Kebenaran hanya bisa dipahami, dihayati, dan dirasakan oleh mereka yang mempunyai kemauan, kapasitas, dan potensi untuk itu. Mereka yang tak punya kapasitas dan potensi itu bakal salah paham, salah tafsir, tersinggung, dan tak bakal memahami.
Di Ukraina, ada seorang gadis bernama Katya Koren yang menjadi korban “kekeliruan” sekelompok anak lelaki. Ceritanya, gadis berusia 19 tahun ini mengikuti kontes kecantikan yang ia harapkan dapat menjadi batu loncatannya dalam merintis karir sebagai fotomodel. Sebagai remaja yang mulai dewasa, Katya Koren menyukai tren dan suka berpenampilan modis—dan ia bermimpi dapat memasuki dunia glamour sebagaimana umumnya anak-anak muda.
Di dalam kontes itu, Katya tidak berhasil menjadi juara pertama—juri memberikan tempat di peringkat ketujuh. Bagi Katya, itu bukan soal, karena masih ada waktu lain kali, dan ia berharap dapat menjadi pemenang jika ada kesempatan lagi. Namun ternyata kesempatan gadis itu sudah habis. Hanya berselang satu hari semenjak mengikuti kontes kecantikan itu, dia lenyap.
Hilangnya Katya Koren sempat mengundang perhatian publik di Ukraina, karena waktu itu namanya sedang banyak dibicarakan sehubungan dengan kontes yang diikutinya. Keluarga dan masyarakat mencari-cari keberadaannya, dan kepolisian pun diterjunkan untuk membantu mencari kemana hilangnya perempuan itu. Satu minggu kemudian, Katya Koren berhasil ditemukan, namun sudah menjadi mayat.
Jasad perempuan ini ditemukan di sebuah hutan, dalam keadaan mengenaskan, dan masyarakat Ukraina pun gempar. Sebegitu gemparnya, sampai-sampai harian New York Daily News menjadikan berita itu sebagai salah satu headline pada 31 Mei 2011 kemarin.
Investigasi yang dilakukan polisi kemudian menemukan fakta bahwa terbunuhnya Katya Koren karena disiksa—dilempari batu sampai mati. Ketika para pelaku kejahatan itu tertangkap, lagi-lagi masyarakat gempar. Ternyata, pelaku kejahatan biadab itu dilakukan oleh tiga anak laki-laki, rata-rata berusia 16 tahun.
Kenapa tiga anak laki-laki yang masih bau kencur itu tega-teganya membunuh seorang perempuan yang tidak bersalah apa-apa pada mereka…? Bihal Gaziev, salah satu pelaku kejahatan itu, menyatakan dengan jumawa, “Kami merajam Katya Koren karena dia telah melanggar hukum agama, yakni mengikuti kontes kecantikan yang memamerkan aurat.”
Halooow…? Apakah ini terdengar konyol…???
Mungkin memang terdengar konyol, tetapi “kekonyolan” itu telah menewaskan seorang anak perempuan. Bihal Gaziev bersama konco-konconya mungkin membaca buku agama yang tidak dipahaminya, dan kemudian mengamalkan isinya secara ngawur karena ketidaktahuan dan ketidakpahamannya. Sekali lagi, mungkin ini konyol. Tetapi kekonyolan itu telah merampas hidup seorang manusia.
Setengah bulan sebelum kasus itu terjadi di Ukraina, ada kasus tak jauh beda yang terjadi di Indonesia, tepatnya di Bengkulu. Anak lelaki yang terlibat dalam kasus ini bernama Febi Yulianda. Siswa kelas VIII SMP Negeri 2 Kabupaten Kepahiang ini masih berusia 14 tahun, tapi dia ditangkap dan ditahan polisi karena… merakit bom!
Bom yang dirakit anak ini juga bukan main-main—dia merakit bom buku, sesuatu yang saat ini sedang menjadi pusat perhatian kepolisian di seluruh Indonesia. Bom buku itu disembunyikan di rumahnya, namun ditemukan oleh ayahnya. Si ayah membawa “buku” itu ke polisi, dan akhirnya terkuak bahwa pembuatnya adalah anaknya sendiri.
