Keraguan adalah peringkat pertama dari keyakinan.
—Al Ghazali
Untuk mengetahui kebenaran, kita terlebih dulu harus meragukan
segala sesuatu. Keraguan adalah jalan pertama menuju keyakinan.
—Rene Descartes
—Al Ghazali
Untuk mengetahui kebenaran, kita terlebih dulu harus meragukan
segala sesuatu. Keraguan adalah jalan pertama menuju keyakinan.
—Rene Descartes
Ambillah sebuah gelas yang kosong. Kemudian, tuangkan air ke dalam gelas itu hingga setengahnya. Sudah…? Nah, sekarang katakan, apakah gelas itu setengah penuh, ataukah setengah kosong.
Tentu saja, untuk dapat dengan yakin menyebutkan apakah gelas itu setengah penuh atau setengah kosong, kita harus mengukurnya dengan pasti. Jika jumlah air yang ada dalam gelas itu lebih banyak dibanding ruang yang kosong, maka gelas itu setengah penuh. Tetapi, jika ruangan yang kosong lebih besar dibanding jumlah air yang tertuang, maka berarti gelas itu setengah kosong.
Ketika dihadapkan pada kasus semacam ini, kebanyakan orang malas untuk mencari kepastian, dan biasanya hanya mendasarkan keyakinannya pada asumsi. Mungkin orang akan menatap gelas itu sesaat, menakar dan mengira-ngira apakah gelas itu setengah kosong atau setengah terisi, dan kemudian membangun keyakinannya atas dasar perkiraannya tersebut. Nah, “perkiraan” di dalam hal ini disebut asumsi.
Lalu, apakah asumsi itu? Secara mudah, asumsi didefinisikan sebagai perkiraan—lebih tepatnya lagi, perkiraan kasar. Tetapi, sesungguhnya, makna asumsi lebih dari itu. Di dalam konteks keyakinan, asumsi adalah “kesengajaan untuk memasukkan diri ke dalam ketidaktahuan”. Ketika orang menyandarkan suatu keyakinan hanya kepada asumsi, maka dia sesungguhnya menyandarkan keyakinannya kepada sesuatu yang tidak diketahuinya secara pasti. Asumsi itu bisa saja benar, tetapi juga bisa keliru.
Jangankan asumsi yang hanya berdasarkan perkiraan, bahkan asumsi yang melibatkan penelitian pun tidak menjamin kebenaran pasti. Ingat selalu, di dalam keyakinan, asumsi adalah kesengajaan untuk memasukkan diri di dalam ketidaktahuan. Dan di sini, bahkan upaya yang serius untuk meneliti suatu keyakinan pun terkadang hanya memberikan sebentuk asumsi. Contoh paling nyata dalam hal ini adalah ‘asumsi’ yang diyakini oleh Percival Lowell.
Percival Lowell, dari Amerika, adalah seorang astronom dunia paling top di awal abad 20-an. Menurut pengamatannya di Flagstaff, Arizona, ia telah menguji kebenaran hipotesa yang dikeluarkan oleh Giovanni Virginio Schiaparelli, seorang astronom Italia, yang percaya bahwa di planet Mars pernah ada kanal.
Tidak hanya itu, Percival Lowell juga mengatakan bahwa kanal-kanal itu berwarna merah, dan tampaknya bergerak. Di dalam bukunya, Mars As the Abode of Life, Lowell tidak hanya menggambarkan penemuannya tersebut, tapi juga menggambarkan peta mengenai kanal itu. Ide dan petanya itu pun kemudian muncul di buku-buku pelajaran sekolah di seluruh dunia.
Nah, sebenarnya, bagaimana pun juga, tidak ada kanal di planet Mars. Percival Lowell, seorang terpelajar yang sangat teliti, menderita penyakit mata yang masih langka—yang tidak diketahuinya. Bila ia melihat dari teleskop, ia melihat urat nadi merah di matanya sendiri. Namun karena sangat dihormati di kalangan itu, para astronom lain tidak menentang penemuannya—setidaknya waktu pertama kali penemuan itu muncul.
