Ini pertanyaan yang paling banyak saya terima, sekaligus paling membuat saya tidak pede menjawabnya. Pertanyaan ini sama seringnya dengan pertanyaan, “Bagaimana menjaga mood membaca?” Sama juga seperti pertanyaan yang pertama, pertanyaan kedua itu pun juga membuat saya tidak pede menjawabnya. Oke, kita mulai saja pertanyaan yang pertama—soal menjaga mood menulis.
Saya harus mengakui terlebih dulu bahwa faktor yang membuat saya tidak pede menjawab pertanyaan ini adalah karena saya sendiri tidak yakin dengan formula yang dapat dijadikan sebagai semacam obat untuk menjaga mood menulis. Jangankan solusi atau formula pemecahannya, penyebab hilangnya mood sendiri pun masih membingungkan buat saya. Masing-masing orang bisa saja “beda kasus” dalam hal hilangnya mood.
Mood itu kan semacam gairah—dan ini adalah gairah yang aneh. Pada suatu waktu, kita bisa merasa bergairah dan menggebu-gebu menulis, hingga berjam-jam lamanya duduk di depan meja atau komputer, menulis berpuluh-puluh halaman tanpa kenal waktu. Tetapi, di waktu lain, entah kenapa dan apa sebabnya, tiba-tiba gairah itu hilang—dan kita pun jadi malas menulis.
Kenapa hal semacam itu terjadi? Sejujurnya, saya tidak tahu—karena masing-masing orang tentunya memiliki penyebab yang berbeda-beda, yang tidak bisa dipastikan, menyangkut hilangnya mood menulis. Hanya saja, jika saya melihat diri sendiri, penyebab hilangnya mood menulis itu seringkali karena perasaan yang tidak kondusif, dan rasa bosan atau jenuh. Jangan dikira para penulis tidak pernah merasakan jenuh menulis. Mereka tetap manusia biasa, yang tetap saja dapat merasakan kejenuhan dalam aktivitasnya.
Dua hal di atas itulah yang kadang—dan seringkali—membuat saya kehilangan mood menulis. Perasaan yang tidak kondusif, dan rasa jenuh atau bosan. Mungkin ada penyebab lain yang membuat seseorang kehilangan mood menulis, tetapi bagi saya dua hal itulah yang paling membuat saya kehilangan mood dalam menulis. Kita akan melihatnya satu per satu.
Yang pertama, perasaan yang tidak kondusif. Ketika saya sedang kacau karena memikirkan sesuatu, maka biasanya mood menulis saya menguap. Kacaunya perasaan ini bisa disebabkan oleh berbagai hal—dari hal-hal kecil sampai hal-hal yang besar. Dan semakin besar sumber penyebab kekacauan perasaan yang timbul, semakin sulit pula saya mengembalikan mood saya dalam menulis.
Ketika perasaan kacau yang saya rasakan atau pikirkan tergolong kecil, saya biasanya mengobatinya dengan melakukan hal-hal yang sekiranya dapat menetralisir perasaan itu. Entah dengan mendengarkan musik yang saya sukai, atau dengan menonton film terbaru. Biasanya, setelah melakukan satu di antara kedua hal itu, perasaan saya akan kembali adem atau tenang, dan saya pun sudah bisa mengembalikan mood saya yang hilang.
Tetapi, ketika perasaan kacau yang saya rasakan tergolong besar atau berat, maka berat pulalah cara mengobatinya. Ketika hal semacam itu terjadi, biasanya saya perlu waktu yang cukup lama untuk dapat mengembalikan mood saya. Cara yang biasa saya lakukan untuk dapat menenteramkan perasaan semacam itu adalah masuk ke ruang perpustakaan di rumah saya, kemudian duduk dan merokok sambil memandangi rak-rak buku yang ada di sana.
Oke, ini cara atau solusi yang bersifat personal, dan saya tidak merekomendasikan cara ini kepadamu—karena bisa saja cara yang saya lakukan itu tidak cocok untukmu. Hanya saja, cara itulah satu-satunya yang selama ini membantu saya untuk kembali merasa tenteram setelah merasa kacau dalam perasaan.
Kebetulan, saya tinggal sendirian di rumah. Jadi, suasana yang hening di rumah ikut membantu menenteramkan perasaan saya. Dan ruang perpustakaan adalah tempat paling hening yang dapat saya rasakan. Jadi di sanalah saya selalu melarikan diri ketika merasa risau, kacau, ataupun galau, dan ingin kembali menenteramkan perasaan. Di ruangan itu, saya tidak melakukan apa-apa. Seperti yang saya sebutkan di atas, saya hanya duduk, merokok, dan memandangi buku-buku yang terhampar pada rak-rak di sana. Sunyi, hening, sendirian. Dan saya bisa duduk seperti itu sampai berjam-jam.
Jorge Luis Borges, seorang sastrawan, menyatakan, “Saya selalu membayangkan surga itu seperti perpustakaan.”
Nah, tepat seperti itulah yang saya rasakan ketika duduk di ruang perpustakaan, ketika saya sedang berusaha mengembalikan perasaan yang sangat kacau. Kita mungkin sering mendengar ungkapan yang menyatakan bahwa kedekatan dengan seseorang yang dicintai membuat kita merasa tenteram. Ungkapan itu sepertinya memang benar. Seseorang yang dicintai—atau sesuatu yang dicintai—memang mampu membuat perasaan kita menjadi tenteram.