Bagaimana bisa seorang anak berusia 14 tahun sampai berpikir membuat bom buku…???
Hal itu berawal ketika Febi membaca sebuah buku berjudul “Mengungkap Berita Besar dalam Kitab Suci”. Buku yang tebalnya hampir 500 halaman ini ditulis oleh seseorang bernama Abdul Wahab. Di dalam buku itu terdapat panduan merakit bom buku—entah apa maksud penulisnya hingga memberikan intruksi dan panduan berbahaya semacam itu.
Yang jelas, Feby kemudian mengikuti intruksi dalam buku tersebut. Ia melubangi buku tebal yang dibacanya itu, memasangkan rangkaian komponen elektronik di dalamnya, dan mengemasnya hingga buku tersebut terlihat tak berbahaya. Bom hasil kreasi Feby itu memang tidak memiliki bahan peledak serta baterai, sehingga buku berbahaya itu tidak meledak. Tapi siapa yang bisa menjamin kalau anak lelaki itu kelak tidak akan menemukan baterai dan bahan peledak…?
Yang jelas, “inspirasi” yang diperoleh Feby hingga membuat bom buku itu datang setelah ia membaca buku yang tidak dipahaminya. Mungkin, dengan nalurinya sebagai seorang bocah, dia membayangkan dirinya seperti Mac Gyver atau tokoh-tokoh superhero lain, dan kemudian ia terdorong melakukan intruksi buku yang dibacanya itu.
Meski polisi sempat menahannya, namun pengadilan pasti akan bingung untuk memutuskan vonis atas anak itu—jika kasus tersebut sampai ke pengadilan. Karena, betapa pun juga, Feby tidak tahu apa yang dilakukannya. Dia hanya tertarik pada buku yang dibacanya, dan kemudian tertarik pula untuk melakukan intruksinya. Kelak, kalau anak itu sampai duduk sebagai pesakitan di pengadilan, hakim pasti akan memaafkannya dengan alasan, “Dia memang keliru, tapi dia hanyalah anak yang tidak tahu.”
Feby, juga anak-anak lelaki di Ukraina, adalah anak-anak yang keliru—namun mereka tidak tahu bahwa mereka keliru. Feby “terinspirasi” oleh buku yang dibacanya, dan kemudian merakit bom tanpa sempat berpikir apakah yang dilakukannya itu benar ataukah tidak. Bihal Gaziev dan konco-konconya di Ukraina membunuh seorang perempuan juga karena “terinspirasi” oleh ajaran yang didengarnya, tanpa memahami esensi sesungguhnya dari ajaran yang mereka terima.
Mereka masih anak-anak. Dan ketika mereka melakukan kejahatan, para orang tua biasanya akan berusaha untuk dapat memakluminya. “Mereka tidak tahu,” mungkin begitu kata sebagian orang tua. Atau, “Mereka hanyalah anak-anak yang keliru,” kata sebagian orang tua yang lain. Well, mereka memang anak-anak yang keliru. Dan dunia akan berusaha memaklumi bahkan memaafkannya, karena mereka masih anak-anak.
Persoalannya, fellas, bagaimana kalau “kekeliruan” semacam itu dilakukan oleh orang-orang dewasa?
Bagaimana kalau sekelompok orang dewasa membaca buku yang sama, kemudian sama-sama “terinspirasi” dan merakit bom yang sama berbahayanya? Bagaimana kalau segerombolan orang dewasa menerima ajaran yang sama, dan sama-sama keliru memahaminya, kemudian sibuk mengamuk dan merajam secara membabi-buta?
Kita bisa berusaha memaklumi Febi Yulianda yang merakit bom buku karena ketidaktahuannya, karena dia masih anak-anak. Dengan pengertian serta bimbingan dari orang-orang dewasa yang berkompeten, Febi pasti dapat diberi pengertian yang benar sehingga memahami dan menyadari kekeliruan serta kesalahannya.
