Post ini saya tulis karena dikerjain Eks. Siapakah Eks? Eks a.k.a Yus Yulianto, adalah bocah SMA yang menjadi salah satu blogger idola saya.
Pertama kali kenal dengan Eks adalah ketika beliau (maksud saya; dia) berkirim email ke saya. Dan saya membalasnya. Terus dia membalas email saya, dan saya membalasnya lagi. Terus dia membalas email saya, dan saya membalasnya lagi. Terus dia membalas email saya, dan saya membalasnya lagi. Terus dia membalas email saya, dan saya membalasnya lagi.
Nah, kalian capek kan, membacanya? Apalagi saya yang harus melakukannya!
Tapi entah kenapa saya mau membalas email dari Eks, bahkan terus-menerus. Hal itu mungkin karena saya kemudian mengenal blognya (alis-tebal.blogspot.com), dan langsung suka membaca posting-postingnya. Waktu membaca tulisan-tulisannya di blog, saya selalu ketawa cekikikan di depan komputer, meski mungkin Eks tidak bermaksud bercanda.
Jadi, nada tulisan si Eks ini terkesan serius. Tapi kalau kita paham letak kelucuannya, dijamin akan ketawa sampai mimisan. Bagi saya, Eks seperti bocah TK yang punya IQ terlalu tinggi. Tulisan-tulisannya spontan, jujur, polos, bahkan lugu, tapi asyik. Dan itulah kenapa saya selalu mengikuti posting-postingnya, bahkan mengidolakannya.
Dan sekarang blogger idola saya itu ngerjain saya untuk membuat post ini.
Ceritanya, Eks membagikan “musibah” (baca: tag) kepada sepuluh blogger yang dikenalnya, dan meminta agar masing-masing blogger yang dipilihnya tersebut menulis sebuah post khusus yang berisi “10 hal mengenai saya” (jika diterjemahkan ke dalam bahasa antah-berantah, “10 things about me”, gituuuh!).
Nah, saya termasuk salah satu blogger yang dipilih Eks, untuk menerima “musibah” ini. Karena yang meminta adalah blogger idola saya, maka saya merasa berkewajiban memenuhi permintaannya. Jadi sekarang saya pun menulis post ini. Karena Eks—juga teman-teman blogger lain—menuliskan diri mereka secara jujur dan apa adanya, maka saya pun tentunya harus membukakan diri saya secara jujur dan apa adanya pula.
Dan, yeah… inilah saya.
Fact #1
Saya perokok—bahkan perokok berat
Dalam beberapa post yang pernah saya tulis di sini, secara terus-terang saya menyatakan kalau saya seorang perokok. Yang mungkin belum pernah saya katakan adalah bahwa saya merokok sejak SD. Saya tahu pengakuan ini terdengar pahit. Tapi saya tidak ingin menutup-nutupi sesuatu yang memang ada pada diri saya.
Saya bisa membayangkan pertanyaan yang saat ini melayang-layang di sekeliling kepala kalian. “Mengapa…?”
Well, semenjak kelas lima SD, saya harus mencari uang untuk nambah uang saku—kenyataannya saya memang jarang punya uang saku, sehingga jarang jajan di sekolah. Orangtua saya tidak selalu bisa memberikan uang saku, bahkan membayar SPP tepat bulan pun sudah saya anggap mukjizat.
Jadi, dengan naluri bocah saya waktu itu, saya pun berusaha mencari uang agar bisa jajan di sekolah seperti teman-teman yang lain. Dan satu-satunya cara yang terpikir oleh saya waktu itu adalah menjadi tukang parkir liar di alun-alun kota saya.
So, itulah yang saya lakukan—bertahun-tahun lalu. Selepas maghrib, saya akan pergi ke alun-alun, berharap ada motor atau mobil yang dapat saya palak, sehingga besok saya bisa jajan di sekolah. Kadang saya pulang ke rumah jam sembilan, kadang jam sepuluh, kadang pula jam dua belas atau jam satu dini hari.
Karena hidup di jalanan, maka saya pun “terkontaminasi” kehidupan jalanan. Bocah-bocah yang menjadi teman saya waktu itu adalah bocah-bocah yang—meminjam istilah Iwan Fals—dibesarkan oleh rembulan. Jadi mereka merokok sejak kecil, bahkan tidak sedikit yang juga meminum minuman keras. Mau tidak mau saya terpengaruh. Tapi hanya sebatas rokok.
