Selasa, 21 Agustus 2018

10 Jawaban Mematikan untuk Pertanyaan “Kapan Kawin?”

Lain kali, kalau ada orang yang masih nekat bertanya kapan kawin 
kepadaku, aku akan menjawab, "Kamu kok mengurusi selangkanganku. 
Emang selangkanganmu kenapa?"


Di antara “masalah sosial” yang kerap dihadapi para lajang atau orang-orang yang belum menikah, adalah pertanyaan “kapan kawin?” yang biasa dilontarkan para idiot, imbisil, dan orang-orang yang mengalami keterbelakangan mental.

Memang, ada kalanya orang-orang waras—dalam arti bukan idiot, bukan imbisil, juga bukan orang dengan keterbelakangn mental—sesekali bertanya “kapan kawin?” kepada kita, dan mereka menanyakan hal itu sebagai bentuk ketulusan atau kepedulian. Mereka juga hanya bertanya sesekali, bukan terus menerus. Biasanya, orang-orang semacam itu adalah orang-orang terdekat kita, seperti bibi, tante, sahabat, atau semacamnya.

Kalau bibi atau tante kita bertanya dengan simpatik, “Nak, kenapa sampai sekarang belum menikah?”, atau bertanya secara langsung, “Kapan kamu akan menikah?”, kita bisa menjawab pertanyaan tulus itu dengan jawaban atau respons yang sama tulus.

Misal, kita bisa menjawab, “Doakan saja, Tante, semoga dalam waktu dekat ini.” Atau, kita bahkan bisa menjawab secara terbuka, “Sebenarnya, saya sudah ingin menikah, tapi Tuhan tampaknya belum mempertemukan dengan jodoh yang tepat.”

Mereka orang-orang terdekat kita, dan bertanya kepada kita semata-mata karena perhatian, karena ketulusan. Karena mereka bertanya dengan tulus, kita pun wajib menjawab dengan sama tulus.

Tetapi, di luar orang-orang tulus tersebut, ada orang-orang yang hobi bertanya “kapan kawin?” kepada kita, dan mereka mengajukan pertanyaan itu bukan karena perhatian atau ketulusan, melainkan karena berbagai hal lain—karena ketololan, karena kegatelan, karena berharap semua orang sama seperti dirinya, atau bahkan karena kedengkian.

Oh, well, di sekeliling kita banyak orang yang telah menikah, dan mereka menyesal diam-diam. Mereka menyesali pernikahannya, karena merasa “tertipu”—dengan berbagai sebab dan alasan. Tapi mereka tidak bisa mengakui kenyataan itu. Karena malu. Juga karena tidak enak pada pasangan serta lingkungan. Mereka adalah orang-orang yang tidak bahagia menjalani kehidupan—sebegitu tidak bahagia, hingga sangat ingin dianggap bahagia.

Ingat-ingatlah selalu kenyataan penting ini. Perbedaan fundamental antara orang bahagia dan tidak bahagia adalah... orang yang tidak bahagia akan berusaha membuktikan bahwa dia bahagia. Sedangkan orang yang benar-benar bahagia tidak peduli pendapat orang lain!

Sebegitu penting kenyataan ini, hingga saya merasa perlu mengulangi dengan cetakan tebal. Orang yang tidak bahagia akan berusaha membuktikan kalau dia bahagia. Sedangkan orang yang benar-benar bahagia tidak peduli orang lain menganggapnya bahagia atau tidak! Karena kebahagiaan tidak butuh pembuktian!

Karena itu, orang-orang yang tidak bahagia dalam perkawinan mereka sangat mudah dikenali. Misalnya, mengunggah foto dengan pasangan di media sosial, sok mesra, lalu menambahinya dengan kalimat mengejek orang lain yang belum menikah. Misalnya, “Yang jomblo jangan baper, ya.”

Itu contoh bagaimana orang yang tidak bahagia dalam perkawinannya, ingin diakui dan dianggap bahagia. Mereka ingin membuktikan—pada diri sendiri dan kepada orang lain—bahwa mereka bahagia. Fakta bahwa mereka ingin membuktikan kalau mereka bahagia, justru menunjukkan kalau mereka sebenarnya tidak bahagia! Karena, sekali lagi, kebahagiaan tidak butuh pembuktian!