Keberadaan kanal di planet Mars diyakini oleh Lowell sebagai kenyataan, tetapi sesungguhnya hanya bentuk yang tercipta dari asumsinya—karena penyakit mata yang dideritanya. Tentu saja kita tidak bisa menyalahkan Lowell, karena bagaimana pun juga dia telah berupaya secara maksimal dalam hal itu. Nah, jika orang yang seserius Percival Lowell saja bisa ‘ditipu’ oleh keyakinannya sendiri, apalagi orang lain yang sama sekali tidak melakukan penelitian apa pun atas keyakinannya…?
Kehidupan kita dibentuk oleh keyakinan kita. Apa saja yang kita yakini akan menjadi penentu sekian banyak hal yang kita pilih, kita ambil, dan kita lakukan dalam hidup. Dan keyakinan itu dibentuk oleh lingkungan kita—tempat kita lahir, keluarga tempat kita tumbuh besar, sekolah tempat kita belajar, pergaulan tempat kita bersosialisasi, sampai pada makanan, minuman, buku bacaan, musik, film, dan hal lain yang biasa menyentuh kehidupan kita.
Manusia adalah produk lingkungannya. Lingkungannya adalah pembentuk keyakinannya. Keyakinannya akan mempengaruhi kehidupannya. Kehidupan seseorang akan ditentukan oleh apa yang diyakininya. Pertanyaan pentingnya, bagaimana kalau ternyata keyakinan yang kita yakini itu bukanlah keyakinan yang benar? Bagaimana kalau ternyata sesuatu yang kita yakini mati-matian ternyata keliru dan justru menjerumuskan kita…?
....
....
Ambillah sebuah gelas yang kosong. Kemudian, tuangkan air ke dalam gelas itu hingga setengahnya. Sudah…? Nah, sekarang katakan, apakah gelas itu setengah penuh, ataukah setengah kosong.
Jika hasil penilaian kita terhadap isi gelas itu sama sekali tidak akan berpengaruh apa-apa dalam kehidupan kita, maka semuanya memang baik-baik saja. Tak peduli perkiraan dan keyakinan kita atas isi gelas itu benar atau tidak, hasilnya tidak masalah. Peduli amat dengan isi gelas!
Tetapi, bagaimana kalau perkiraan dan keyakinan kita terhadap isi gelas itu akan memiliki pengaruh—bahkan pengaruh yang besar—dalam kehidupan kita? Bukankah mengerikan ketika hal semacam itu hanya kita sandarkan di dalam sebuah perkiraan—sebuah asumsi?
Ingat selalu, di dalam keyakinan, asumsi adalah kesengajaan diri untuk masuk ke dalam ketidaktahuan. Tak peduli sekuat dan sehebat apa pun keyakinan seseorang, keyakinan itu hanyalah kegelapan ketidaktahuan jika hanya disandarkan pada asumsi. Dan, yang mengerikan, keyakinan yang hanya berdasarkan pada asumsi ada kalanya membawa bencana.
Ingat tragedi Titanic…? Tragedi yang menimpa kapal Titanic adalah hasil dari keyakinan yang salah, asumsi yang keliru. Ketika Titanic akan mulai berlayar, dan para penumpang telah masuk ke dalam kabinnya masing-masing, seorang wanita bernama Sylvia Caldwell bertanya sehebat apa kapal yang sekarang ditumpanginya itu. “Benarkah Titanic benar-benar aman?”
Mendengar pertanyaan Sylvia Caldwell, seorang pelaut di kapal Titanic menyatakan, “Yes, Lady, God himself could not sink this ship—Ya, Nyonya, bahkan Tuhan pun tidak bisa menenggelamkan kapal ini.”
Suatu keyakinan yang hebat, asumsi yang luar biasa. Dan keyakinan yang ‘hebat’ itu kemudian menewaskan 1.513 orang—jumlah korban yang terlalu besar untuk sebuah asumsi.
