“Bro, kalau tak salah ingat, kau tadi membicarakan soal analogi massa?”
“Senang kau masih mengingatnya.”
“Kau mau menjelaskan lagi untukku? Kau tahu, sepertinya kita sudah nyambung sekarang.”
“Karena konduktor?”
“Hahaha, salah satunya. Tapi, yang lebih penting, sekarang aku tahu alasan kehadiranku di sini.”
“Well, ada sebuah legenda. Tapi aku tak yakin kalau ini legenda—aku lebih yakin ini fabel manusia.”
“Itu pasti istilahmu—selera humormu benar-benar sinting! Nah, ada apa dengan fabel itu…?”
“Sekelompok orang pergi berburu ke hutan. Perhatikan—berburu. Di dalam aktivitas perburuan itu, salah seorang dari mereka terpisah dari rombongan.”
“Lelaki? Perempuan?”
“Sorry, aku lupa menjelaskannya secara detail. Sekelompok pemburu itu semuanya laki-laki. Jadi, salah satu lelaki di antara pemburu itu terpisah dari rombongan. Dia berjalan kesana-kemari di dalam hutan itu, mencari-cari teman-temannya.”
“Ketemu…?”
“Tidak, dia justru tersesat. Semakin jauh laki-laki itu melangkah ke dalam hutan, semakin ia tak yakin dengan jalan yang diambilnya. Tetapi dia terus melangkah, berjalan, terus masuk ke bagian mana pun dalam hutan itu, dengan tujuan untuk menemukan teman-temannya. Sampai kemudian, ketika langkahnya sudah amat jauh masuk di dalam hutan, laki-laki itu menjumpai semacam areal perkampungan. Dia melihat beberapa rumah sederhana yang dibangun di sana, tanaman yang tumbuh dan menghasilkan buah, juga anak-anak yang sedang bermain. Benar-benar sebuah perkampungan penduduk.”
“Dia pasti tak menyangkanya.”
“Benar, laki-laki itu sama sekali tak menyangka akan menemukan areal perkampungan di sana. Karena dalam keadaan tersesat, dia pun mencoba mencari tahu dimana dia berada sekarang. Dia mendekati seseorang yang dilihatnya, dan kemudian menanyakan hal itu. Tapi orang yang ditanyainya sama sekali tidak tahu dan tidak paham apa yang dibicarakan si laki-laki. Mereka dapat berkomunikasi dengan bahasa yang sama, namun mereka tidak saling memahami.”
“Menarik. Lalu apa yang terjadi?”
“Sampai kemudian dibawalah laki-laki itu ke tempat ketua penduduk di sana. Yeah, semacam kepala suku atau semacam itulah. Di sana, laki-laki itu menceritakan masalahnya, bahwa dia terpisah dengan teman-temannya, dan tersesat, dan dia ingin kembali pulang ke tempatnya. Si kepala suku menjawab, para penduduk di tempat itu tak pernah kemana-mana, jadi mereka tak tahu tempat laki-laki itu, mereka juga tak tahu mana jalan keluar yang bisa diambil laki-laki itu untuk pulang.”
“Jadi, laki-laki itu tak bisa pulang…?”
“Benar, dia tak bisa pulang.”
“Apa yang kemudian dilakukannya?”
“Untunglah, dia ada di perkampungan penduduk yang baik. Si kepala suku tadi kemudian menawarkan pada laki-laki itu untuk bergabung bersama mereka, hidup di sana.”
“Dan laki-laki itu setuju?”
“Dia tak punya pilihan, kan? Dia bahkan bersyukur karena menemukan komunitas penduduk di sana—tempat yang telah ia kira tak terjamah manusia. Maka dia pun menyetujui usul si kepala suku, dan laki-laki itu pun mulai hidup di tempat itu. Para penduduk yang baik di sana saling bergotong-royong membuatkan rumah baru untuk si laki-laki, dan mereka berusaha agar si laki-laki bisa nyaman hidup berdampingan dengan mereka.”
“Sepertinya kisah ini akan berakhir happy ending?”
“Kau belum mendengar seluruhnya, pal. Nah, seiring dengan bergantinya hari, laki-laki tadi semakin merasa betah dan nyaman tinggal di perkampungan itu. Dia hidup rukun dengan sesama penduduk, akrab dengan kepala suku, dan mereka pun bekerja bersama-sama, makan bersama, susah-senang bersama. Sampai kemudian…”
“Sampai kemudian…?”
“Well, sampai kemudian, suatu hari laki-laki itu bertemu seorang perempuan yang belum pernah dilihatnya di perkampungan itu. Dilihat dari usianya, perempuan itu sepertinya belum menikah, dan mereka pun berkenalan. Singkat cerita, mereka saling jatuh cinta… dan kemudian memutuskan untuk menikah.”
“Apa kubilang? Kisah ini pasti akan berakhir happy ending!”
“Tunggu sampai kau mendengar kelanjutannya. Di sinilah inti ceritanya, yang sama sekali tak pernah kubayangkan…”
“Apa yang terjadi…?”