Semua orang di kota kecil itu tahu laki-laki itu seorang gelandangan. Tanpa keluarga, hidup menggelandang, dan biasa tidur di emper toko atau pinggir-pinggir jalan. Laki-laki itu berusia 50 tahun, atau lebih dari itu—tak seorang pun yang tahu. Dia biasa berjalan perlahan-lahan, seperti menanggung rasa sakit dan beban berat.
Yang tidak semua orang tahu, laki-laki gelandangan itu selalu masuk ke rumah ibadah setiap jam 12 siang. Dia tak pernah berlama-lama di sana. Biasanya, dia masuk ke rumah ibadah, berdiam beberapa menit, lalu keluar lagi. Pengurus rumah ibadah itu sudah berkali-kali melihatnya, namun tidak berbuat apa-apa karena si gelandangan tua tak pernah mengganggu orang lain dengan kehadirannya.
Sampai kemudian, karena penasaran, si penjaga rumah ibadah menegurnya suatu hari, “Kulihat, kau selalu rajin datang ke sini, tapi hanya sebentar. Apa yang kaulakukan?”
“Oh, aku hanya ingin menyapa Tuhan,” jawab si gelandangan. “Aku hanya duduk di dalam sana, kemudian berkata pada Tuhan, ‘Hei, aku di sini’.”
Suatu hari, gelandangan tua itu tertabrak truk saat sedang melangkah sendirian di pinggir jalan. Si sopir truk mengantuk, dan kendaraannya menghantam tubuh si gelandangan. Si gelandangan dibawa ke rumah sakit—dia menderita cukup parah karena kecelakaan itu. Sopir truk bertanggung jawab atas kelalaiannya, namun dia tak pernah menjenguk korbannya di rumah sakit.
Si gelandangan terkapar sendirian di ranjang rumah sakit—tanpa keluarga, tanpa ada seorang pun yang terlihat menjenguknya. Tetapi wajahnya selalu berseri. Ia tampak selalu bahagia menjalani hari-harinya di rumah sakit.
Tidak ada seorang pun di rumah sakit itu yang tahu, bahwa setiap jam 12 siang, sesosok pengunjung mendatangi gelandangan itu di bangsalnya. Pengunjung itu hanya datang sesaat, namun meninggalkan kebahagiaan yang amat besar bagi si gelandangan. Setiap kali datang, pengunjung itu hanya berkata, “Hei, Aku di sini.”