diki, dan dia bersyukur Diki mau melakukan hal itu—meminjam mobil kantor, demi memudahkan urusan keluarga Adrian bersilaturrahmi. Tetapi, rupanya, bagi ibu Adrian (yang artinya mertua Diki), itu belum cukup.

Adrian kadang-kadang mendapati ibunya menyindir Diki agar punya mobil sendiri, agar setiap lebaran tidak perlu meminjam mobil kantor, dan sebagainya, dan sebagainya. Sindiran itu memang sangat halus, kata Adrian, tapi ia tahu itu sindiran, dan bisa jadi membuat Diki tertekan.

Adrian mengatakan kepada saya, “Terus terang, aku sangat tidak nyaman dengan sikap ibuku terhadap Diki. Mungkin Diki bukan lelaki kaya-raya, tapi setidaknya dia telah membuktikan sebagai orang baik, bertanggung jawab, dan menyayangi keluarga. Saat lebaran, dia meminjam mobil kantornya, membantu mengantarkan kami ke mana-mana, bagiku itu sudah cukup. Tidak semua menantu mau melakukan hal itu untuk keluarga istrinya. Tidak seharusnya ibuku membebani Diki dengan sindiran-sindiran semacam itu.”

Sebenarnya, Adrian ingin menegur ibunya, tapi dia juga bingung bagaimana caranya. Kenyataannya Adrian belum menikah, hingga tidak yakin bagaimana menangani urusan semacam itu dengan baik.

Selain kisah Adrian, saya juga pernah mendapatkan kisah yang terkait dengan urusan semacam itu. Kali ini tentang seorang teman lelaki, sebut saja Gani.

Dulu, Gani pernah menjalin hubungan dengan seorang perempuan, sebut saja Irma. Sesekali, Irma menemui Gani di rumah, dan artinya bertemu dengan ibu Gani. Sebenarnya, menurut Gani, Irma adalah perempuan yang baik, dan sangat mengasihinya. Orangtua Irma juga sangat menyayangi Gani. Fakta bahwa Gani jatuh cinta kepada Irma, karena mengetahui kalau Irma adalah pilihan yang tepat. Tapi ternyata tidak begitu bagi ibu Gani.

Meski tidak menunjukkan sikap terang-terangan, Gani tahu ibunya tidak menyukai sosok Irma. Apa penyebabnya? Tidak jelas, tidak pernah jelas. Setiap kali membahas Irma, ibu Gani kadang mengatakan kepada Gani bahwa Irma begini, bahwa Irma begitu, dan seterusnya, dan lain-lain, yang intinya dia tidak suka kepada Irma.

Sampai kemudian, Gani dan Irma putus.

Sampai bertahun-tahun setelah itu, Gani belum juga mendapatkan pengganti Irma. Kenyataannya dia memang belum menemukan perempuan lain yang bisa membuatnya jatuh cinta. Jadi, meski sering ditanya “kapan kawin” oleh lingkungannya, Gani tetap bergeming, karena kenyataannya dia memang belum menemukan pasangan yang tepat.

Suatu hari, Gani bertemu seorang perempuan yang membuatnya jatuh cinta—sosok sederhana yang bisa dibilang berbeda dengan Irma. Jika Irma suka berpakaian terbuka, perempuan yang ini berbusana tertutup. Jika Irma senang bicara, perempuan yang ini tampak kalem. Jika Irma terlihat lincah, perempuan yang ini terkesan pemalu. Bagi Gani, dia perempuan yang tepat.

Tapi rupanya ibu Gani masih belum sepakat dengan pilihan anaknya. Dia tetap menunjukkan sikap tidak suka pada perempuan itu, meski alasannya juga tidak jelas; seperti dulu dia tidak menyukai Irma. Intinya, ibu Gani tidak suka!

Gani berkata kepada saya, “Mungkin ibuku terlalu tinggi menilaiku, sehingga dia menginginkan menantu yang istimewa, yang ia pikir benar-benar tepat untukku yang ia anggap istimewa. Yang tidak pernah dilakukan ibuku adalah mempertanyakan pada dirinya sendiri; apakah aku benar-benar istimewa, ataukah hanya istimewa dalam bayangannya?”

