Jumat, 10 Agustus 2018

Mariah Carey, Jerry Yan, dan Trauma Masa Lalu

Sebagai orang yang merasa sering terhakimi dan sulit menemukan 
orang lain yang bisa memahami, aku menyadari pelajaran penting 
dalam hidup: Kita tidak menjalani kehidupan orang lain. Karenanya, 
kita tidak bisa merasa lebih tahu tentang kehidupan orang lain.


Kita tentu mengenal Mariah Carey, penyanyi terkenal yang telah menghasilkan album laris dan lagu-lagu yang dihafalkan jutaan orang di dunia. Dari kesuksesannya sebagai penyanyi, Mariah Carey tentu memiliki kekayaan luar biasa, dan memang begitu kenyataannya. Tetapi, ada fakta pahit yang mungkin jarang diketahui dunia, terkait Mariah Carey.

Selama bertahun-tahun, meski telah sukses dan kaya-raya, Mariah Carey tidak pernah mau mengeluarkan uang untuk membeli baju baru! Alasannya? Trauma masa lalu!

Jauh sebelum dikenal sebagai penyanyi, Mariah Carey menjalani kehidupan yang amat miskin dan pahit. Selama waktu-waktu itu, jangankan membeli baju baru, bahkan untuk makan sehari-hari pun keluarganya kesusahan. Karenanya, bersama kemiskinan yang membelit, Mariah Carey hanya mampu membeli baju-baju bekas. Kenyataan itu telah dimulai sejak ia kecil hingga tumbuh besar. Mariah Carey tidak pernah menikmati bagaimana rasanya memakai baju baru.

Belakangan, tanpa disadari, pengalaman pahit itu lalu menjadi pisau yang menikam jantung kesadaran Mariah Carey, dengan begitu dalam. Ketika ia berhasil menjadi penyanyi sukses yang mampu menghasilkan uang sangat banyak, tikaman trauma dari masa lalu tidak mampu ia lepaskan. Ia tidak pernah mau membeli baju baru, meski sebenarnya mampu.

Pada awal kariernya, Mariah Carey tampil dengan baju-baju bekas, meski kondisi baju bekas itu tentu jauh lebih baik dibanding baju bekas yang ia pakai ketika masih miskin. Dunia tidak pernah menghiraukan itu, karena orang-orang tentu tidak sempat berpikir apakah baju yang dikenakan Mariah Carey tergolong baru atau bekas. Mereka hanya menatap sosok Mariah Carey, dan menikmati suaranya.

Seiring makin berkembang kariernya, Mariah Carey mulai dituntut untuk berpenampilan lebih baik, dan itu artinya dia harus membeli baju baru. Tapi Mariah Carey bergeming. Dia tidak mau membeli baju baru. Setiap kali diminta manajernya agar mengeluarkan uang untuk membeli baju baru, Mariah Carey teringat masa lalunya, ketika mengalami kehidupan yang amat pahit, bersama kelaparan dan kekurangan, dan dia merasa berat jika harus mengeluarkan uang untuk “sekadar” membeli baju baru.

Yang dialami Mariah Carey adalah sebentuk trauma yang sulit dipahami orang lain. Itu seperti orang yang pernah kecemplung sumur, lalu trauma dan ketakutan setiap kali melihat sumur—sebentuk ketakutan yang sulit dipahami orang lain.

Menghadapi sikap Mariah Carey, akhirnya sang manajer mengubah taktik. Dia tidak lagi memaksa Mariah Carey untuk membeli baju baru, tapi sang manajer yang membelikannya. Setelah itu, Mariah Carey tinggal mengenakan baju-baju yang disediakan manajernya.

Hal itu berlangsung bertahun-tahun, dan dunia tak pernah tahu. Baru belakangan Mariah Carey “punya keberanian” datang ke toko atau butik, membeli baju baru yang ia lakukan sendiri.

Sebagian orang mungkin bisa mencibir Mariah Carey, atau bahkan menganggapnya kampungan. Tapi begitulah perbedaan antara “yang mengalami” dan “yang tidak mengalami”.

Orang yang tidak pernah kecemplung sumur, sering kali memang sulit memahami trauma serta ketakutan orang yang pernah kecemplung sumur. Orang yang tidak pernah mengalami luka, bisa mudah menjadikan trauma dan luka orang lain sebagai bahan bercanda, tanpa menyadari betapa dalam luka yang mereka rasakan.

Contoh lain menyangkut trauma masa lalu adalah Jerry Yan, aktor yang sangat terkenal setelah membintangi drama Meteor Garden. Dia juga mengalami trauma masa lalu atas kehidupan pahit yang dijalaninya.

Dalam drama Meteor Garden maupun dalam kehidupan nyata, Jerry Yan adalah sosok pemarah, kasar, dan mudah meledak. Hal itu dinyatakan sendiri oleh Jerry Yan. Kepada Jayne Star, dia mengatakan secara jujur, “Aku sangat pemarah, dan mudah marah oleh apa pun.”

Jauh sebelum terkenal sebagai aktor Taiwan, Jerry Yan menjalani kehidupan miskin dan berkekurangan. Ia dibesarkan oleh ibunya. Hidup miskin, berkekurangan, serta hanya memiliki orang tua tunggal, menjadikan Jerry Yan sangat rendah diri. “Aku tumbuh dengan rasa percaya diri yang amat minim,” ujarnya. Dan kenyataan itu membuatnya lebih memilih menjauh dari teman-temannya.

Sebegitu rendah kepercayaan dirinya, waktu itu, sampai dia tidak pernah percaya setiap kali ada teman wanita yang mencoba mendekati. “Aku berpikir mereka hanya ingin mengganggu dan mengolok-olokku.”