Begitu pun, dunia pasti akan berusaha memaafkan Bihal Gaziev beserta dua temannya yang membunuh Katya Koren, karena mereka masih anak-anak. Meski ulah mereka dapat digolongkan kejahatan besar, yakni pembunuhan, tapi bagaimana pun juga mereka masih anak-anak. Dengan bimbingan orang yang tepat, dunia bisa berharap anak-anak yang keliru itu bisa disadarkan dan kembali ke jalan yang benar.
Tetapi, sekali lagi, bagaimana kalau perbuatan yang sama seperti mereka dilakukan orang-orang dewasa? Jika anak-anak mungkin masih mau menyadari kesalahan dan kekeliruannya, orang dewasa lebih sulit untuk sampai pada tahap kesadaran semacam itu. Jika anak-anak dapat diberitahu, “Hei, itu keliru,” maka orang dewasa menutup telinganya dari teguran semacam itu.
Ketika orang dewasa (apalagi orang dewasa yang merasa pintar) membaca suatu buku atau menerima ajaran tertentu dan kemudian keliru memahaminya, mereka biasanya sulit—bahkan sangat sulit—ditegur atau diingatkan. Yang ada, mereka justru merasa benar, lalu dengan membabi-buta melaksanakan ajaran itu dengan sama kelirunya. Jadi mereka pun merakit bom dan meledakkan orang-orang tak berdosa. Sementara yang lain sibuk mengamuk di sana-sini tanpa sempat melakukan muhasabah dan klarifikasi apakah dirinya sendiri sudah benar.
Anak-anak yang keliru bisa diberitahu bahwa mereka keliru, dan anak-anak memiliki ego yang kecil terhadap kebenaran sehingga bisa menemukan kebenaran yang sejati. Namun orang-orang dewasa yang keliru justru menganggap orang yang menegurnya itulah yang keliru, karena mereka telah menganggap dirinya sebagai pemilik tunggal kebenaran, sehingga mereka sulit menemukan kebenaran yang hakiki.
....
....
Anak-anak yang keliru bisa diajak bicara dengan bahasa manusia. Tapi orang dewasa yang keliru sering kali menjelma jadi berhala.
—Frithjorf Schuon
Di Ukraina, ada seorang gadis bernama Katya Koren yang menjadi korban “kekeliruan” sekelompok anak lelaki. Ceritanya, gadis berusia 19 tahun ini mengikuti kontes kecantikan yang ia harapkan dapat menjadi batu loncatannya dalam merintis karir sebagai fotomodel. Sebagai remaja yang mulai dewasa, Katya Koren menyukai tren dan suka berpenampilan modis—dan ia bermimpi dapat memasuki dunia glamour sebagaimana umumnya anak-anak muda.
Di dalam kontes itu, Katya tidak berhasil menjadi juara pertama—juri memberikan tempat di peringkat ketujuh. Bagi Katya, itu bukan soal, karena masih ada waktu lain kali, dan ia berharap dapat menjadi pemenang jika ada kesempatan lagi. Namun ternyata kesempatan gadis itu sudah habis. Hanya berselang satu hari semenjak mengikuti kontes kecantikan itu, dia lenyap.
Hilangnya Katya Koren sempat mengundang perhatian publik di Ukraina, karena waktu itu namanya sedang banyak dibicarakan sehubungan dengan kontes yang diikutinya. Keluarga dan masyarakat mencari-cari keberadaannya, dan kepolisian pun diterjunkan untuk membantu mencari kemana hilangnya perempuan itu. Satu minggu kemudian, Katya Koren berhasil ditemukan, namun sudah menjadi mayat.
Jasad perempuan ini ditemukan di sebuah hutan, dalam keadaan mengenaskan, dan masyarakat Ukraina pun gempar. Sebegitu gemparnya, sampai-sampai harian New York Daily News menjadikan berita itu sebagai salah satu headline pada 31 Mei 2011 kemarin.
