Tetapi cinta tak bisa dihancurkan meski jarak yang jauh dibentangkan. Sebagaimana yang dirasakan Qais, Laila juga merasakan api cinta di dalam dadanya semakin berkobar dan bukannya semakin padam ketika jarak mereka dipisahkan. Hanya karena ketaatannya kepada orangtualah yang membuat Laila tetap diam, menyembunyikan rasa cintanya begitu rapat. Dan ketika malam-malam hening menyapanya di dalam kesendirian, dia pun menumpahkannya dalam setiap butir air mata. Laila menghadapi dilema, antara cinta kepada kekasihnya dan ketaatan kepada orangtuanya.
Sementara Qais, yang merasa kehilangan Laila, memilih mengasingkan diri di sebuah padang gurun tandus, yang tak terjangkau orang, agar bisa bebas mengekspresikan ‘kegilaan’nya dalam mencintai Laila. Di hamparan padang pasir yang gersang itulah Qais menikmati kesendiriannya, menikmati rasa cintanya, dan menanti waktu yang akan mempertemukannya dengan sang Cinta, sang Laila. Setiap hari, yang selalu disebutnya hanya Laila. Yang selalu terucap di bibirnya hanya nama Laila.
Bila cinta mampu melahirkan pujangga, maka Qais adalah salah satu yang dilahirkannya. Didorong rasa cinta yang begitu besar, Qais merangkai untaian kata indah setiap hari, setiap waktu, meski hanya untuk dinikmatinya sendiri. Dan orang-orang yang kebetulan menemukannya di padang gurun itu pun terpesona pada setiap kata yang dirangkainya. Orang-orang itu lalu menghafalkannya dengan hati-hati, menyampaikannya kepada orang lain, dan mereka menikmati setiap keindahan kata yang telah didengarnya.
Semua keindahan kata-kata itu bermuara kepada sang Keindahan, kepada Laila. Dan dengan cara seperti itulah kemudian hasrat cinta dalam diri Qais tersampaikan kepada Laila. Orang-orang yang mendengar untaian kata itu selalu berusaha menghafalkannya, kemudian menyampaikannya kepada orang lain, dan terus-menerus seperti itu hingga akhirnya sampai juga ke telinga Laila.
Jarak yang begitu jauh, jarak yang dipisahkan oleh padang pasir gersang, gurun yang tandus, mampu dijangkau oleh kekuatan Cinta. Benteng yang kuat, barisan pengawal yang terus menjaga Laila dalam kemahnya, dapat ditembus oleh kelembutan Cinta.
Dan Laila menikmati cinta kekasihnya dari jarak yang sangat jauh itu, menikmatinya sendiri dalam penjara orangtuanya, dan kerinduan kepada sang kekasih pun semakin besar sebagaimana yang juga dirasakan Qais.
Orangtua Qais yang terhormat jelas merasa malu dengan kelakuan anak laki-lakinya. Orang-orang kini menyebut anak mereka sebagai majnun, orang gila. Dan yang membuat hati sang ayah hancur adalah karena kegilaan anaknya disebabkan oleh seorang perempuan, oleh sebuah cinta. Maka dengan ditemani beberapa pengawalnya, sang Sayid pun pergi mencari anaknya di padang gurun, lalu membawanya kembali ke rumah, berusaha mengobati kegilaannya.
Selama dalam upaya menyembuhkannya itu, sang Sayid membawa Qais ke Makkah untuk dipertemukan kepada Ka’bah, Rumah Tuhan, dengan harapan agar Qais bisa kembali kepada kewarasannya, dan bisa melupakan Laila.
Di Makkah, di pusaran orang-orang yang tengah berthawaf di sekeliling Ka’bah, tiba-tiba Qais berlari menerobos ribuan orang yang tengah berdesak-desakan itu, terus berlari dengan sekuat tenaga untuk menjumpai Ka’bah. Begitu sampai di hadapan Ka’bah, Qais memukuli dinding-dindingnya dengan tangannya. Lalu dengan suara yang bercampur antara tawa dan tangis, ia berteriak, “Inilah aku yang datang mengetuk pintu-Mu hari ini. Akulah Majnun, si orang gila, si sinting yang telah melepaskan jiwanya demi cinta...!
“Tuhan, mereka berkata kepadaku bahwa hanya dengan melepaskan cintaku maka aku dapat memperoleh kembali kewarasanku, namun sesungguhnya cinta adalah satu-satunya hal yang kumiliki! Cinta adalah sumber kekuatanku, batu karangku. Jika cintaku mati, maka aku akan mati bersamanya. Itu bagian takdirku, Engkau tahu itu.
“Tuhan, aku memohon kepada-Mu, demi semua nama dan sifat-Mu, biarkan cintaku tumbuh! Biarkan ia merekah sempurna dan tetap mekar walaupun aku telah layu dan mati. Biarkan aku minum dari air mata cinta sampai dahagaku terpuaskan. Dan jika aku sudah terlanjur mabuk oleh anggur cinta, biarkanlah aku menjadi semakin mabuk...!
“Tuhan, mereka semua menyuruhku untuk menghilangkan Laila dari pikiranku, dan memadamkan hasrat di dalam hatiku padanya. Namun, aku memohon kepada-Mu, Tuhan, pahatlah bayangannya lebih dalam di dalam mata hatiku, dan buatlah hasratku kepadanya semakin kuat!