Perhatikan sekelilingmu, amati kawan-kawanmu, di dunia nyata maupun di dunia maya. Oh, well, kau bahkan bisa mengamati (introspeksi) dirimu sendiri. Orang yang benar-benar bahagia terlihat santai, tidak mengusik orang lain, dan menjalani kehidupan tanpa usaha merendahkan (dalam contoh mudah; mengejek) orang lain. Orang yang bahagia tidak punya keinginan mengusik orang lain. Itu hukum psikologi paling tua di dunia!

Sebaliknya, orang yang tidak bahagia, menjalani kehidupan dengan pola sebaliknya. Mereka gersang di dalam, tidak merasakan kebahagiaan. Akibatnya, mereka bukan menikmati kehidupannya sendiri (karena memang tidak menyenangkan), tapi berusaha mengusik kehidupan orang lain.

Terkait orang yang tidak bahagia dalam pernikahan, modus yang biasa digunakan untuk menutupi ketidakbahagiaan adalah suka mengejek orang-orang lain yang belum menikah. Oh, hell, jangan tertipu dengan gaya mereka!

Mereka sebenarnya gersang di dalam—menyesali keputusannya menikah, tapi tidak bisa mengakui kenyataan itu terang-terangan. Karena kenyataan itu pula, mereka pun mendengki pada orang-orang yang belum menikah, yang dapat menjalani kehidupan dengan lebih bebas dan bahagia. Sebagai kompensasi, mereka pun mengejek dan merendahkan orang-orang yang belum menikah, dengan suka nyinyir, “Kapan kawin?”

Pertanyaan itu—“kapan kawin?”—sebenarnya cara mereka menutupi ketidakbahagiaan yang mereka rasakan, sambil berusaha menunjukkan kalau mereka bahagia.

Ketika mereka bertanya “kapan kawin?”, sebenarnya mereka ingin mengatakan, “Aku lebih baik darimu, karena aku sudah punya pasangan, dan kamu belum.” Itu upaya mereka untuk membuktikan—pada diri sendiri dan orang lain—bahwa mereka bahagia. Dan kalau orang berusaha membuktikan dirinya bahagia, artinya dia tidak bahagia!

Jadi, sebenarnya kasihan sekali orang-orang yang suka nyinyir “kapan kawin?”, yang ada di sekeliling kita. Mereka sebenarnya orang-orang tidak bahagia, yang diam-diam menyesali perkawinannya, tapi tidak bisa apa-apa. Kasihan, tapi juga menjengkelkan!

Mereka menjalani kehidupan tidak bahagia, lalu ingin membuktikan bahwa mereka bahagia, sambil berharap kita juga menjalani kehidupan tidak bahagia seperti mereka! Itu, kan, bangsat! Sudah rusak, keblangsak, masih berusaha merusak!

Ada kalanya, orang-orang imbisil semacam itu perlu diberi pelajaran, agar sedikit sadar. Selama ini, mungkin ada banyak orang yang kebingungan saat ditanya “kapan kawin?” oleh keparat-keparat itu. Jadi, berikut ini, saya tuliskan sepuluh jawaban mematikan untuk menjawab pertanyaan busuk mereka.

Saya sebut “jawaban mematikan”, karena jawaban-jawaban berikut ini akan membungkam mulut mereka, dan—kita berharap—mereka mulai menyadari masalahnya sendiri, bukannya terus mengusik kehidupan orang lain. Kalian bisa mengingat-ingat jawaban berikut ini, kapan pun ditanya “kapan kawin?”

1. Kapan kawin?

Sebenarnya, siapakah yang menjalani hidupku? Aku... atau kamu? Kamu punya hidup yang kamu jalani, sebagaimana aku juga punya hidup yang kujalani. Aku tidak mengusik hidupmu—misal menyuruh-nyuruhmu bercerai—tapi kenapa kamu suka mengusik hidupku? Jalani saja hidupmu dengan baik, sebagaimana aku akan berusaha menjalani hidupku dengan baik. Soal kapan aku kawin, itu urusanku, bukan urusanmu.