Investigasi yang dilakukan polisi kemudian menemukan fakta bahwa terbunuhnya Katya Koren karena disiksa—dilempari batu sampai mati. Ketika para pelaku kejahatan itu tertangkap, lagi-lagi masyarakat gempar. Ternyata, pelaku kejahatan biadab itu dilakukan oleh tiga anak laki-laki, rata-rata berusia 16 tahun.
Kenapa tiga anak laki-laki yang masih bau kencur itu tega-teganya membunuh seorang perempuan yang tidak bersalah apa-apa pada mereka…? Bihal Gaziev, salah satu pelaku kejahatan itu, menyatakan dengan jumawa, “Kami merajam Katya Koren karena dia telah melanggar hukum agama, yakni mengikuti kontes kecantikan yang memamerkan aurat.”
Halooow…? Apakah ini terdengar konyol…???
Mungkin memang terdengar konyol, tetapi “kekonyolan” itu telah menewaskan seorang anak perempuan. Bihal Gaziev bersama konco-konconya mungkin membaca buku agama yang tidak dipahaminya, dan kemudian mengamalkan isinya secara ngawur karena ketidaktahuan dan ketidakpahamannya. Sekali lagi, mungkin ini konyol. Tetapi kekonyolan itu telah merampas hidup seorang manusia.
Setengah bulan sebelum kasus itu terjadi di Ukraina, ada kasus tak jauh beda yang terjadi di Indonesia, tepatnya di Bengkulu. Anak lelaki yang terlibat dalam kasus ini bernama Febi Yulianda. Siswa kelas VIII SMP Negeri 2 Kabupaten Kepahiang ini masih berusia 14 tahun, tapi dia ditangkap dan ditahan polisi karena… merakit bom!
Bom yang dirakit anak ini juga bukan main-main—dia merakit bom buku, sesuatu yang saat ini sedang menjadi pusat perhatian kepolisian di seluruh Indonesia. Bom buku itu disembunyikan di rumahnya, namun ditemukan oleh ayahnya. Si ayah membawa “buku” itu ke polisi, dan akhirnya terkuak bahwa pembuatnya adalah anaknya sendiri.
Bagaimana bisa seorang anak berusia 14 tahun sampai berpikir membuat bom buku…???
Hal itu berawal ketika Febi membaca sebuah buku berjudul “Mengungkap Berita Besar dalam Kitab Suci”. Buku yang tebalnya hampir 500 halaman ini ditulis oleh seseorang bernama Abdul Wahab. Di dalam buku itu terdapat panduan merakit bom buku—entah apa maksud penulisnya hingga memberikan intruksi dan panduan berbahaya semacam itu.
Yang jelas, Feby kemudian mengikuti intruksi dalam buku tersebut. Ia melubangi buku tebal yang dibacanya itu, memasangkan rangkaian komponen elektronik di dalamnya, dan mengemasnya hingga buku tersebut terlihat tak berbahaya. Bom hasil kreasi Feby itu memang tidak memiliki bahan peledak serta baterai, sehingga buku berbahaya itu tidak meledak. Tapi siapa yang bisa menjamin kalau anak lelaki itu kelak tidak akan menemukan baterai dan bahan peledak…?
Yang jelas, “inspirasi” yang diperoleh Feby hingga membuat bom buku itu datang setelah ia membaca buku yang tidak dipahaminya. Mungkin, dengan nalurinya sebagai seorang bocah, dia membayangkan dirinya seperti Mac Gyver atau tokoh-tokoh superhero lain, dan kemudian ia terdorong melakukan intruksi buku yang dibacanya itu.
Meski polisi sempat menahannya, namun pengadilan pasti akan bingung untuk memutuskan vonis atas anak itu—jika kasus tersebut sampai ke pengadilan. Karena, betapa pun juga, Feby tidak tahu apa yang dilakukannya. Dia hanya tertarik pada buku yang dibacanya, dan kemudian tertarik pula untuk melakukan intruksinya. Kelak, kalau anak itu sampai duduk sebagai pesakitan di pengadilan, hakim pasti akan memaafkannya dengan alasan, “Dia memang keliru, tapi dia hanyalah anak yang tidak tahu.”