“Bukankah Kau dapat melihat bagaimana aku terbakar karena dia? Dan meskipun aku mengetahui tidak akan pernah terbebas dari kepedihan ini, aku rela. Karena ini memang takdir pilihanku. Karena itu, Tuhan, demi Engkau dan demi Cinta, biarkan cintaku tumbuh semakin kuat di setiap waktu yang berlalu. Cinta adalah satu-satunya yang kumiliki, cinta adalah diriku apa adanya, dan cinta adalah satu-satunya tujuan akhir dalam hidupku...!”
Lanjut ke sini.
Sementara Qais, yang merasa kehilangan Laila, memilih mengasingkan diri di sebuah padang gurun tandus, yang tak terjangkau orang, agar bisa bebas mengekspresikan ‘kegilaan’nya dalam mencintai Laila. Di hamparan padang pasir yang gersang itulah Qais menikmati kesendiriannya, menikmati rasa cintanya, dan menanti waktu yang akan mempertemukannya dengan sang Cinta, sang Laila. Setiap hari, yang selalu disebutnya hanya Laila. Yang selalu terucap di bibirnya hanya nama Laila.
Bila cinta mampu melahirkan pujangga, maka Qais adalah salah satu yang dilahirkannya. Didorong rasa cinta yang begitu besar, Qais merangkai untaian kata indah setiap hari, setiap waktu, meski hanya untuk dinikmatinya sendiri. Dan orang-orang yang kebetulan menemukannya di padang gurun itu pun terpesona pada setiap kata yang dirangkainya. Orang-orang itu lalu menghafalkannya dengan hati-hati, menyampaikannya kepada orang lain, dan mereka menikmati setiap keindahan kata yang telah didengarnya.
Semua keindahan kata-kata itu bermuara kepada sang Keindahan, kepada Laila. Dan dengan cara seperti itulah kemudian hasrat cinta dalam diri Qais tersampaikan kepada Laila. Orang-orang yang mendengar untaian kata itu selalu berusaha menghafalkannya, kemudian menyampaikannya kepada orang lain, dan terus-menerus seperti itu hingga akhirnya sampai juga ke telinga Laila.
Jarak yang begitu jauh, jarak yang dipisahkan oleh padang pasir gersang, gurun yang tandus, mampu dijangkau oleh kekuatan Cinta. Benteng yang kuat, barisan pengawal yang terus menjaga Laila dalam kemahnya, dapat ditembus oleh kelembutan Cinta.
Dan Laila menikmati cinta kekasihnya dari jarak yang sangat jauh itu, menikmatinya sendiri dalam penjara orangtuanya, dan kerinduan kepada sang kekasih pun semakin besar sebagaimana yang juga dirasakan Qais.
Orangtua Qais yang terhormat jelas merasa malu dengan kelakuan anak laki-lakinya. Orang-orang kini menyebut anak mereka sebagai majnun, orang gila. Dan yang membuat hati sang ayah hancur adalah karena kegilaan anaknya disebabkan oleh seorang perempuan, oleh sebuah cinta. Maka dengan ditemani beberapa pengawalnya, sang Sayid pun pergi mencari anaknya di padang gurun, lalu membawanya kembali ke rumah, berusaha mengobati kegilaannya.
Selama dalam upaya menyembuhkannya itu, sang Sayid membawa Qais ke Makkah untuk dipertemukan kepada Ka’bah, Rumah Tuhan, dengan harapan agar Qais bisa kembali kepada kewarasannya, dan bisa melupakan Laila.
Di Makkah, di pusaran orang-orang yang tengah berthawaf di sekeliling Ka’bah, tiba-tiba Qais berlari menerobos ribuan orang yang tengah berdesak-desakan itu, terus berlari dengan sekuat tenaga untuk menjumpai Ka’bah. Begitu sampai di hadapan Ka’bah, Qais memukuli dinding-dindingnya dengan tangannya. Lalu dengan suara yang bercampur antara tawa dan tangis, ia berteriak, “Inilah aku yang datang mengetuk pintu-Mu hari ini. Akulah Majnun, si orang gila, si sinting yang telah melepaskan jiwanya demi cinta...!
“Tuhan, mereka berkata kepadaku bahwa hanya dengan melepaskan cintaku maka aku dapat memperoleh kembali kewarasanku, namun sesungguhnya cinta adalah satu-satunya hal yang kumiliki! Cinta adalah sumber kekuatanku, batu karangku. Jika cintaku mati, maka aku akan mati bersamanya. Itu bagian takdirku, Engkau tahu itu.
“Tuhan, aku memohon kepada-Mu, demi semua nama dan sifat-Mu, biarkan cintaku tumbuh! Biarkan ia merekah sempurna dan tetap mekar walaupun aku telah layu dan mati. Biarkan aku minum dari air mata cinta sampai dahagaku terpuaskan. Dan jika aku sudah terlanjur mabuk oleh anggur cinta, biarkanlah aku menjadi semakin mabuk...!
“Tuhan, mereka semua menyuruhku untuk menghilangkan Laila dari pikiranku, dan memadamkan hasrat di dalam hatiku padanya. Namun, aku memohon kepada-Mu, Tuhan, pahatlah bayangannya lebih dalam di dalam mata hatiku, dan buatlah hasratku kepadanya semakin kuat!
“Bukankah Kau dapat melihat bagaimana aku terbakar karena dia? Dan meskipun aku mengetahui tidak akan pernah terbebas dari kepedihan ini, aku rela. Karena ini memang takdir pilihanku. Karena itu, Tuhan, demi Engkau dan demi Cinta, biarkan cintaku tumbuh semakin kuat di setiap waktu yang berlalu. Cinta adalah satu-satunya yang kumiliki, cinta adalah diriku apa adanya, dan cinta adalah satu-satunya tujuan akhir dalam hidupku...!”
Lanjut ke sini.