Melewati jalan sepi, malam menjelang dini hari. Menyusuri jalanan yang semenjak tadi ramai oleh celoteh mulut-mulut yang riang merayakan malam—jiwa-jiwa hampa yang menyambut hari sambil melemparkan sampah busuk yang kian menggunung di pinggir jalan raya. Melewati hatiku, melewati jiwamu, melewati kenaifan dan keanehan umat manusia...
Orang-orang menggenapkan dirinya dengan keyakinan, menunggu malam penuh keajaiban yang diharapkan dapat memurnikan kemanusiaan mereka. Menghabiskan malam... melantunkan litani.
Dan sementara itu, mereka menghitung-hitung jarak dunia dengan surga. Mereka meninggalkan angin untuk menyongsong badai, mengacungkan tangannya pada halilintar di langit—kemudian terbakar, dan merasa heran. Mereka menghabiskan hari-hari untuk yakin, namun pikiran mereka terus menelan kebodohan, jiwa mereka terus meminum kenaifan, hati mereka terus menyerap sampah busuk peradaban.
Mereka menunggu malam penuh keajaiban, namun di malam-malam lain mereka tak pernah mengerti makna malam, ketakutan memasuki keheningan... dan kesunyian.
Dan sementara itu, sampah mereka menggunung di pinggir-pinggir kehidupannya, memuakkan perut dan menusuk hidung, memualkan orang-orang yang lewat.
Besok pagi mereka akan pergi dengan kemenangan, merayakan kehidupan—dan melupakan onggokan sampah yang telah mereka timbun tadi malam. Dan sesudahnya, mereka akan menganggap semuanya usai.
....
....
Dan sementara itu, angin menyusuri jalan-jalan sunyi larut malam menjelang pagi, sambil menghirup bau busuk sampah menggunung di malam ini.