Minggu, 03 Oktober 2010

Menyoal Buku Motivasional (3)



Penyebab kelima mengapa orang tidak cocok dengan buku motivasional adalah karena latar belakang dari orang bersangkutan.

Kalau kau lahir dan tumbuh besar dalam sebuah keluarga yang berkecukupan, atau bahkan berkelimpahan, dan kau dapat menjalani hubungan sosial dengan baik, melewati pergaulan dengan baik, dapat menjalani pendidikan serta meraih karir dengan baik, dan kau tidak pernah merasakan kelaparan, tidak pernah merasa rendah diri dengan sesamamu karena kau tidak merasa berkekurangan, maka kau pun mungkin tidak akan cocok dengan buku-buku motivasional.

Tetapi terimalah fakta ini: Tidak setiap orang menjalani hidup dengan baik seperti dirimu. Tidak setiap orang memiliki orang tua atau keluarga yang berkecukupan atau bahkan berkelimpahan. Tidak setiap orang dapat menjalani kehidupannya dengan lancar karena banyaknya kekurangan. Tidak setiap orang dapat menikmati makanan enak apalagi lezat karena mereka justru sering kelaparan. Tidak setiap orang dapat menghadapi orang lainnya dengan kepala tegak karena merasa rendah diri, karena menyadari banyaknya kekurangan mereka.

Orang-orang semacam itu membutuhkan pegangan, atau setidaknya bantuan moral yang membesarkan hati dan semangat mereka—dan buku-buku motivasional memberikan hal itu kepada mereka.

In fact, banyak buku motivasional yang ditulis orang-orang yang dulunya miskin dan melarat, tak berpendidikan, namun kemudian berhasil membangun kehidupan yang sukses dan mengagumkan. Nah, orang-orang yang diilustrasikan di atas itu merasa memiliki kawan senasib ketika membaca buku-buku semacam itu, dan mereka merasa dapat belajar dari buku-buku itu. Mereka mendapatkan suntikan motivasi, nyala api semangat untuk tetap tegar dalam menjalani hidup.

Kasarnya, kalau kau belum pernah merasakan kelaparan karena tidak punya uang untuk membeli makan, kau tidak akan paham pentingnya makna buku-buku motivasional.

Jadi, marilah kita kembalikan buku—dalam apa pun bentuk dan genre-nya—pada proporsinya yang tepat, yakni sebagai sarana pembelajaran. Kalau kau merasa cocok dengan sebuah buku, ambillah ilmunya dan manfaatkanlah dalam hidupmu. Sebaliknya, jika kau merasa tidak cocok dengan sebuah buku, abaikan saja. Kau tidak perlu buang-buang energi untuk “mengkampanyekan” kebencianmu terhadap sebuah buku.

Kalau kau bisa hidup tanpa buku motivasional, itu bagus. Tetapi kalau ada orang lain yang merasa membutuhkan buku motivasional, kita tidak perlu menyalahkan apalagi merendahkan mereka. Setiap orang memiliki hak sendiri-sendiri dalam menjalani hidupnya—dengan, atau tanpa buku motivasional.

Omong-omong, tahukah kau kenapa sampai hari ini masih bisa hidup? Oh ya, tentu saja karena kau masih bernapas. Nah, sekarang, tahukah kau kenapa sampai hari ini masih bisa bernapas? Karena adanya oksigen. Baik, lalu kenapa sampai hari ini kau masih mau bernapas dan menghirup oksigen?

Kalau kita mau jujur pada diri sendiri, satu-satunya energi hidup di muka bumi ini adalah “harapan”. Inilah satu-satunya yang menjadikan setiap manusia tetap hidup hingga hari ini—yakni karena masih adanya harapan, atau karena masih memiliki harapan. Kau masih dapat hidup berhari-hari meski tanpa makan atau tanpa minum. Tetapi kau tidak akan bisa hidup satu hari pun tanpa harapan. Kapan pun kau tidak memiliki harapan—kau mati.

Harapan—itulah nyawa kehidupan. Dan hal penting bernama “harapan” itulah yang hakikatnya diajarkan oleh buku-buku motivasional.

Sekali lagi, kalau kau biasa menjalani hidupmu dengan baik, berkecukupan, atau bahkan berkelimpahan, kau tidak punya masalah apa pun dengan “harapan”—karena bagimu hidup ini “baik-baik saja”. Bagi orang sepertimu, harapan adalah hal murah karena kau sudah biasa memilikinya.

Tetapi bagi orang-orang yang tidak seberuntung dirimu, “harapan” adalah barang mewah. Mereka membangun harapannya dengan setiap tetes keringat, darah, dan air mata. Mereka melewati hari hidupnya dengan harapan yang kian menipis dan habis. Bagi mereka, harapan adalah seperti puncak menara gading yang tampak indah namun tak terjangkau.

Orang-orang semacam inilah yang amat membutuhkan suntikan motivasi untuk terus menyalakan harapannya—agar tetap dapat melanjutkan hidupnya. Dan, kalau orang-orang lain sesamanya tidak mampu memberikan suntikan motivasi seperti yang mereka harapkan, apa salahnya kalau kemudian mereka mencarinya melalui buku-buku motivasional…?

Anyway, setiap kali kau ingin menyalahkan sebuah buku, ingatlah selalu bahwa buku tidak ditulis untuk dibenarkan atau disalahkan. Buku ditulis untuk tujuan belajar. Dan di dalam belajar, terkadang butuh waktu untuk menemukan yang benar.


 
;