“Aku mengakui, aku memiliki banyak kekurangan,” lanjut Gani. “Karena kesadaran itu pula yang menjadikanku tidak berharap macam-macam mengenai calon pasanganku. Selama aku jatuh cinta kepadanya, dan dia mau hidup bersamaku, dalam suka maupun dalam duka, bagiku sudah cukup. Tapi ternyata ibuku tidak berpikir seperti itu. Mungkin dia menginginkan menantu yang bisa dibanggakan, tanpa menyadari apakah anaknya sendiri memang layak dibanggakan.”

Saya terdiam lama mendengar penuturan jujur itu.

Sebagai lajang, Gani memang tergolong mapan. Dia sudah punya rumah sendiri, dan pekerjaannya pun memberi penghasilan yang mencukupi. Dengan penghasilannya pula, Gani membiayai urusan rumahtangga ibunya, dari bayar listrik sampai tetek bengek lainnya. Mungkin, karena hal itu, ibu Gani terlalu tinggi menilai anaknya sendiri, sehingga terjebak dalam ilusi yang ia ciptakan sendiri.

Sampai sekarang, Gani belum menikah. Untuk hal itu, dia mengatakan, “Jika aku menikah dengan perempuan yang tidak disukai ibuku, aku khawatir istriku akan terbebani dengan hal itu. Memang aku telah punya rumah sendiri, dan kami bisa hidup sendiri tanpa bersentuhan langsung dengan ibuku. Tapi siapa yang bisa menjamin kalau kelak ibuku tidak akan mencampuri urusan rumah tangga kami?”

....
....

Dua cerita di atas hanya sebagian kecil dari yang pernah saya dengar dan ketahui mengenai urusan menantu dan mertua. Di luar dua kisah itu, ada banyak cerita lain, yang juga dituturkan langsung para pelakunya, namun saya terlalu risih untuk menuliskannya di sini. Yang jelas, terkait dengan hal ini, ada seorang teman yang telah menikah, dan dia memberi nasihat yang mungkin layak kita dengar.

Berikut ini nasihatnya, “Kalau kau menikah, usahakan untuk hidup terpisah dari orangtua. Jangan hidup seatap dengan mereka. Bahkan, kalau bisa, hiduplah di tempat yang relatif jauh dari orangtuamu maupun orangtua pasanganmu. Bangunlah rumah tangga sendiri dengan pasanganmu.

“Jika rumah tanggamu menyenangkan, ceritakan dan tunjukkan pada orangtua kalian, agar mereka ikut senang. Tetapi jika sebaliknya, diam saja, dan jangan ceritakan apa pun pada mereka. Urusan rumah tanggamu adalah urusanmu dengan pasanganmu, bukan dengan orangtuamu atau orangtua pasanganmu. Fakta bahkan kalian menikah, artinya kalian memang telah siap menanggung apa pun yang terjadi dalam pernikahan, dan itu urusanmu dengan pasanganmu.”

....
....

Memang, tidak semua mertua pasti “jahat” pada menantunya, sebagaimana tidak semua menantu “tidak cocok” dengan mertua. Tetapi bahwa hal-hal semacam itu ada, itu fakta. Sebagaimana perkawinan. Bahwa ada pasangan yang bahagia dalam perkawinan, itu jelas. Tetapi bahwa ada pula pasangan yang menderita dalam perkawinan, itu juga fakta.

Ada mertua-mertua yang sangat baik pada menantu mereka. Sebegitu baik, hingga kasih sayang mereka bisa dibilang seperti kepada anak kandung sendiri. Beruntunglah orang-orang yang memiliki mertua seperti itu, karena artinya mereka memiliki dua orangtua, dua ayah, dan dua ibu.

Karenanya, mungkin, orang paling beruntung di dunia bukan Nabi Adam, melainkan orang yang dicintai pasangannya setengah mati, dan disayangi mertua sepenuh hati.

 
;