Selama lima tahun hidup di jalanan (dari kelas lima SD sampai kelas tiga SMP), saya menyaksikan aneka macam “barang lezat”—dari rokok, minuman keras, ganja, sampai narkoba, tapi saya “membatasi diri” hanya pada rokok.
Dan itulah awal mula kenapa saya merokok sejak SD. Jika orang lain mungkin menganggap saya “rusak” karena telah merokok sejak SD, maka saya justru menganggap itu sebagai “prestasi”—karena setidaknya saya mampu menahan diri untuk tidak menyentuh barang-barang “berbahaya” lain selain rokok. Dan kebiasaan merokok itu akhirnya terbawa sampai sekarang.
Enough. Kalau ingin baca kelanjutannya, silakan lihat di sini.
Fact #2
Saya suka batagor, siomay, dan lainnya, dan roti
Kalau ada teman yang tanya, “Hei pal, apa jajan favoritmu?” Saya pasti akan langsung menjawab, “Batagor!” Selain batagor? “Siomay!” Selain siomay…?
Bakwan panas, lumpia, risoles, martabak panas, atau goreng-gorengan lain—asal masih panas dan digoreng sampai matang—well, saya suka semua!
Meski suka goreng-gorengan, tapi saya tidak suka pisang goreng. Kenapa? Saya juga tidak tahu! Yang jelas, sejak lahir hingga sekarang, saya belum pernah makan pisang, termasuk pisang goreng. Kenapa? Sekali lagi saya tidak tahu!
Pada waktu masih bayi dan mulai diperkenalkan makanan selain ASI, nyokap mencoba menyuapi saya dengan pisang yang dilembutkan—seperti umumnya bayi-bayi yang lain. Tetapi, menurut cerita nyokap, saya selalu memuntahkan pisang itu dan tidak pernah sekalipun mau memakannya. Jadi kemudian nyokap mencari makanan lain yang sekiranya mau saya makan.
So, nyokap kemudian mengganti pisang dengan roti. Roti itu dilembutkan sampai halus, kemudian disuapkan ke saya yang waktu itu masih bayi. Dan saya mau menelannya. Jadi begitulah. Hasilnya sampai sekarang saya tetap tidak pernah mau makan pisang, tapi sangat suka roti. Bahkan, sampai hari ini, saya menganggap roti sebagai makanan pokok kedua selain nasi. In fact, saya malah pernah bosan makan nasi, tapi belum pernah bosan makan roti.
Fact #3
Saya sangat sukaaaaaaaa nasi keras
Kalau ada pertanyaan untuk saya pilih: A) makan nasi yang keras dengan lauk seadanya, atau B) makan nasi yang lembek dengan lauk yang mewah dan luar biasa, saya akan memilih A.
Bagi saya, makan dengan lauk apa pun akan terasa nikmat jika nasinya keras. Sebaliknya, ayam goreng, ikan bakar, sate kambing, atau apa pun juga tak akan mengundang selera saya jika nasinya lembek. Yang saya maksud nasi keras adalah nasi yang tidak menggumpal, yaitu nasi yang butiran-butirannya saling terpisah atau tidak saling lengket. Saya mupeng kalau lihat nasi seperti itu!
Di suatu acara konferensi di Bogor, saya pernah mendapati nasi semacam itu, yang bahkan melebihi ekspektasi saya. Nasinya putih, empuk tapi tidak menggumpal, sedap, dan baunya wangi. Karena penasaran (dan merasa kecanduan), saya menemui juru masaknya, dan menanyakan bagaimana cara membuat nasi seperti itu.
Si juru masak menerangkan, bahwa nasi itu ditanak tidak dengan air, tapi menggunakan santan, dengan daun-daun pandan yang “disusupkan” di antara berasnya. Saya langsung mengingat-ingat resep itu, dan kelak resep keramat itu akan saya sampaikan pada istri saya, juga akan saya wariskan kepada anak cucu!
Oh, well, saya cinta nasi keras, sebesar cinta saya pada Indonesia. Oke, ini lebay! Tapi kalau mau mendengar yang lebih lebay lagi soal nasi yang keras, coba lihat di sini.
Fact #4
Saya mahasiswa drop out
Kepada siapa pun yang selama ini menuduh saya punya gelar Ph.D, silakan kecewa. Faktanya, saya mahasiswa drop out dan tidak punya gelar atau titel apa pun.
