Rabu, 25 Juli 2018

Bocah yang Belum Pernah Kecemplung Sumur

Setiap orang memiliki luka, trauma, dan ketakutannya sendiri, dan 
kita bisa menelusurinya hingga ke ujung neraka yang paling luka.


Apa perbedaan bocah yang pernah kecemplung sumur, dengan bocah yang tidak/belum pernah kecemplung sumur? Mari saya ceritakan.

Minggu lalu, saya datang ke rumah Fatih, seorang teman. Kami berencana pergi ke suatu tempat, dan sore itu saya menjemput ke rumahnya. Ketika saya datang, Fatih sedang mempersiapkan barang-barangnya, jadi saya menunggu di depan rumah sambil merokok.

Di depan rumah Fatih—menyeberang jalan kampung—ada tanah kosong, dan di tanah kosong itu terdapat sumur tua yang sudah tak terpakai. Semula, tanah kosong itu tertutup pagar. Namun, karena sudah lapuk, pagar bambu di sana rubuh akibat hujan yang terus turun. Jadi, tanah kosong itu pun kini terbuka, dan mengundang rasa penasaran anak-anak di sana.

Namanya anak-anak, mereka tertarik pada apa saja, termasuk pada sumur tua. Sore itu, waktu saya berdiri di depan rumah Fatih, sekelompok anak memasuki tanah kosong, dan tampak mendekati sumur tua di sana. Sebagian ada yang melongok-longokkan kepala ke sumur, entah apa yang mereka cari.

Pada waktu itulah, muncul seorang laki-laki dari salah satu rumah, dan dia tampak panik serta meneriaki anak-anak agar menjauh dari sumur. Ekspresinya benar-benar ngeri dan ketakutan waktu melihat anak-anak di dekat sumur. Jadi, selama anak-anak itu belum menjauh dari sumur, laki-laki tadi terus meneriaki dengan panik, meminta bocah-bocah itu segera menjauh.

Setelah anak-anak menjauh dari sumur, laki-laki yang usianya mungkin 50 tahun itu tampak lega. Dengan kikuk, dia menengok ke arah saya, yang berdiri tidak jauh darinya. Lalu dia menjelaskan, “Saya selalu ngeri tiap lihat anak-anak di dekat sumur. Saya khawatir mereka jatuh.”

Dalam hati, saya membatin kalau saya juga khawatir. Tapi saya santai-santai saja, tidak sampai teriak-teriak panik seperti dia.

Laki-laki itu melanjutkan, “Dulu, waktu seusia anak-anak tadi, saya pernah kecemplung sumur.”

Saya bengong.

Dia lalu menceritakan, “Saya mengejar layang-layang putus, waktu itu. Seperti umumnya anak-anak lain, saya begitu semangat mengejar, berlari menuju ke tempat layang-layang mungkin akan jatuh. Saya tidak sempat memperhatikan tempat saya berlari, dan saya kecemplung sumur yang kebetulan ada di sana.”

“Dari siang sampai malam, saya di dalam sumur,” lanjutnya. “Saya baru ditemukan orang-orang, setelah orang tua saya panik karena saya tidak pulang ke rumah. Dibantu para tetangga, mereka mencari-cari saya, dan—di kedalaman sumur—saya mendengar mereka memanggil-manggil nama saya. Maka saya pun menyahut, dan mereka mendapati saya di dasar sumur. Saya diangkat dari sana, dan sejak itu saya trauma... sampai sekarang.”

Penjelasan itu pun membuat saya akhirnya mengerti kenapa dia tadi terlihat sangat panik, saat melihat anak-anak kecil mendekati sumur. Tentu dia bereaksi berdasarkan trauma yang dialami atau dirasakannya—sesuatu yang tidak saya alami. Karena dia pernah kecemplung sumur, sementara saya tidak pernah kecemplung sumur.

Sebenarnya, saya bermaksud melanjutkan percakapan dengan laki-laki tadi, ingin tahu lebih lanjut perasaan trauma yang dialaminya. Tapi Fatih kemudian keluar rumah dengan membawa tas, dan mengisyaratkan kami untuk berangkat. Percakapan saya dengan laki-laki tadi pun terputus.

Trauma, mungkin istilah yang populer. Meski begitu, hanya orang yang pernah mengalami yang benar-benar tahu arti trauma sesungguhnya. Seperti orang tadi, yang pernah kecemplung sumur. Dia tahu betul apa yang dirasakannya, ketakutannya, kekawatirannya—sesuatu yang mungkin akan sulit dipahami orang-orang lain yang belum pernah kecemplung sumur dan harus mendekam di dalamnya.

Kalau kita sama-sama pernah kecemplung sumur, dan mengobrolkan trauma atas peristiwa yang kita alami, tentu kita akan “nyambung” dan sama-sama paham yang dibicarakan. Tapi kita akan sulit “nyambung” jika hanya saya yang pernah kecemplung sumur, karena kau tidak akan memahami yang saya ceritakan. Bahkan, bisa jadi, kau akan enteng mengatakan, “Paling kecemplung sumur saja kok trauma.”

Trauma akibat kecemplung sumur—semengerikan apa pun—mungkin memang terdengar konyol. Jadi, mari kita lihat bentuk trauma lain, yang benar-benar saya alami. Kali ini bukan “sekadar” kecemplung sumur, tapi sesuatu yang mempertaruhkan nyawa.