2. Kapan kawin?

Kamu ibuku, pacarku, kakakku, atau bagaimana? Apakah kamu merasa menghidupiku selama ini? Kenapa kamu merasa punya hak untuk mencampuri dan menentukan hidupku? Soal kapan aku kawin, atau bahkan aku akan kawin atau tidak, itu urusanku. Kenapa kamu yang repot?

3. Kapan kawin?

Terus terang, aku tidak tahu kapan aku akan kawin. Karena kawin adalah urusan jodoh, dan jodoh—sebagaimana maut serta rezeki—adalah urusan Tuhan. Jadi, tolong kamu tanyakan pada Tuhan, kapan aku akan kawin. Dan sebelum kamu mendapatkan jawaban dari Tuhan, tutuplah cocotmu.

4. Kapan kawin?

Kamu tahu perbedaan orang yang bahagia dan sengsara dalam perkawinannya? Orang yang bahagia menikmati perkawinannya, dan tidak suka mengusik hidup orang lain. Sebaliknya, orang yang sengsara dan menyesali perkawinannya, sangat suka mengusik kehidupan orang lain, di antaranya suka bertanya “kapan kawin?”. Jadi, kamu ingin melihatku sengsara sepertimu, atau bagaimana?

5. Kapan kawin?

Orang yang berani menyuruh orang lain melakukan sesuatu, juga harus berani bertanggung jawab. Kamu menyuruh-nyuruhku cepat kawin dengan suka bertanya “kapan kawin?”. Kalau aku menuruti permintaanmu, dan kawin sekarang, lalu perkawinanku sengsara, apakah kamu bersedia bertanggung jawab? Kalau sekadar mbacot tanpa tanggung jawab, anjing pun bisa!

6. Kapan kawin?

Kamu bertanya kepadaku, kapan aku akan kawin. Agar adil, izinkan aku bertanya kepadamu, “Apakah perkawinanmu bahagia?” (Perhatikan mukanya, dan kita akan melihat mukanya langsung berubah).

7. Kapan kawin?

Jangan membohongi dirimu sendiri. Aku tahu, hidupmu sengsara, perkawinanmu menyedihkan, dan kamu diam-diam menyesali perkawinanmu. Tapi kamu tidak bisa mengatakan itu terang-terangan, kan? Kamu malu, atau mungkin tidak enak, jika mengatakan kenyataan yang kamu hadapi.

Jadi, kamu bertanya-tanya “kapan kawin?” untuk menutupi perasaanmu sendiri, karena itu caramu untuk merasa lebih baik. Kalau boleh menyarankan, jauh lebih baik kamu benahi perkawinanmu, daripada mengusik kehidupan orang lain dengan suka bertanya “kapan kawin?”

8. Kapan kawin?

APA? KAMU INGIN MELIHATKU SENGSARA, MENDERITA, DAN MENYESAL DIAM-DIAM SEPERTIMU? KAMU INGIN AKU CEPAT TUA DAN MENYEDIHKAN SEPERTIMU? OH, HELL, YANG BENAR SAJA! KEBLANGSAK KOK NGAJAK-NGAJAK!

9. Kapan kawin?

Aku akan kawin, sialan! Tapi bukan karena disuruh atau ditanya-tanya kamu. Aku akan kawin semata-mata karena kehendak, pilihan, dan kesadaranku sendiri. Jadi, kenapa tidak kamu tutup saja cocotmu yang menyedihkan itu?

10. Kapan kawin?

Begini, persetan. Mungkin selama ini tidak ada yang memberitahumu, bahwa hidup adalah soal pilihan. Begitu pula soal kawin. Karenanya, apakah aku akan kawin atau tidak, atau apakah aku akan cepat kawin atau tidak, itu pilihanku.

Sebagaimana kamu memilih buru-buru kawin, aku juga punya hak untuk memilih tidak cepat-cepat kawin. Ini aturan yang fair—hidup adalah soal pilihan, dan masing-masing bertanggung jawab pada pilihan yang kita ambil. Jadi, tutuplah cocotmu yang busuk, dan berhentilah bertanya kapan-fucking-kawin!

 
;