Titanic mulai berlayar pada tanggal 10 April 1912. Kapal super besar ini memang dirancang sebagai kapal yang tak mungkin tenggelam—terbuat dari baja, serta memiliki dasar ganda dan 16 kompartemen anti bocor. Hampir semua orang yakin bahwa ini kapal paling aman yang pernah dibuat, dan keyakinan itulah yang dipegang teguh oleh perancangnya, ahli mesinnya, karyawannya, ABK kapal, pemilik, dan penumpang, termasuk pula sebagian besar masyarakat umum. Tetapi, keyakinan bahwa Titanic tidak akan pernah tenggelam itulah yang justru membawa kapal ini ke akhir yang tragis.
Umumnya, kapal yang berlayar di lautan membawa jumlah sekoci untuk menampung semua orang yang ada di kapal. Tapi tidak untuk Titanic. Kapal ini hanya membawa sekoci yang hanya mampu memuat sepertiga dari seluruh penumpang. Selain itu, tidak ada alat yang praktis untuk digunakan evakuasi, karena mereka sudah terlalu yakin bahwa kapal itu tidak mungkin tenggelam—jadi untuk apa mempersiapkan alat-alat penyelamatan?
Pada awalnya, log kapal mencatat peringatan akan adanya gunung es dalam steamer lane dalam waktu tiga hari mendatang. Pesan ini tidak digubris oleh Titanic. Peringatan kedua dikirimkan, namun sang operator radio tidak juga memberi tanggapan. Mereka tetap teguh dalam keyakinan bahwa Titanic yang super besar itu tidak mungkin tenggelam.
Peringatan berikutnya muncul beberapa jam kemudian, namun kapten kapal atau pun manajernya tidak juga khawatir. Titanic sedang melaju penuh dengan kecepatan 22 knot per jam. Menjelang pukul 21:30 malam, Titanic merekam lima peringatan akan kehadiran gunung es, dengan laporan terakhir yang menyebutkan kapal akan mengalami tabrakan. Tapi tindakan waspada yang dilakukan hanyalah menyuruh penjaga malam untuk tetap waspada.
Dua jam kemudian, pada pukul 23:32 malam, pesan berikutnya diudarakan ke Titanic oleh seorang pelaut di sebuah kapal yang kebetulan berada tak jauh dari tempat Titanic melaju, tapi kapten kapal tetap saja tak mempedulikan. Dan Titanic, dengan sebongkah besar keyakinannya akan kapal yang mustahil tenggelam, melaju terus.
Pada pukul 23:40 malam, sebuah gunung es yang luar biasa besar terlihat di depan… namun segalanya sudah terlambat. Titanic menabrak bongkahan gunung es yang tidak bergerak ini, dan bagian dasarnya yang dari baja menerima hantaman yang sangat keras. Pintu yang seharusnya anti bocor dan bulkhead-nya tidak dapat menahan serangan, dan Titanic yang diyakini mustahil tenggelam itu pun mulai merunduk… dan tenggelam.
Sekoci dilempar ke air, namun hanya mampu menampung sedikit penumpang. Sinyal permintaan bantuan dikirimkan, namun tak ada yang terlalu peduli karena dikira Titanic benar-benar tak mungkin tenggelam. Dan Titanic pun akhirnya benar-benar lenyap dari atas perairan dalam waktu tidak lebih dari tiga jam. Tenggelamnya Titanic dan tragedi besarnya adalah hasil dari sebuah keyakinan yang salah—asumsi yang keliru.
....
....
Kita memang tidak sedang berada di kapal Titanic. Tetapi kita sedang menjalani fragmen yang sama di dalam kapal besar yang tengah melaju di atas perairan kehidupan. Dan kapal yang kita tumpangi ini berlayar di atas keyakinan-keyakinan, yang kita yakini akan mengantarkan kita pada tempat tujuan. Dan di sini, pertanyaan yang paling menggelisahkan adalah, “Benarkah apa yang kita yakini itu…?”
Jadi, ambillah sebuah gelas yang kosong. Kemudian, tuangkan air ke dalam gelas itu hingga setengahnya. Sudah…? Nah, sekarang katakan, apakah gelas itu setengah penuh, ataukah setengah kosong.
Jika kita kesulitan untuk memastikannya, atau memang malas membuktikannya, mungkin kita harus meniru filsafat Dian Sastro, “Pecahkan saja gelas itu!”