Apa yang diperkirakan oleh Laila ternyata benar. Begitu mendengar berita kematian kekasihnya, Qais si Majnun segera berlari ke pusaranya, seperti awan petir yang digerakkan amukan badai.
Awalnya, Qais seolah tak terima dengan kematian kekasihnya. Tetapi kemudian, ketika kematian Laila mulai meresap dan mengendap ke dalam hatinya, Qais pun kehilangan kesadarannya. Untuk beberapa lama, ia terduduk saja di tepi kubur Laila, tidak mampu berbicara... dan akhirnya menangis tersedu-sedu.
“Katakan padaku bagaimana keadaanmu di kegelapan di dalam sana? Apa yang telah terjadi pada kecantikanmu sekarang? Tahi lalat di pipimu, matamu yang bercahaya, harum semerbak rambutmu yang sehitam malam—apa yang telah terjadi pada mereka...?
“Betapa kau telah berubah, Kasihku! Tangan takdir yang kejam telah mengaduk-aduk badai di hatimu, memutarmu hingga kau tak sadarkan diri, dan kebingungan, hingga yang kauinginkan hanyalah sebuah kebebasan. Kini kau tersembunyi dari mataku, tapi hatiku dapat melihatmu dan tidak akan pernah berhenti memandangmu...!”
Selama berhari-hari, Qais hanya menghabiskan waktunya untuk bersimpuh di makam Laila. Kesedihan ditinggal mati sang kekasih benar-benar mengguncang saraf manusianya, dan dia merasa kesedihan itu takkan bisa reda meski waktu terus-menerus mencoba mengikisnya.
Ada kalanya Qais kembali ke tempat pengasingannya, di gurun pasir, tetapi kemudian kembali mengunjungi makam Laila, dan menghabiskan banyak harinya di situ. Akibat diterjang kesedihan demi kesedihan, kesehatan Qais pun melemah dengan sangat cepat. Sampai kemudian, ketika merasa ajal akan segera menjemputnya, Qais meninggalkan padang pasir dengan tertatih-tatih, untuk menuju makam Laila. Dan di sana, tubuhnya semakin melemah dan melemah.
Senja hari itu, langit berwarna lembayung, dan ditaburi bintang-bintang. Bimasakti tampak seperti sungai yang mengalir deras. Tak berapa lama lagi, perahu sang Majnun akan mengangkat jangkar untuk terakhir kalinya, lalu jiwanya akan bergabung dengan sungai itu untuk perjalanan terakhirnya. Qais, sang Majnun, duduk kelelahan di kaki pusara Laila, menegadahkan wajahnya ke arah langit, dan kemudian berbisik...
“Tuhan, aku memohon pada-Mu dengan nama-Mu, lepaskan beban hidupku. Bebaskan aku, dan biarkan aku menemui kekasihku. Hancurkan belenggu yang mengikatku kepada dunia yang kejam ini, dan biarkan aku terbang...”
Qais menutup matanya dan berbaring di sisi makam Laila, mendekapkan tubuhnya kepada tanah dengan segenap tenaganya yang tersisa. Bibirnya yang kering bergerak-gerak dalam bisik lirih. Kemudian, dengan kata-kata, “Laila, Kekasihku...” arwahnya terbebas, dan ia pun telah tiada.
Beberapa riwayat menyatakan bahwa jenazah Majnun tergeletak di makam Laila selama sebulan, sementara riwayat yang lain mengatakan setahun. Beberapa orang di sana yang melihatnya bersumpah bahwa Qais tidak mati, melainkan hanya tidur belaka. Mereka bahkan tidak percaya Qais tidak akan pernah bangkit kembali.
Setelah meyakini Qais telah meninggal dunia, orang-orang pun mulai mengurus jenazahnya. Anggota dari dua kabilah (kabilah Laila dan kabilah Majnun) datang untuk bersimpuh dan menangis pada makam dimana orang kesayangan mereka terbaring. Hanya dalam kematian, mereka diizinkan untuk bersanding. Sebuah nisan pun dibuat, dan di atasnya ditatahkan kata-kata ini:
Beberapa tahun kemudian, seorang sufi bermimpi melihat Qais, si Majnun, berada di samping Tuhan, dan Tuhan berkata pada Majnun dengan penuh kasih sayang, “Tidakkah kau malu memanggil Aku dengan nama Laila, setelah kauteguk anggur cinta-Ku?”
Sufi itu langsung terbangun dengan keringat mengucur di tubuhnya. Ia telah melihat ‘tempat’ Majnun. Tuhan telah memberikan jalan bagi Majnun untuk menuju kepada-Nya. Dan Majnun pun bisa menemui Tuhan dengan menyusuri jalan cinta yang telah diberikan kepadanya. Cinta telah mengantarkan Majnun untuk sampai dalam pelukan kasih Tuhan.
Lalu dimana ‘tempat’ Laila? Tuhan kemudian mengilhamkan ke dalam hati sang sufi itu, bahwa posisi Laila lebih tinggi lagi, karena Laila menyembunyikan kisah cintanya dalam hati. Kaum sufi menganggap Majnun dan Laila adalah kisah kecintaan seorang pecinta dengan Tuhannya, Kekasihnya. Majnun adalah pecinta. Sementara Laila adalah jalan menuju Tuhan, yang cintanya tersembunyi.
