Minggu, 19 September 2010

Syarat Penting untuk Menikah

Setiap kali lebaran datang, dan setiap kali saya bersilaturrahmi ke tempat para famili, setiap kali pula pertanyaan mereka tak pernah berubah, “Jadi, Hoeda sayang, kapan kamu akan menikah?”

Hoho, kapan saya akan menikah? Biasanya, saya akan menjawab dengan senyum kikuk, “Uh, belum nemu orang yang mau diajak nikah.”

Dan, biasanya pula, jawaban saya itu akan segera dijawab dan dibahas dari berbagai sudut pandang—dari sudut pandang moral Pancasila, sampai sudut pandang filsafat zaman bahuela. Padahal, syarat penting bagi saya untuk menikah tidaklah serumit itu, atau tidaklah serumit yang mereka bayangkan. Bagi saya, perempuan yang (sepertinya) asyik untuk diajak nikah adalah perempuan yang memiliki selera yang sama seperti saya—khususnya dalam hal makanan.

Ayo kita ngobrol soal makanan. Khususnya lagi soal makanan sehari-hari. Karena tinggal di Indonesia, maka tentunya nasi menjadi makanan kita sehari-hari, ya? Well, mungkin ada saudara-saudara kita yang menjadikan jagung, sagu, atau makanan lain sebagai makanan sehari-hari. Tetapi saya sendiri biasa makan nasi sebagai makanan pokok sehari-hari.

Menyangkut nasi, apa definisi makanan yang enak atau lezat, menurutmu? Sepertinya, jawabannya bisa sangat relatif ya, tergantung selera masing-masing orang. Juga tergantung pada perspektif orang mengenai arti “makanan enak atau lezat”—yang bisa saja ditinjau dari kecukupan nutrisi, asupan gizi, tingkat kesehatan, dan lain-lain.

Bagi saya pribadi, makanan yang enak dan lezat itu sederhana. Tetapi, entah mengapa, selera saya yang sederhana ini sering jadi masalah. Saya suka nasi yang keras. Yang saya maksud “nasi yang keras” adalah nasi yang tidak menggumpal, atau nasi yang biji-biji nasinya saling terpisah atau tidak lengket. Jujur saja, saya sangat tidak bisa menikmati nasi yang lembek. Semakin lembek nasi, semakin saya tidak doyan. Kalau boleh ngomong ekstrim, saya lebih baik menahan lapar daripada harus makan nasi yang lembek.

Karena kecenderungan seperti ini, saya sering mengalami masalah. Kadang teman-teman saya mengajak makan di gerai ayam goreng impor yang terkenal itu. Ketika mendapatkan ajakan seperti itu, saya jadi serba salah. Kalau mau menolak, saya merasa tidak enak, sementara kalau menerima ajakan itu, saya pasti akan tersiksa.

Well, saya tidak bisa menikmati nasi yang disediakan di gerai ayam goreng itu, karena mereka menyediakan nasi yang (dalam penilaian saya) lembek. Itu bukan jenis nasi yang biasa saya makan. Sudah begitu, gerai itu menyuguhkan nasinya dalam bentuk dicetak. Akibatnya, nasi yang sudah lembek itu jadi tambah menggumpal.

Saya benar-benar sulit menikmati nasi yang seperti itu. Saya oke dengan ayam gorengnya, tapi nasinya… deuh, kenapa gerai itu tak pernah terpikir untuk menyediakan nasi yang lebih keras, atau menyuguhkan nasi yang “ditebarkan” di atas piring saja, sehingga tidak menggumpal?

Jadi, kalau ada teman yang mengajak makan ke tempat semacam itu, saya jadi prihatin. Karenanya, setiap kali akan masuk ke tempat makan (warung, gerai, restoran dan semacamnya), perhatian utama saya selalu terfokus pada nasinya terlebih dulu. Jika nasinya keras, menu masakan apa pun oke buat saya. Tetapi jika nasinya lembek, apalagi jika sampai menggumpal, deuh… saya lebih baik tidak makan.

Tidak ada yang lebih membangkitkan selera makan saya selain nasi yang keras. Apalagi jika di atas nasi yang keras itu ditaburi bawang goreng yang garing. Karenanya, saya selalu memasukkan bawang goreng kering dalam daftar belanjaan sehari-hari. Sepertinya, saya malah sudah “kecanduan” bawang goreng kering. Tidak hanya waktu makan nasi, bahkan ketika makan roti pun saya menaburkan bawang goreng di atasnya.

