“Laki-laki dan perempuan itu memutuskan untuk menikah. Para penduduk di sana sangat gembira mendengar rencana itu, karena itu berarti jumlah mereka akan bertambah. Dengan adanya perkawinan itu, maka si laki-laki telah benar-benar menjadi bagian dari komunitas mereka. Nah, sesuai dengan adat di perkampungan itu, mereka pun kemudian menemui kepala suku untuk mendapatkan restu.”
“Dan si kepala suku memberi restu?”
“Tentu, bahkan si kepala suku pun ikut gembira dengan adanya rencana perkawinan itu.”
“Happy ending, benar…?”
“Seperti yang kubilang tadi, kau belum mendengar seluruhnya. Eh, sebaiknya kau minum kopimu, daripada keburu dingin.”
…
…
“Bro, lanjutkan ceritamu…”
“Nah, para penduduk pun berkumpul di tempat kepala suku, sementara kedua calon mempelai duduk berdampingan dengan senyum gembira. Si kepala suku memberikan kata-kata sambutan pra-peresmian perkawinan itu. Dia memberi tahu si laki-laki, bahwa dia dan seluruh penduduk di sana akan merestui perkawinan mereka, dengan syarat si laki-laki merelakan matanya dicungkil…”
“Merelakan… apa???”
“Merelakan kedua matanya dicungkil.”
“Tapi kenapa…???”
“Bisa tolong ambilkan rokokku?”
“Ini.”
“Dan geretannya.”
“Oh sialan, cepat lanjutkan ceritamu.”
“Rokok ini sepertinya nikmat sekali…”
“Ya, ya, pasti nikmat sekali. Lanjutkan ceritamu.”
“Kau tidak merokok, pal? Sepertinya akan lebih nikmat kalau kau juga merokok. Nyalakan rokokmu.”
“Oh, sialan, oke, oke! Aku merokok sekarang. Lanjutkan ceritamu!”
“Sampai dimana tadi ceritaku?”
“Sampai pada… rencana mencungkil kedua mata laki-laki itu.”
“Oh, yeah. Jadi, laki-laki itu akan direstui untuk menjadi suami si wanita, asalkan laki-laki itu merelakan kedua matanya untuk dicungkil.”
“Tapi kenapa…???”
“Karena begitu si laki-laki menjadi suami si wanita, maka artinya dia telah menjadi bagian dari komunitas masyarakat di sana.”
“Kau belum menjawab pertanyaanku. Kenapa kedua matanya harus dicungkil…?”
“Look, perhatikan faktanya. Kuulangi, begitu si laki-laki menjadi suami si wanita, maka artinya dia telah menjadi bagian dari komunitas masyarakat di sana. Artinya, laki-laki itu juga harus sama dengan masyarakatnya. Selama dia masih memiliki mata, selama itu pula dia masih berbeda. Karena dia telah menyatakan diri untuk bergabung dengan komunitas masyarakat yang buta, maka dia pun harus merelakan kedua matanya dicungkil agar juga sama-sama buta.”
“Oh my God, jadi dia tinggal di dalam komunitas masyarakat yang buta? Kenapa kau tidak menyatakannya dari awal?”
“I did, kau yang tidak memperhatikan. Aku sudah menyatakannya—well, secara tersirat.”
“Lalu… apa yang terjadi? Laki-laki itu mau? Dia merelakan matanya dicungkil?”
“Di sinilah letak keanehan kisah itu. Laki-laki itu bersedia mematuhi persyaratan itu, dan merelakan kedua matanya dicungkil keluar.”
“Oh, bro, jadi sekarang dia tak bisa melihat apa-apa? Sekarang dia buta?”
“Ya, tapi baginya hal itu tidak masalah. Karena sekarang dia telah hidup bersama wanita yang dicintainya, sekarang dia dapat hidup sesuai dengan masyarakatnya, sama seperti mereka.”
“Buta…?”
“Yeah…”
“Itu bukan happy ending seperti yang kubayangkan…”
“Aku tak pernah menyatakan kisah ini berakhir happy ending!”