Awalnya, Qais seolah tak terima dengan kematian kekasihnya. Tetapi kemudian, ketika kematian Laila mulai meresap dan mengendap ke dalam hatinya, Qais pun kehilangan kesadarannya. Untuk beberapa lama, ia terduduk saja di tepi kubur Laila, tidak mampu berbicara... dan akhirnya menangis tersedu-sedu.
“Katakan padaku bagaimana keadaanmu di kegelapan di dalam sana? Apa yang telah terjadi pada kecantikanmu sekarang? Tahi lalat di pipimu, matamu yang bercahaya, harum semerbak rambutmu yang sehitam malam—apa yang telah terjadi pada mereka...?
“Betapa kau telah berubah, Kasihku! Tangan takdir yang kejam telah mengaduk-aduk badai di hatimu, memutarmu hingga kau tak sadarkan diri, dan kebingungan, hingga yang kauinginkan hanyalah sebuah kebebasan. Kini kau tersembunyi dari mataku, tapi hatiku dapat melihatmu dan tidak akan pernah berhenti memandangmu...!”
Selama berhari-hari, Qais hanya menghabiskan waktunya untuk bersimpuh di makam Laila. Kesedihan ditinggal mati sang kekasih benar-benar mengguncang saraf manusianya, dan dia merasa kesedihan itu takkan bisa reda meski waktu terus-menerus mencoba mengikisnya.
Ada kalanya Qais kembali ke tempat pengasingannya, di gurun pasir, tetapi kemudian kembali mengunjungi makam Laila, dan menghabiskan banyak harinya di situ. Akibat diterjang kesedihan demi kesedihan, kesehatan Qais pun melemah dengan sangat cepat. Sampai kemudian, ketika merasa ajal akan segera menjemputnya, Qais meninggalkan padang pasir dengan tertatih-tatih, untuk menuju makam Laila. Dan di sana, tubuhnya semakin melemah dan melemah.
Senja hari itu, langit berwarna lembayung, dan ditaburi bintang-bintang. Bimasakti tampak seperti sungai yang mengalir deras. Tak berapa lama lagi, perahu sang Majnun akan mengangkat jangkar untuk terakhir kalinya, lalu jiwanya akan bergabung dengan sungai itu untuk perjalanan terakhirnya. Qais, sang Majnun, duduk kelelahan di kaki pusara Laila, menegadahkan wajahnya ke arah langit, dan kemudian berbisik...
“Tuhan, aku memohon pada-Mu dengan nama-Mu, lepaskan beban hidupku. Bebaskan aku, dan biarkan aku menemui kekasihku. Hancurkan belenggu yang mengikatku kepada dunia yang kejam ini, dan biarkan aku terbang...”
Qais menutup matanya dan berbaring di sisi makam Laila, mendekapkan tubuhnya kepada tanah dengan segenap tenaganya yang tersisa. Bibirnya yang kering bergerak-gerak dalam bisik lirih. Kemudian, dengan kata-kata, “Laila, Kekasihku...” arwahnya terbebas, dan ia pun telah tiada.
Beberapa riwayat menyatakan bahwa jenazah Majnun tergeletak di makam Laila selama sebulan, sementara riwayat yang lain mengatakan setahun. Beberapa orang di sana yang melihatnya bersumpah bahwa Qais tidak mati, melainkan hanya tidur belaka. Mereka bahkan tidak percaya Qais tidak akan pernah bangkit kembali.
Setelah meyakini Qais telah meninggal dunia, orang-orang pun mulai mengurus jenazahnya. Anggota dari dua kabilah (kabilah Laila dan kabilah Majnun) datang untuk bersimpuh dan menangis pada makam dimana orang kesayangan mereka terbaring. Hanya dalam kematian, mereka diizinkan untuk bersanding. Sebuah nisan pun dibuat, dan di atasnya ditatahkan kata-kata ini:
Sepasang kekasih terbaring dalam kesunyian,
disandingkan di dalam rahim gelap kematian.
Sejati dalam cinta, setia dalam penantian,
satu hati, satu jiwa, di dalam surga keabadian.
disandingkan di dalam rahim gelap kematian.
Sejati dalam cinta, setia dalam penantian,
satu hati, satu jiwa, di dalam surga keabadian.
Beberapa tahun kemudian, seorang sufi bermimpi melihat Qais, si Majnun, berada di samping Tuhan, dan Tuhan berkata pada Majnun dengan penuh kasih sayang, “Tidakkah kau malu memanggil Aku dengan nama Laila, setelah kauteguk anggur cinta-Ku?”
Sufi itu langsung terbangun dengan keringat mengucur di tubuhnya. Ia telah melihat ‘tempat’ Majnun. Tuhan telah memberikan jalan bagi Majnun untuk menuju kepada-Nya. Dan Majnun pun bisa menemui Tuhan dengan menyusuri jalan cinta yang telah diberikan kepadanya. Cinta telah mengantarkan Majnun untuk sampai dalam pelukan kasih Tuhan.
Lalu dimana ‘tempat’ Laila? Tuhan kemudian mengilhamkan ke dalam hati sang sufi itu, bahwa posisi Laila lebih tinggi lagi, karena Laila menyembunyikan kisah cintanya dalam hati. Kaum sufi menganggap Majnun dan Laila adalah kisah kecintaan seorang pecinta dengan Tuhannya, Kekasihnya. Majnun adalah pecinta. Sementara Laila adalah jalan menuju Tuhan, yang cintanya tersembunyi.