Minggu, 15 Juli 2018

Anak-anak di Thailand

Dua belas anak yang terjebak di gua Thailand
telah memberi pelajaran, bahwa kalau kau mencoba
melanggar aturan, seluruh dunia bisa ikut kerepotan.

*Sengaja baru kukatakan,
setelah mereka semua bisa diselamatkan.
@noffret


Ada perbuatan yang sebenarnya mudah dan sederhana, tapi sulit dilakukan. Setidaknya, ada banyak orang yang sulit dan tidak mampu melakukannya. Yaitu mengakui dan menyadari kesalahan.

Itu mudah. Sebegitu mudah, hingga seharusnya anak kecil pun bisa. Tapi mengakui dan menyadari kesalahan tampaknya bukan kemampuan alami manusia. Ia membutuhkan pembelajaran untuk mampu melakukan. Saya bisa tahu hal itu, karena sepanjang hidup telah melakukan banyak kesalahan, dan saya tahu bagaimana pahitnya menyadari kesalahan agar tidak mengulangi.

Bahkan sampai saat ini pun, saya masih sering melakukan kesalahan. Dari kesalahan sepele seperti sikap yang keliru saat berinteraksi dengan orang asing (atau belum terlalu kenal), sampai kesalahan yang cukup berat terkait kehidupan pribadi. Setiap kali menyadari, saya berusaha memaksa diri sendiri untuk mengakui bahwa itu kesalahan. Tujuannya agar saya belajar dari kesalahan itu, dan tidak sampai mengulangi.

Well, kasus yang juga bagus untuk dibahas terkait hal ini adalah 12 anak di Thailand yang tempo hari terjebak di dalam gua, hingga berhari-hari. Kasus itu menarik perhatian dunia, hingga beberapa negara ikut turun tangan mengirimkan bantuan. Dari bantuan peralatan sampai bantuan pasukan. Kasus itu, bagi saya, bukan hanya menarik dari sisi kemanusiaan, tapi juga menarik untuk melihat sifat manusia.

Dua belas anak, yang tergabung dalam klub sepak bola Moo Paa (Wild Boars), bersama pelatihnya (berusia 25 tahun), terjebak di dalam Gua Tham Luang. Semula, mereka bermaksud merayakan ulang tahun salah satu anak, yang hari itu berulang tahun ke-16. Mereka jalan-jalan naik sepeda, hingga memutuskan untuk memasuki Gua Tham Luang.

Gua Tham Luang di Thailand sebenarnya bukan tempat yang relatif aman, karena rentan mengalami masalah, khususnya saat hujan turun. Karenanya, di sana ada papan peringatan yang secara jelas memberitahu, “JANGAN MASUK AREA INI, JIKA HUJAN AKAN TURUN”.

Anak-anak dan pelatihnya tahu, cuaca sedang tidak bersahabat, dan hujan akan turun. Tapi mereka melanggar aturan di sana. Bukannya berhenti dan mematuhi peringatan tersebut, mereka malah nekat melanggar aturan.

Akibatnya sangat mengerikan. Begitu mereka sampai di dalam gua, hujan turun. Dan mereka terperangkap di dalamnya, tak bisa keluar, sampai berhari-hari. Karena hujan yang turun, satu-satunya jalan keluar mereka tergenang air, dan mereka tidak bisa ke mana-mana.

Untung, penjaga gua datang ke sana, dan mendapati beberapa sepeda, tapi tidak ada orangnya. Sebagai penjaga gua, dia waswas, dan berusaha mencari para pemilik sepeda di dalam gua. Instingnya memberitahu, ada orang-orang terperangkap di dalam gua akibat melanggar peraturan, dan dia pun memberitahu polisi setempat mengenai kemungkinan itu.

Polisi turun tangan, mulai melakukan pencarian, dan kisah selanjutnya sudah kalian tahu. Peristiwa itu bahkan menjadi topik pembicaraan hingga beberapa hari di dunia.

Ketika kasus itu sedang menjadi bahan pembicaraan banyak orang, ada sebagian warganet yang mencoba mengingatkan bahwa terjadinya kasus tersebut karena anak-anak di Thailand melanggar peraturan. Saya ingin berbaik sangka, bahwa tujuan mereka menyebutkan fakta itu sebagai upaya mengingatkan. Tapi rupanya banyak yang marah, dan meminta agar tidak usah mengungkit-ungkit kesalahan.

Fakta bahwa anak-anak itu bersalah—melanggar peraturan hingga terjebak di dalam gua—bagaimana pun harus dikemukakan, seiring kita tetap berusaha membantu mereka dari musibah. Menyebutkan kesalahan mereka, bukan berarti kita tidak mau peduli dengan nasib mereka—itu dua hal yang berbeda.

Bahwa anak-anak di Thailand terjebak di dalam gua, itu fakta. Karena faktanya seperti itu, maka—sebagai sesama manusia—kita punya kewajiban untuk membantu, semampu yang kita bisa. Kalau pun tidak bisa membantu secara langsung, setidaknya kita bisa membantu berdoa, semoga mereka selamat dan bisa keluar dengan kondisi baik-baik saja.