Well, saya pernah kuliah S1, dan menyelesaikan seluruh teori mata kuliah dalam waktu tiga tahun, lalu memutuskan untuk drop out sebelum KKN dan pengerjaan skripsi. Kenapa? Mungkin alasannya terdengar idealis. Karena saya kecewa dengan sistem pendidikan yang saya terima.
Saya kecewa dengan pendidikan yang saya peroleh—karena sistem pendidikan itu tidak mengajarkan mahasiswa untuk mencintai belajar, tapi hanya sekadar mengajarkan cara mengejar nilai dan gelar secara instan. Saya tidak bisa menerima sistem semacam itu. Saya akan merasa berdosa jika menerima gelar yang diberikan sebuah institusi pendidikan yang justru menjauhkan orang dari proses pembelajaran.
Ketika saya memutuskan drop out dari kampus, orangtua saya kecewa, dosen-dosen menyayangkan, kawan-kawan kuliah menghalangi, dan cewek-cewek di kampus menangis—oke, yang terakhir itu saya melebih-lebihkan. Tapi keputusan saya sudah bulat. Yang paling saya inginkan di dunia ini bukan titel atau gelar, tapi kecintaan pada proses belajar. Karena kampus saya tidak mampu memberikan hal itu, maka saya pun drop out.
Fact #5
Saya percaya, hidup adalah soal pilihan
Saya menghabiskan separuh dari umur saya untuk memahami kebenaran tak terbantahkan itu. Bahwa hidup adalah soal pilihan. Sekarang, saya meyakini kebenaran itu, sama besarnya dengan keyakinan bahwa saya masih hidup.
Ketika pertama kali menemukan filsafat tersebut, saya tidak paham, bahkan tidak terima. Bagaimana mungkin hidup adalah soal pilihan jika Tuhan dan takdir (katanya) memainkan segala-galanya? Takdir telah melahirkan saya dalam kemiskinan, dan kebodohan, dan keterbelakangan. Bagaimana bisa hidup disebut soal pilihan…?
Tetapi kemudian saya menyadari, bahwa di dalam kehimpitan sesempit apa pun, kita selalu diberi hak untuk memilih. Memilih untuk bangkit, atau memilih tetap jatuh. Memilih untuk menyerah dan kalah, atau memilih berjuang dan menang. Memilih untuk mengutuk, atau memilih untuk bekerja.
Jadi saya pun memilih. Saya memilih untuk keluar dari kemiskinan saya, dan karena itu saya bekerja keras. Saya memilih untuk keluar dari kebodohan saya, dan karena itu saya mencintai belajar. Saya memilih untuk keluar dari keterbelakangan saya, dan karena itu saya maju dan terus maju.
Hari ini, ketika menyaksikan betapa jauhnya hidup saya dulu, dan betapa berbedanya hidup saya sekarang, saya tahu, dan menyadari, dan percaya, bahwa hidup adalah soal pilihan…
…dan saya bersyukur karena telah menjatuhkan pilihan yang benar.
Fact #6
Ehmmmm….
Tinggi badan saya 173 centimeter dengan berat badan kurang proporsional. Jadi agak kurus. Susahnya, makan sebanyak apa pun sepertinya tak pernah punya pengaruh bagi tubuh saya. Jadi, kalau suatu hari saya nimbang badan di apotik dan mendapati ada kenaikan satu kilo saja, saya pasti girang bukan main!
Saya suka celana jins, dan kemeja kasual. Khususnya warna biru atau hitam. Biru menjadikan saya terlihat dewasa, sedang hitam membuat saya tampak lebih ‘bling-bling’, hehe... Teman-teman bilang saya tidak mirip Keanu Reeves. Ya iyalaaaah!
Fact #7
Saya suka membaca, menulis, nge-blog…
…mendengarkan musik, menikmati kesendirian di kafe yang hening, shopping, juga nonton film. Yang paling saya sukai film action dan fantasi, tapi kadang nonton drama, kadang juga film bokep. Oh, tidak usah melotot. Kalau anggota DPR yang (katanya) alim saja nonton bokep, kenapa saya tidak boleh? Saya benci orang yang sok jaim dan munafik, karenanya saya tidak mau sok jaim apalagi munafik.
Kata Pak Menteri Tifatul Sembiring, melihat pornografi itu tidak melanggar hukum. Yang melanggar hukum adalah mengedarkan dan mendistribusikan pornografi. Nah, saya hanya melihat dan menikmati, jadi tidak apa-apa kan, Pak Menteri…?
