Minggu, 19 September 2010

Trauma Film Indonesia



Setiap kali menonton film Indonesia, saya lebih sering jengkel dan menyesal, daripada merasa puas dan senang. Sulit sekali menemukan film Indonesia yang benar-benar “bagus”—menurut saya. Bukannya standar saya terlalu tinggi, tapi karena realitasnya memang begitu. Hanya sedikiiiiiiiit sekali film Indonesia yang layak tonton.

Orang menonton film itu kan tujuan utamanya untuk mencari hiburan. Seseorang mau meluangkan waktu sampai dua jam, duduk di hadapan tontonan film, dengan tujuan agar terhibur. Lebih bagus lagi kalau film itu tidak saja menghibur, tetapi juga inspiratif dan menambah wawasan. Lha, faktanya, kebanyakan film Indonesia jauh dari kriteria semacam itu. Bukannya menghibur apalagi inspiratif, film-film itu justru mencederai logika dan menjengkelkan penontonnya!

Coba lihat kebanyakan film Indonesia yang banyak beredar sekarang ini. Tema ceritanya hanya dari itu ke itu—soal hantu-hantu aneh yang tak masuk akal, cinta dan gaya pacaran yang murahan, atau komedi (slapstik ataupun verbal) yang sama sekali tak mampu mengundang tawa. Aneh!

Saat ini, kebanyakan film Indonesia bisa dibilang merupakan kombinasi dari ini: Horor nanggung, dicampur humor nanggung, dicampur adegan panas yang nanggung. Kemudian, campuran yang serba nanggung itu dibuat menjadi sebuah tontonan yang juga nanggung. Hasilnya? Membosankan!

Saya bukan antipati dengan film Indonesia. Saya juga tidak menutup mata akan adanya film Indonesia yang bagus. Seperti “Mendadak Dangdut”, misalnya. Film ini mungkin bertema sederhana—tetapi bagus dan layak ditonton, karena digarap secara serius. Film ini tidak menyuguhkan setan atau hantu atau kuntilanak dan makhluk-makhluk aneh semacamnya, tidak ada pameran paha dan payudara, tidak ada adegan jorok dan dialog yang kasar, tetapi nyatanya film ini bagus dan mendapatkan penghargaan.

Kalau Indonesia memang bisa membuat film yang bagus semacam itu, kenapa masih harus membuat film-film aneh yang asal-asalan…???

Sebagai orang yang suka nonton film, jujur saja saya sedih melihatnya. Setiap kali menyaksikan film Indonesia, selalu yang muncul dalam pikiran saya adalah penyesalan, “Yah, lagi-lagi seperti ini, nyesel banget lihatnya!”

Yang membuat saya tidak habis pikir adalah, kenapa ya, kebanyakan film Indonesia sepertinya sangat hobi membuat adegan-adegan yang tidak relevan. Contohnya seperti berikut:

Suka ngotot: Percakapan atau dialog antar pemain film hampir selalu menggunakan nada tinggi alias ngotot—bahkan ketika membicarakan hal-hal yang sepele dan tidak penting. Kenapa sih harus ngotot jika hanya membicarakan sesuatu yang jelas-jelas remeh-temeh dan tidak penting? Ngomongin hal penting saja bisa dilakukan dengan nada rendah dan suara yang tenang, kenapa harus ngotot saat ngomongin hal-hal sepele dan remeh-temeh…???

Dialog kasar dan kata-kata kotor yang tidak relevan: Silakan saja sebuah film menyelipkan—atau bahkan mengumbar—kata-kata kasar dari para pemainnya. Tapi yang relevan, dong! Kalau suatu kejadian dalam adegan di film tidak mengharuskan dikeluarkannya kata-kata kasar apalagi kotor dan menjijikkan, kenapa harus menyelipkan makian yang kasar? Itu sama sekali tidak menghibur penonton, tetapi justru memuakkan sekaligus menjijikkan!

Adegan di tempat yang jorok: Biasanya ini muncul dalam film-film horor. Entah kenapa, kebanyakan film horor seringkali mempertontonkan adegan di WC yang kumuh, atau di tempat-tempat yang jorok dan kotor. Padahal, kalau mau, adegan di tempat-tempat semacam itu bisa diganti di tempat lain yang lebih baik, sekaligus lebih layak dan lebih beradab untuk disuguhkan pada para penonton. Sah-sah saja sebuah film memperlihatkan adegan di tempat yang jorok dan kotor—tetapi jika kenyataannya memang relevan. Jika tidak, maka adegan semacam itu hanya menjijikkan, sekaligus memualkan perut!

Kostum yang salah kasting: Masak iya anak gelandangan memakai pakaian mahal dan tas bermerek? Masak iya orang berpendidikan tinggi dan bermobil mewah tapi ngomongnya ngaco? Yang relevan, dong! Penonton film tidak hanya membutuhkan tampang dan penampilan yang enak dilihat, tetapi juga relevansi dari tampang dan penampilan itu! Kalau seorang artis lolos kasting untuk peran gelandangan, tapi kuku jarinya terawat menikur, suruh artis itu merusakkan kukunya terlebih dulu!

Lelucon yang tidak lucu: Mungkin karena berpikir bahwa film itu bertujuan untuk menghibur, maka kebanyakan pembuat film Indonesia pun berpikir bahwa cara yang paling mudah untuk itu adalah menyelipkan dialog atau adegan-adegan yang (mereka pikir) lucu dan mampu membuat penonton tertawa. Tetapi, anehnya, selalu saja lelucon yang mereka suguhkan dalam film tidak mampu membuat penonton tertawa, tetapi justru merasa muak!

Adegan yang tidak masuk akal: Dua orang cewek berkata pada teman cowoknya, bahwa mereka ingin buang air kecil di toilet. Tetapi, sesampai di toilet, kedua cewek itu melepaskan kaos dan bra! Halooo…??? Sebenarnya ini film ditujukan untuk orang-orang waras dan normal, ataukah untuk tontonan orang gila dan idiot…??? Saya sih suka-suka aja melihat cewek melepas kaos dan bra, tetapi yang relevan, dong! Menonton cewek yang melepas bra untuk tujuan buang air kecil, membuat penonton jadi meragukan kawarasan otaknya!

Jadi, kalau mau disimpulkan, sepertinya kebanyakan film Indonesia ingin memberikan sebuah tontonan yang (diharapkan) lengkap—ada unsur horornya, ada unsur komedinya, ada pula unsur seksnya. Tetapi, akibatnya, semuanya jadi serba nanggung, serba aneh, juga serba salah!

Saya pikir, kalau tujuannya mau bikin film komedi, ya berikanlah itu secara total. Kalau niatnya mau bikin film seks, mau pameran paha dan payudara, buatlah juga secara total. Jangan nanggung! Logika bodohnya, kalau orang mau menonton adegan seks dan orang telanjang, mereka tidak akan mencarinya di film Indonesia, tetapi akan langsung nyetel film bokep dan menonton Maria Ozawa!

Jujur saja, saya sudah trauma jika menonton film Indonesia. Karena, ya itu tadi, semuanya serba nanggung, serba tidak jelas, dan jauh dari kesan menyenangkan apalagi memuaskan penonton. Jika saya mau meluangkan waktu sampai dua jam untuk menonton film, saya tidak sudi disuguhi film yang murahan, tidak menghibur, juga tidak mendidik! Sebagai pecinta film, setulus hati saya ingin menyatakan bahwa saya sangat sedih menyaksikan film Indonesia.*


*Catatan ini terpaksa saya tulis di sini, karena saya sudah tidak kuat lagi menanggung kesedihan ini.


 
;