Tetapi, bagaimana pun, kita tidak bisa menutup mata atas kesalahan mereka, lalu bersikap seolah mereka sama sekali tidak bersalah. Anak-anak itu telah melakukan kesalahan!

Kita perlu mengingatkan kesalahan mereka, agar anak-anak itu menyadari bahwa musibah itu terjadi karena perbuatan mereka yang nekat melanggar aturan. Pertama, agar mereka belajar dari kesalahan. Kedua, agar mereka tidak mengulangi kesalahan serupa. Ketiga, agar kita belajar dari kesalahan mereka. Dan keempat, agar kita semua tetap menjadi manusia yang manusiawi.

Manusia bisa berbuat salah, dan kesadaran itulah yang menjadikan manusia tetap manusiawi. Ini, sekali lagi, bukan berarti kemudian kita lepas tangan dan tidak mau membantu orang lain, yang kebetulan kena musibah akibat kesalahan mereka sendiri.

Di jalan raya, kita pasti pernah, atau bahkan sering, mendapati remaja yang naik motor ugal-ugalan. Sudah tidak pakai helm, knalpotnya bising tak karuan, lalu berkendara seenaknya. Karena ugal-ugalan, remaja itu mengalami kecelakaan—misal menabrak sesuatu hingga jatuh terkapar.

Sebagai manusia, bisa jadi kita membatin, “Modyar! Naik motor seenaknya sendiri, dan sekarang kecelakaan. Rasain!”

Perasaan semacam itu manusiawi. Kita melihat orang naik motor seenaknya, tanpa khawatir ulahnya dapat membahayakan diri sendiri dan orang lain. Kita tahu dia salah. Karenanya, ketika dia mengalami kecelakaan, ada semacam kepuasan karena akhirnya dia mendapat pelajaran. Tetapi, ketika melihatnya kecelakaan, dan terkapar berdarah, apakah kita akan meninggalkannya begitu saja?

Menyadari bahwa dia bersalah, adalah satu hal. Tapi menolongnya, sebagai sesama manusia, adalah hal lain. Karena itu, meski kita tahu dia bersalah, kita tetap turun tangan dan menolongnya. Dan menolong dia bukan berarti kita menganggapnya tidak bersalah. Dia tetap bersalah! Tetapi, ketika pihak yang jelas-jelas bersalah kebetulan tertimpa musibah, kita punya kewajiban moral untuk menolong. Itulah yang menjadikan kita tetap manusiawi.

Begitu pula dengan anak-anak yang terjebak di gua Thailand. Mereka bersalah, karena melanggar aturan. Meski begitu, sebagai sesama manusia, kita tetap perlu menolong—atau setidaknya membantu mendoakan keselamatan—mereka.

Ketika pasukan penyelamat pertama dari Thailand akhirnya menemukan anak-anak itu dari atas gua, sang pemimpin pasukan berseru pada anak-anak yang terjebak di bawah gua, “Ada berapa orang kalian?”

Anak-anak di bawah menjawab, “Tiga belas!”

“Tiga belas orang, bagus sekali! Kami akan menyelamatkan kalian, banyak orang yang datang untuk menyelamatkan kalian!”

Perhatikan percakapan itu. Sang penyelamat mengatakan, “Tiga belas orang, bagus sekali! Kami akan menyelamatkan kalian.”

Ungkapan “bagus sekali” tentu tidak dimaksudkan untuk mengatakan, “Bagus sekali, sialan! Kalian terjebak di gua gara-gara melanggar aturan, dan sekarang kami yang kerepotan!”

Ungkapan “bagus sekali” dimaksudkan untuk membesarkan hati anak-anak itu, bahwa mereka selamat semuanya, dan mereka tak perlu khawatir, karena orang-orang akan segera menolong. Itu upaya manusiawi yang ditujukan kepada sesama manusia. “Tak perlu khawatir, Nak. Kita memang kadang berbuat salah, dan semoga kau belajar dari kesalahanmu. Omong-omong, kami akan mengeluarkanmu dari sini.”

Well, sekarang anak-anak itu telah keluar semuanya dari dalam gua, dan mereka selamat tanpa kurang apa pun. Kita semua patut bersyukur. Bukan hanya karena anak-anak itu berhasil keluar dengan selamat, tapi juga karena menyaksikan bahwa kita masih manusia yang manusiawi. Yang menyadari bahwa anak-anak itu bersalah, tapi tetap berusaha menolong saat mereka tertimpa musibah.

Semoga anak-anak itu belajar dari kesalahannya, untuk tidak mengulangi, sebagaimana kita bisa belajar dari pengalaman (kesalahan) mereka. Karena pengalaman adalah guru yang baik tapi brutal. Ia memberi ujian terlebih dulu, baru memberi pelajaran. Susahnya, pelajaran yang diberikan oleh pengalaman kadang merepotkan banyak orang.

 
;