(Tetapi, omong-omong, kalau tidak ada yang mengedarkan, lalu bagaimana cara kita bisa mendapatkan dan menikmatinya?).
Fact #8
Saya suka, dan nyaman tinggal di rumah
Bahasa simpelnya, saya cowok rumahan. Kalau sudah di rumah, rasanya senang, tenang, nyaman… damai, dan tak ingin keluar-keluar lagi. Dengan sebuah komputer yang terhubung internet, rokok, dan buku-buku, saya bisa tahan berada di rumah hingga berbulan-bulan tanpa keluar sama sekali—kalau saja tidak perlu beli nasi dan keperluan sehari-hari.
Saya tinggal sendirian, jadi rumah saya sepi dan hening. Tanpa suara apa pun selain kadang suara saya sendiri yang bersenandung. Dan saya menyukai, menikmati, keheningan seperti itu. Di dalam rumahlah saya merasa memiliki kebebasan yang tidak saya miliki di luar rumah. Di dalam rumah, segala bentuk aturan di luar tak berlaku lagi, dan saya merasa merdeka.
Bagi saya, rumah adalah suaka kebebasan jiwa.
Fact #9
Sebenarnya… saya pemalu
Huhuhu, ini benar. Sebenarnya saya pemalu. Saya tidak tahu apa kesan kalian pada saya setelah membaca tulisan-tulisan saya selama ini di blog, tapi aslinya saya pemalu, khususnya dengan orang yang tidak saya kenal atau baru saya kenal. Karenanya, menulis benar-benar membuat saya enjoy, karena saya merasa lebih leluasa.
Kalau kita baru ketemu, mungkin sikap saya akan terlihat malu-malu, dan terkesan pendiam. Tapi kalau cocok dengan seseorang, saya dapat asyik ngobrol, bercanda, bahkan tertawa ngakak. Meski mungkin tulisan-tulisan saya selama ini terkesan ‘berat dan serius’, tapi dalam keseharian saya lebih sering santai. Teman-teman saya bahkan jarang sekali melihat saya serius, dan saya juga lebih suka ngobrol hal-hal ringan dengan mereka.
Fact #10
Saya senang kalian membaca post ini hingga kalimat terakhir
Hehe… :)
Pertama kali kenal dengan Eks adalah ketika beliau (maksud saya; dia) berkirim email ke saya. Dan saya membalasnya. Terus dia membalas email saya, dan saya membalasnya lagi. Terus dia membalas email saya, dan saya membalasnya lagi. Terus dia membalas email saya, dan saya membalasnya lagi. Terus dia membalas email saya, dan saya membalasnya lagi.
Nah, kalian capek kan, membacanya? Apalagi saya yang harus melakukannya!
Tapi entah kenapa saya mau membalas email dari Eks, bahkan terus-menerus. Hal itu mungkin karena saya kemudian mengenal blognya (alis-tebal.blogspot.com), dan langsung suka membaca posting-postingnya. Waktu membaca tulisan-tulisannya di blog, saya selalu ketawa cekikikan di depan komputer, meski mungkin Eks tidak bermaksud bercanda.
Jadi, nada tulisan si Eks ini terkesan serius. Tapi kalau kita paham letak kelucuannya, dijamin akan ketawa sampai mimisan. Bagi saya, Eks seperti bocah TK yang punya IQ terlalu tinggi. Tulisan-tulisannya spontan, jujur, polos, bahkan lugu, tapi asyik. Dan itulah kenapa saya selalu mengikuti posting-postingnya, bahkan mengidolakannya.
Dan sekarang blogger idola saya itu ngerjain saya untuk membuat post ini.
Ceritanya, Eks membagikan “musibah” (baca: tag) kepada sepuluh blogger yang dikenalnya, dan meminta agar masing-masing blogger yang dipilihnya tersebut menulis sebuah post khusus yang berisi “10 hal mengenai saya” (jika diterjemahkan ke dalam bahasa antah-berantah, “10 things about me”, gituuuh!).
Nah, saya termasuk salah satu blogger yang dipilih Eks, untuk menerima “musibah” ini. Karena yang meminta adalah blogger idola saya, maka saya merasa berkewajiban memenuhi permintaannya. Jadi sekarang saya pun menulis post ini. Karena Eks—juga teman-teman blogger lain—menuliskan diri mereka secara jujur dan apa adanya, maka saya pun tentunya harus membukakan diri saya secara jujur dan apa adanya pula.