Titik balik kehidupan pribadi Jerry Yan mulai terjadi, ketika dia diminta tampil di depan publik, untuk suatu acara di sekolah. Waktu itu, dengan segala perasaan rendah diri yang dialami, Jerry Yan sama sekali tidak berani, bahkan ketakutan, ketika diminta tampil di depan orang banyak. Tetapi, belakangan, dia mengatakan, “Dari situlah aku mulai bertekad, dan merasa perlu untuk membuktikan diri.”

Jerry Yan juga mencoba aktif di sekolah, dengan bergabung ke klub basket. Dia bisa bermain dengan baik, tetapi belum mampu mengelola amarahnya yang mudah meledak. “Setiap kali bertanding basket dan kalah, aku akan marah,” ujarnya.

Sikap kasar dan mudah marah tidak hanya ditunjukkan Jerry Yan di sekolah, tapi juga di rumah. Saat ibunya jatuh sakit, dia bukan menenangkan atau mencoba membantu apa yang bisa dilakukan, tetapi—seperti yang dikatakannya sendiri—“aku justru memarahinya, dan bertanya kepadanya kenapa tidak pergi ke dokter.”

Belakangan, Jerry Yan menyadari bahwa ibunya tidak mampu ke dokter, karena kondisi kemiskinan mereka. Tetapi, waktu itu, bersama pribadinya yang rendah diri dan frustrasi menghadapi hidup, Jerry Yan tidak mampu berpikir bijak. Yang dia tahu hanyalah marah. Marah pada hidup, marah pada dunia, marah pada takdir, marah pada orang tua, marah pada diri sendiri, marah pada segala kemiskinan dan kepahitan yang merusaknya.

Dengan sikap kasar dan mudah marah semacam itu, Jerry Yan pun sulit menjalin hubungan dengan orang lain, dan memang begitu kenyataannya. Orang-orang hanya tahu bahwa Jerry Yan mudah marah, tapi tidak ada satu pun dari mereka yang bertanya, “Kenapa Jerry Yan mudah marah?”

Empati bukan sifat alami manusia.

Bertahun-tahun kemudian, ketika akhirnya ia mewujud sebagai aktor paling terkenal di Taiwan, dan jutaan orang mengidolakannya, Jerry Yan tetap belum mampu melepaskan dirinya yang dulu. Hanya tampilan fisiknya yang berubah... tapi tidak pribadi di dalamnya.

Karenanya, meski telah sukses dan kaya-raya, Jerry Yan lebih memilih menjalani kehidupan sederhana—bahkan amat sederhana untuk ukurannya. Di kehidupan nyata, dia jauh dari kesan mewah dan glamor. Sementara aktor-aktor lain tinggal di rumah megah, dia hidup di rumah sederhana. Sementara aktor-aktor lain biasa mengendarai mobil mahal, dia lebih suka naik sepeda atau mengendarai mobil lamanya yang tidak bisa dibilang bagus. Padahal, dia salah satu aktor berpenghasilan tertinggi di Taiwan.

Kondisi yang dialami Jerry Yan tak jauh beda dengan kondisi yang dialami Mariah Carey. Mereka sama-sama ditikam trauma masa lalu, sebentuk trauma yang sulit dipahami orang lain. Sebagian orang mengatakan bahwa kemiskinan adalah anugerah tersembunyi. Tetapi, kenyataannya—bagi sebagian lain—juga menjadi racun yang merusak manusia dari dalam, hingga menimbulkan efek kerusakan yang sangat... sangat mengerikan.

Bahkan meski telah terkenal, sukses, kaya-raya, dan menjalani kehidupan berkelimpahan, Jerry Yan belum bisa melepaskan masa lalu seutuhnya. Ia mengaku sering kesulitan saat ingin menyatakan perasaan kepada orang-orang yang ia sayangi. “Aku sulit mengekspresikan perasaanku pada seseorang.” Karena yang ia tahu hanya marah... dan marah. Latar belakang itu pula yang menjadikannya sulit menjalin hubungan dekat dengan seseorang.

....
....

Kemampuan berempati bukan kemampuan alami—itu sesuatu yang dipelajari—karena manusia memang tidak lahir dengan kemampuan berempati pada orang lain. Sebaliknya, kemampuan menghakimi juga bukan kemampuan alami, karena manusia tidak lahir dengan kemampuan menghakimi orang lain. Tetapi, ironisnya, kebanyakan manusia lebih tahu dan lebih mampu menghakimi, daripada berempati.

Ada yang ironis dalam kehidupan kebanyakan kita. Bahwa kita rupanya lebih rajin belajar menghakimi, dan bukan belajar berempati. Akibatnya, keahlian kita yang paling tampak dalam menghadapi manusia lain adalah kemampuan menghakimi. Padahal, sebagaimana kemampuan menghakimi yang butuh dipelajari, kemampuan berempati juga bisa dipelajari.

Saat menghadapi orang mudah marah, misalnya, kita lebih mudah menghakiminya “bangsat pemarah”, daripada mencoba berempati dan menanyakan, “kenapa dia mudah marah?”

Saat menghadapi orang yang tampak suka menyendiri, kita lebih mudah menghakiminya “orang sombong yang tak mau bergaul”, daripada mencoba berempati dan menanyakan, “kenapa dia lebih suka menyendiri?”

Ada banyak moment yang memungkinkan kita untuk menghakimi atau untuk berempati, tetapi—ironisnya—kita lebih sering memilih untuk menghakimi. Padahal, kita tidak tahu seperti apa yang dirasakan Mariah Carey saat tersiksa setiap kali melihat baju baru, kita tidak tahu seperti apa yang dirasakan Jerry Yan saat menyaksikan teman-temannya mudah bergaul, sebagaimana kita tidak tahu yang dirasakan orang-orang lain di sekeliling hidup kita.

 
;