Lalu bagaimana dengan lauknya? Sebenarnya, saya tidak terlalu mempermasalahkan lauk-pauk—selama nasinya keras, dan ditaburi bawang goreng kering. Hanya saja, saya sangat menyukai masakan atau olahan daun singkong. Ya, ini tidak salah tulis atau salah ketik. Saya benar-benar menyukai daun singkong. Karenanya, setiap kali makan di rumah makan, saya selalu bertanya, “Ada masakan daun singkong?”

Sekadar catatan, saya sangat menggilai segala olahan daun singkong. Di tempat saya tinggal, kadang ada ibu-ibu yang menjajakan gorengan daun singkong. Jadi, daun singkong dicampur atau dibalut dengan tepung, kemudian digoreng (bentuknya mirip bakwan). Kadang pula ada orang yang menjajakan peyek daun singkong. Ini tak jauh beda dengan peyek kacang atau peyek udang, hanya saja kacang atau udangnya diganti daun singkong. Saya suka sekali itu!

Well, well, well, kalau nasinya sudah keras, lalu ditaburi bawang goreng kering, kemudian tersedia masakan daun singkong, saya sudah merasa cukup dan sudah bisa menikmati makan saya. Jika ada tambahan lauk-pauk semisal ikan bakar, ayam goreng, pecel lele, sate kambing, atau yang lainnya, tentu saja lebih bagus. Tetapi kalau pun lauk tambahannya hanya emping, atau tempe goreng yang masih panas, itu pun sudah lezat bagi saya. Di dunia ini, bagi saya, tidak ada yang mengalahkan kenikmatan makan semacam itu.

Lalu bagaimana dengan minumannya? Selera saya juga sederhana. Minuman favorit saya teh—lengkapnya, teh hangat manis, yang diberi perasan air jeruk nipis. Hidup-mati, teh adalah minuman pokok saya. Tambahan catatan, saya tidak suka dengan minuman dingin atau dicampur es, jadi saya juga kurang suka es teh, atau aneka macam jus—kecuali jus apokat. Sehabis bangun tidur, saya memang biasa minum kopi seduhan (instan), tetapi saya lebih suka teh dalam sehari-hari.

Nah, bila saya sudah duduk di depan meja makan, dengan hidangan seperti di atas—nasi yang keras dengan taburan bawang goreng kering, plus masakan daun singkong dan lauk sekadarnya, ditambah teh hangat manis yang diberi perasan air jeruk nipis—saya merasa sedang menghadapi jamuan makan dari surga, dan saya pun sudah menganggap betapa hidup ini indah. (Apalagi jika sambil ditemani Titi Kamal :D).

Karena makan adalah salah satu syarat penting dalam hidup, maka saya pun menjadikan hal itu sebagai prasyarat dalam memilih pasangan hidup—dan inilah hal yang sering kali mendatangkan masalah.

Ada pepatah Belanda yang menyatakan, “De liefde gaat via demaag—Cinta datang melalui perut.” Pepatah itu mungkin tidak seratus persen relevan dalam konteksnya dengan saya, tetapi mungkin ada benarnya juga. Setiap kali saya dekat dengan seorang cewek, dan kami mulai berkencan, dan saya merasa mulai cocok dengannya, hal yang selalu menggagalkan hubungan kami adalah selera makan.

Biasanya, dalam salah satu acara makan malam kami, saya akan mengajak cewek itu ke rumah makan yang saya tahu menyediakan nasi yang keras. Lalu saya akan memperhatikannya makan—apakah dia menikmati makannya atau tidak. Setelah selesai makan, saya akan mengajaknya ngobrol soal makanan tadi, dan melihat reaksinya.

“Jadi, kamu suka nasi yang kayak tadi?” Begitu biasanya saya bertanya.

Dan biasanya pula, yang selalu saja terjadi, cewek itu menjawab, “Hah...? Itu terlalu keras, menurutku. Aku suka nasi yang lembek.”

Maka bubarlah kencan kami.

Memang ada kalanya cewek yang kencan dengan saya sudah mengetahui kecenderungan saya pada nasi yang keras. Dan ketika kami kencan, dia mengaku juga suka nasi yang keras. Tetapi sikapnya ketika makan tak bisa membohongi. Dan saya pun tak percaya ketika dia menjawab, “Uh, yah, aku suka nasi yang keras! Itu hebat!”

Dia bohong—dan kencan kami pun bubar.

Jadi, buat nyokap, famili, saudara, teman-teman, sohib-sohib, handai-taulan, dan siapa pun yang selama ini tak pernah bosan menanyakan kenapa saya masih juga betah melajang, atau belum juga menikah, maka itulah jawabannya. Saya belum menemukan pasangan yang tepat, yang memiliki selera sama pada nasi yang keras. Sederhana, kan...?

 
;