Dan, yeah… inilah saya.
Fact #1
Saya perokok—bahkan perokok berat
Dalam beberapa post yang pernah saya tulis di sini, secara terus-terang saya menyatakan kalau saya seorang perokok. Yang mungkin belum pernah saya katakan adalah bahwa saya merokok sejak SD. Saya tahu pengakuan ini terdengar pahit. Tapi saya tidak ingin menutup-nutupi sesuatu yang memang ada pada diri saya.
Saya bisa membayangkan pertanyaan yang saat ini melayang-layang di sekeliling kepala kalian. “Mengapa…?”
Well, semenjak kelas lima SD, saya harus mencari uang untuk nambah uang saku—kenyataannya saya memang jarang punya uang saku, sehingga jarang jajan di sekolah. Orangtua saya tidak selalu bisa memberikan uang saku, bahkan membayar SPP tepat bulan pun sudah saya anggap mukjizat.
Jadi, dengan naluri bocah saya waktu itu, saya pun berusaha mencari uang agar bisa jajan di sekolah seperti teman-teman yang lain. Dan satu-satunya cara yang terpikir oleh saya waktu itu adalah menjadi tukang parkir liar di alun-alun kota saya.
So, itulah yang saya lakukan—bertahun-tahun lalu. Selepas maghrib, saya akan pergi ke alun-alun, berharap ada motor atau mobil yang dapat saya palak, sehingga besok saya bisa jajan di sekolah. Kadang saya pulang ke rumah jam sembilan, kadang jam sepuluh, kadang pula jam dua belas atau jam satu dini hari.
Karena hidup di jalanan, maka saya pun “terkontaminasi” kehidupan jalanan. Bocah-bocah yang menjadi teman saya waktu itu adalah bocah-bocah yang—meminjam istilah Iwan Fals—dibesarkan oleh rembulan. Jadi mereka merokok sejak kecil, bahkan tidak sedikit yang juga meminum minuman keras. Mau tidak mau saya terpengaruh. Tapi hanya sebatas rokok.
Selama lima tahun hidup di jalanan (dari kelas lima SD sampai kelas tiga SMP), saya menyaksikan aneka macam “barang lezat”—dari rokok, minuman keras, ganja, sampai narkoba, tapi saya “membatasi diri” hanya pada rokok.
Dan itulah awal mula kenapa saya merokok sejak SD. Jika orang lain mungkin menganggap saya “rusak” karena telah merokok sejak SD, maka saya justru menganggap itu sebagai “prestasi”—karena setidaknya saya mampu menahan diri untuk tidak menyentuh barang-barang “berbahaya” lain selain rokok. Dan kebiasaan merokok itu akhirnya terbawa sampai sekarang.
Enough. Kalau ingin baca kelanjutannya, silakan lihat di sini.
Fact #2
Saya suka batagor, siomay, dan lainnya, dan roti
Kalau ada teman yang tanya, “Hei pal, apa jajan favoritmu?” Saya pasti akan langsung menjawab, “Batagor!” Selain batagor? “Siomay!” Selain siomay…?
Bakwan panas, lumpia, risoles, martabak panas, atau goreng-gorengan lain—asal masih panas dan digoreng sampai matang—well, saya suka semua!
Meski suka goreng-gorengan, tapi saya tidak suka pisang goreng. Kenapa? Saya juga tidak tahu! Yang jelas, sejak lahir hingga sekarang, saya belum pernah makan pisang, termasuk pisang goreng. Kenapa? Sekali lagi saya tidak tahu!
Pada waktu masih bayi dan mulai diperkenalkan makanan selain ASI, nyokap mencoba menyuapi saya dengan pisang yang dilembutkan—seperti umumnya bayi-bayi yang lain. Tetapi, menurut cerita nyokap, saya selalu memuntahkan pisang itu dan tidak pernah sekalipun mau memakannya. Jadi kemudian nyokap mencari makanan lain yang sekiranya mau saya makan.
So, nyokap kemudian mengganti pisang dengan roti. Roti itu dilembutkan sampai halus, kemudian disuapkan ke saya yang waktu itu masih bayi. Dan saya mau menelannya. Jadi begitulah. Hasilnya sampai sekarang saya tetap tidak pernah mau makan pisang, tapi sangat suka roti. Bahkan, sampai hari ini, saya menganggap roti sebagai makanan pokok kedua selain nasi. In fact, saya malah pernah bosan makan nasi, tapi belum pernah bosan makan roti.