Feby, juga anak-anak lelaki di Ukraina, adalah anak-anak yang keliru—namun mereka tidak tahu bahwa mereka keliru. Feby “terinspirasi” oleh buku yang dibacanya, dan kemudian merakit bom tanpa sempat berpikir apakah yang dilakukannya itu benar ataukah tidak. Bihal Gaziev dan konco-konconya di Ukraina membunuh seorang perempuan juga karena “terinspirasi” oleh ajaran yang didengarnya, tanpa memahami esensi sesungguhnya dari ajaran yang mereka terima.
Mereka masih anak-anak. Dan ketika mereka melakukan kejahatan, para orang tua biasanya akan berusaha untuk dapat memakluminya. “Mereka tidak tahu,” mungkin begitu kata sebagian orang tua. Atau, “Mereka hanyalah anak-anak yang keliru,” kata sebagian orang tua yang lain. Well, mereka memang anak-anak yang keliru. Dan dunia akan berusaha memaklumi bahkan memaafkannya, karena mereka masih anak-anak.
Persoalannya, fellas, bagaimana kalau “kekeliruan” semacam itu dilakukan oleh orang-orang dewasa?
Bagaimana kalau sekelompok orang dewasa membaca buku yang sama, kemudian sama-sama “terinspirasi” dan merakit bom yang sama berbahayanya? Bagaimana kalau segerombolan orang dewasa menerima ajaran yang sama, dan sama-sama keliru memahaminya, kemudian sibuk mengamuk dan merajam secara membabi-buta?
Kita bisa berusaha memaklumi Febi Yulianda yang merakit bom buku karena ketidaktahuannya, karena dia masih anak-anak. Dengan pengertian serta bimbingan dari orang-orang dewasa yang berkompeten, Febi pasti dapat diberi pengertian yang benar sehingga memahami dan menyadari kekeliruan serta kesalahannya.
Begitu pun, dunia pasti akan berusaha memaafkan Bihal Gaziev beserta dua temannya yang membunuh Katya Koren, karena mereka masih anak-anak. Meski ulah mereka dapat digolongkan kejahatan besar, yakni pembunuhan, tapi bagaimana pun juga mereka masih anak-anak. Dengan bimbingan orang yang tepat, dunia bisa berharap anak-anak yang keliru itu bisa disadarkan dan kembali ke jalan yang benar.
Tetapi, sekali lagi, bagaimana kalau perbuatan yang sama seperti mereka dilakukan orang-orang dewasa? Jika anak-anak mungkin masih mau menyadari kesalahan dan kekeliruannya, orang dewasa lebih sulit untuk sampai pada tahap kesadaran semacam itu. Jika anak-anak dapat diberitahu, “Hei, itu keliru,” maka orang dewasa menutup telinganya dari teguran semacam itu.
Ketika orang dewasa (apalagi orang dewasa yang merasa pintar) membaca suatu buku atau menerima ajaran tertentu dan kemudian keliru memahaminya, mereka biasanya sulit—bahkan sangat sulit—ditegur atau diingatkan. Yang ada, mereka justru merasa benar, lalu dengan membabi-buta melaksanakan ajaran itu dengan sama kelirunya. Jadi mereka pun merakit bom dan meledakkan orang-orang tak berdosa. Sementara yang lain sibuk mengamuk di sana-sini tanpa sempat melakukan muhasabah dan klarifikasi apakah dirinya sendiri sudah benar.
Anak-anak yang keliru bisa diberitahu bahwa mereka keliru, dan anak-anak memiliki ego yang kecil terhadap kebenaran sehingga bisa menemukan kebenaran yang sejati. Namun orang-orang dewasa yang keliru justru menganggap orang yang menegurnya itulah yang keliru, karena mereka telah menganggap dirinya sebagai pemilik tunggal kebenaran, sehingga mereka sulit menemukan kebenaran yang hakiki.
....
....
Anak-anak yang keliru bisa diajak bicara dengan bahasa manusia. Tapi orang dewasa yang keliru sering kali menjelma jadi berhala.