Seperti yang ditulis di sini, saya punya “kebiasaan buruk” dalam mengatasi stres berat, yaitu ngebut di jalanan dengan motorsport. Yang saya maksud “ngebut” adalah melaju dengan kecepatan 150-160 kilometer per jam. Saat motor melaju secepat itu, kau akan merasakan ban-ban motormu seperti melayang—tidak menyentuh aspal—suasana sekelilingmu akan terasa sunyi, sementara yang terdengar hanya raungan mesin motor yang sangat membius. (Tolong jangan bandingkan suara motor hasil bobokan knalpot!)

Ketika menikmati sensasi semacam itu, saya merasakan pikiran begitu ringan, melayang, hingga stres terasa hilang.

Tapi itu bukan puncaknya.

Yang paling saya sukai ketika melakukan hal semacam itu adalah menerobos di antara dua bus atau dua truk yang sedang melaju berdampingan.

Jadi, ketika di depan saya melaju ada dua bus atau dua truk yang sedang melaju berdampingan—dengan celah yang bisa dilewati di tengah—saya akan melaju kencang di celah itu, tepat di antara dua raksasa. Aksi gila semacam itu hanya butuh waktu 1 detik, tapi 1 detik yang sangat berbahaya. Karenanya, begitu saya “lolos” dari celah itu, rasanya sangat... sangat menyenangkan.

Karena sangat menyenangkan, saya pun suka melakukannya. Sering kali, di jalanan yang lebar, ada dua bus yang melaju kencang dan berdampingan. Di antara mereka melaju, sering ada celah dengan lebar sekitar 1 meter. Saat melihat hal itu, saya pun memacu kecepatan, menerobos ke tengah-tengah mereka, dan “lolos” dengan kecepatan tinggi. Aksi gila semacam itu sempat menjadi hobi saya di jalanan.

Tetapi, seperti yang disebut tadi, aksi semacam itu sangat berbahaya. Dan, suatu hari, nahas terjadi.

Ketika saya sedang menerobos di antara dua truk yang berdampingan, dengan maksud untuk lolos seperti biasa, dua truk itu tiba-tiba saling mendekat—yang artinya mempersempit celah di tengah mereka—tepat ketika saya ada di celah itu!

Hasilnya bisa ditebak. Motor saya hancur. Dan saya masuk rumah sakit.

Itu menjadi awal trauma bagi saya, khususnya terkait menerobos di antara dua truk atau dua bus yang sedang melaju. Sejak itu, saya tidak pernah berani lagi melakukan hal serupa. Bahkan meski saya sangat yakin bisa melewatinya pun, saya tidak pernah berani mencoba. Setiap kali melihat dua bus atau dua truk berjalan berdampingan, dan di tengah mereka ada celah yang bisa dilewati, saya akan memilih untuk melaju di belakang mereka.

Saya trauma. Setiap kali akan mencoba menerobos melewati celah, saya selalu dihantui ketakutan, kalau-kalau celah di antara dua bus atau dua truk itu tiba-tiba menyempit seperti yang pernah saya alami, dan saya harus mengalami kejadian tragis seperti dulu lagi. Saya benar-benar trauma.

Trauma itu berlangsung hingga beberapa tahun. Sampai lama, tidak pernah sekali pun saya mencoba lagi. Tetapi, seiring waktu, keberanian saya mulai tumbuh kembali. Dan ketika saya mencoba melakukannya lagi, saya benar-benar mulai dari nol. Artinya, saya memulainya lagi dengan yang ringan-ringan—misal menerobos dua mobil yang sedang melaju pelan, yang saya yakini tidak akan berbahaya.

Dan proses itu membutuhkan waktu sangat lama. Jika sebelumnya saya hanya merasakan keasyikan, kini juga merasakan kekhawatiran. Kekhawatiran kalau-kalau celaka, ketakutan kalau-kalau dua kendaraan yang diterobos ternyata menyempit ketika saya ada di tengah mereka. Proses untuk membuang kekhawatiran dan ketakutan itulah yang sulit dan lama. Dan hal semacam itu hanya dapat dipahami oleh mereka yang pernah mengalami trauma.

Selama waktu-waktu itu—ketika trauma belum pulih—saya selalu ngeri setiap kali melihat orang menerobos dua bus atau dua truk yang sedang melaju berdampingan. Saya ngeri, karena khawatir orang itu mengalami yang saya alami. Saya ketakutan kalau-kalau melihat orang itu dihimpit dua truk atau dua bus yang sedang diterobosnya.

Perasaan itulah yang mungkin dialami laki-laki tetangga Fatih, ketika dia tampak sangat khawatir bahkan panik, ketika melihat anak-anak kecil mendekati sumur—suatu ketakutan dan kekhawatiran yang timbul akibat trauma. Laki-laki itu mungkin belum sembuh dari traumanya, karena dia masih kecil ketika mengalami peristiwa itu, hingga ketakutan yang dialaminya mengendap ke bawah sadar.

Sebagian orang mengalami trauma, dengan berbagai sebab dan latar belakang berbeda. Di antara mereka ada yang mampu pulih, namun ada pula yang masih dihantui trauma yang dialami. Kita mungkin tidak bisa membayangkan yang mereka alami, karena trauma orang per orang bersifat subjektif. Namun, setidaknya, kita bisa menghadapi mereka dengan empati.

 
;