Fact #3
Saya sangat sukaaaaaaaa nasi keras
Kalau ada pertanyaan untuk saya pilih: A) makan nasi yang keras dengan lauk seadanya, atau B) makan nasi yang lembek dengan lauk yang mewah dan luar biasa, saya akan memilih A.
Bagi saya, makan dengan lauk apa pun akan terasa nikmat jika nasinya keras. Sebaliknya, ayam goreng, ikan bakar, sate kambing, atau apa pun juga tak akan mengundang selera saya jika nasinya lembek. Yang saya maksud nasi keras adalah nasi yang tidak menggumpal, yaitu nasi yang butiran-butirannya saling terpisah atau tidak saling lengket. Saya mupeng kalau lihat nasi seperti itu!
Di suatu acara konferensi di Bogor, saya pernah mendapati nasi semacam itu, yang bahkan melebihi ekspektasi saya. Nasinya putih, empuk tapi tidak menggumpal, sedap, dan baunya wangi. Karena penasaran (dan merasa kecanduan), saya menemui juru masaknya, dan menanyakan bagaimana cara membuat nasi seperti itu.
Si juru masak menerangkan, bahwa nasi itu ditanak tidak dengan air, tapi menggunakan santan, dengan daun-daun pandan yang “disusupkan” di antara berasnya. Saya langsung mengingat-ingat resep itu, dan kelak resep keramat itu akan saya sampaikan pada istri saya, juga akan saya wariskan kepada anak cucu!
Oh, well, saya cinta nasi keras, sebesar cinta saya pada Indonesia. Oke, ini lebay! Tapi kalau mau mendengar yang lebih lebay lagi soal nasi yang keras, coba lihat di sini.
Fact #4
Saya mahasiswa drop out
Kepada siapa pun yang selama ini menuduh saya punya gelar Ph.D, silakan kecewa. Faktanya, saya mahasiswa drop out dan tidak punya gelar atau titel apa pun.
Well, saya pernah kuliah S1, dan menyelesaikan seluruh teori mata kuliah dalam waktu tiga tahun, lalu memutuskan untuk drop out sebelum KKN dan pengerjaan skripsi. Kenapa? Mungkin alasannya terdengar idealis. Karena saya kecewa dengan sistem pendidikan yang saya terima.
Saya kecewa dengan pendidikan yang saya peroleh—karena sistem pendidikan itu tidak mengajarkan mahasiswa untuk mencintai belajar, tapi hanya sekadar mengajarkan cara mengejar nilai dan gelar secara instan. Saya tidak bisa menerima sistem semacam itu. Saya akan merasa berdosa jika menerima gelar yang diberikan sebuah institusi pendidikan yang justru menjauhkan orang dari proses pembelajaran.
Ketika saya memutuskan drop out dari kampus, orangtua saya kecewa, dosen-dosen menyayangkan, kawan-kawan kuliah menghalangi, dan cewek-cewek di kampus menangis—oke, yang terakhir itu saya melebih-lebihkan. Tapi keputusan saya sudah bulat. Yang paling saya inginkan di dunia ini bukan titel atau gelar, tapi kecintaan pada proses belajar. Karena kampus saya tidak mampu memberikan hal itu, maka saya pun drop out.
Fact #5
Saya percaya, hidup adalah soal pilihan
Saya menghabiskan separuh dari umur saya untuk memahami kebenaran tak terbantahkan itu. Bahwa hidup adalah soal pilihan. Sekarang, saya meyakini kebenaran itu, sama besarnya dengan keyakinan bahwa saya masih hidup.
Ketika pertama kali menemukan filsafat tersebut, saya tidak paham, bahkan tidak terima. Bagaimana mungkin hidup adalah soal pilihan jika Tuhan dan takdir (katanya) memainkan segala-galanya? Takdir telah melahirkan saya dalam kemiskinan, dan kebodohan, dan keterbelakangan. Bagaimana bisa hidup disebut soal pilihan…?
Tetapi kemudian saya menyadari, bahwa di dalam kehimpitan sesempit apa pun, kita selalu diberi hak untuk memilih. Memilih untuk bangkit, atau memilih tetap jatuh. Memilih untuk menyerah dan kalah, atau memilih berjuang dan menang. Memilih untuk mengutuk, atau memilih untuk bekerja.
Jadi saya pun memilih. Saya memilih untuk keluar dari kemiskinan saya, dan karena itu saya bekerja keras. Saya memilih untuk keluar dari kebodohan saya, dan karena itu saya mencintai belajar. Saya memilih untuk keluar dari keterbelakangan saya, dan karena itu saya maju dan terus maju.
Hari ini, ketika menyaksikan betapa jauhnya hidup saya dulu, dan betapa berbedanya hidup saya sekarang, saya tahu, dan menyadari, dan percaya, bahwa hidup adalah soal pilihan…
…dan saya bersyukur karena telah menjatuhkan pilihan yang benar.
Fact #6
Ehmmmm….
Tinggi badan saya 173 centimeter dengan berat badan kurang proporsional. Jadi agak kurus. Susahnya, makan sebanyak apa pun sepertinya tak pernah punya pengaruh bagi tubuh saya. Jadi, kalau suatu hari saya nimbang badan di apotik dan mendapati ada kenaikan satu kilo saja, saya pasti girang bukan main!
Saya suka celana jins, dan kemeja kasual. Khususnya warna biru atau hitam. Biru menjadikan saya terlihat dewasa, sedang hitam membuat saya tampak lebih ‘bling-bling’, hehe... Teman-teman bilang saya tidak mirip Keanu Reeves. Ya iyalaaaah!
Fact #7
Saya suka membaca, menulis, nge-blog…
…mendengarkan musik, menikmati kesendirian di kafe yang hening, shopping, juga nonton film. Yang paling saya sukai film action dan fantasi, tapi kadang nonton drama, kadang juga film bokep. Oh, tidak usah melotot. Kalau anggota DPR yang (katanya) alim saja nonton bokep, kenapa saya tidak boleh? Saya benci orang yang sok jaim dan munafik, karenanya saya tidak mau sok jaim apalagi munafik.
Kata Pak Menteri Tifatul Sembiring, melihat pornografi itu tidak melanggar hukum. Yang melanggar hukum adalah mengedarkan dan mendistribusikan pornografi. Nah, saya hanya melihat dan menikmati, jadi tidak apa-apa kan, Pak Menteri…?
(Tetapi, omong-omong, kalau tidak ada yang mengedarkan, lalu bagaimana cara kita bisa mendapatkan dan menikmatinya?).
Fact #8
Saya suka, dan nyaman tinggal di rumah
Bahasa simpelnya, saya cowok rumahan. Kalau sudah di rumah, rasanya senang, tenang, nyaman… damai, dan tak ingin keluar-keluar lagi. Dengan sebuah komputer yang terhubung internet, rokok, dan buku-buku, saya bisa tahan berada di rumah hingga berbulan-bulan tanpa keluar sama sekali—kalau saja tidak perlu beli nasi dan keperluan sehari-hari.
Saya tinggal sendirian, jadi rumah saya sepi dan hening. Tanpa suara apa pun selain kadang suara saya sendiri yang bersenandung. Dan saya menyukai, menikmati, keheningan seperti itu. Di dalam rumahlah saya merasa memiliki kebebasan yang tidak saya miliki di luar rumah. Di dalam rumah, segala bentuk aturan di luar tak berlaku lagi, dan saya merasa merdeka.
Bagi saya, rumah adalah suaka kebebasan jiwa.
Fact #9
Sebenarnya… saya pemalu
Huhuhu, ini benar. Sebenarnya saya pemalu. Saya tidak tahu apa kesan kalian pada saya setelah membaca tulisan-tulisan saya selama ini di blog, tapi aslinya saya pemalu, khususnya dengan orang yang tidak saya kenal atau baru saya kenal. Karenanya, menulis benar-benar membuat saya enjoy, karena saya merasa lebih leluasa.
Kalau kita baru ketemu, mungkin sikap saya akan terlihat malu-malu, dan terkesan pendiam. Tapi kalau cocok dengan seseorang, saya dapat asyik ngobrol, bercanda, bahkan tertawa ngakak. Meski mungkin tulisan-tulisan saya selama ini terkesan ‘berat dan serius’, tapi dalam keseharian saya lebih sering santai. Teman-teman saya bahkan jarang sekali melihat saya serius, dan saya juga lebih suka ngobrol hal-hal ringan dengan mereka.
Fact #10
Saya senang kalian membaca post ini hingga kalimat terakhir
Hehe… :)