Jumat, 01 Oktober 2010

Kepada Tuan Teroris



Kepada Tuan Teroris,

Ketika aku menulis surat ini untukmu, aku tidak tahu siapakah kau, atau dimana alamatmu, bahkan aku pun tidak yakin siapa namamu. Aku menulis surat ini untukmu sebagai sesama manusia—berdasarkan kesadaran bahwa aku harus menulisnya. Aku tidak tahu apakah surat ini akan terbaca olehmu, tetapi aku berharap kau atau siapa pun yang mengenalmu mendapati surat ini, dan kemudian menyampaikannya kepadamu.

Maafkan aku karena memberanikan diri menulis surat ini untukmu.

Sesungguhnya, hasrat untuk menulis surat ini sudah ada dalam benakku sejak lama—sejak pertama kalinya kau atau teman-temanmu melakukan teror terhadap sesama manusia, hanya demi alasan tertentu yang kalian yakini. Tetapi, keinginan itu lama kutekan, karena kupikir kau atau teman-temanmu hanya khilaf sebagai manusia biasa—suatu kekhilafan yang kuyakin akan kalian sadari suatu hari—meski kekhilafan itu telah merenggut ribuan nyawa yang tak berdosa.

Tetapi ternyata aku keliru, karena ternyata kau tidak merasa khilaf. Kau merasa benar, bahkan paling benar, sehingga kau menganggap orang lain salah semua, hingga layak kaubinasakan. Jadi karena itulah sekarang aku menulis surat ini untukmu. Yakni karena kau menganggap dan meyakini dirimu benar, paling benar—bahkan sebagai Sang Kebenaran.


Kepada Tuan Teroris,

Aku menulis surat ini untukmu tidak berdasarkan kebencian, tetapi karena rasa kasihan. Demi Tuhan, aku kasihan melihatmu. Aku kasihan melihat kemanusiaanmu direnggut dan diserobot, sehingga membuatmu menjadi robot tanpa nurani. Aku kasihan melihat ketidaktahuanmu dimanfaatkan orang lain yang hanya ingin menjadikanmu tumbal bagi ambisinya sendiri. Aku kasihan melihat kejujuran hatimu disalahgunakan oleh kotornya ambisi orang lain tanpa kausadari. Aku kasihan kepadamu, kepada kemanusiaanmu, kepada kejujuran dan keluguan hatimu.

Kau tidak tahu apa-apa atas perbuatanmu—percayalah kepadaku.

Kalau kau mau mempercayai orang lain yang memperbudakmu, apa salahnya kalau sekarang kau menyisakan sedikit kepercayaanmu untukku…? Aku tidak punya motif atau tendensi apa-apa kepadamu, jadi kau tidak perlu curiga kepadaku. Aku tidak mengenalmu sebagaimana kau tidak mengenalku, jadi kata-kata ini dapat kaucampakkan… atau kauingat. Beri sedikit waktu untuk dirimu sendiri, untuk membaca surat ini, dan selebihnya terserah kepadamu.


Kepada Tuan Teroris,

Masih ingat kehidupanmu beberapa waktu yang lalu—atau bertahun-tahun yang lalu—sebelum kau mengenal orang yang sekarang mengubahmu? Kau menjalani hidup sebagai orang biasa, tidak dikenal atau tidak terkenal, tetapi kau hidup dengan kedamaian. Kau mengalami kekurangan tertentu dalam hidupmu, tetapi itu hal yang wajar, karena begitulah kehidupan. Tetapi, yang lebih penting di atas semuanya itu, kau tidak menyimpan kebencian kepada sesamamu, dan kau menjalani hidupmu sebagaimana manusia lain menjalaninya.

Kita sama, kau tahu—kita sama. Kau, aku, juga manusia-manusia lainnya.

Sampai kau bertemu dengan seseorang—atau beberapa orang—yang kemudian mengubahmu, dan meracuni pikiranmu. Maafkan istilahku—tapi bukankah memang begitu…?

Orang itu menepuk sesuatu yang tersembunyi di dalam dirimu, dan kau merasakan lembutnya tepukan itu, dan kalian kemudian akrab, dekat… dan kau mulai berubah—tanpa kausadari. Aku bisa merasakan apa yang kaurasakan waktu itu—kau “kecanduan” kepada orang itu, karena dia dapat memanjakan egomu, sesuatu yang amat kaurindukan namun tak pernah dapat kauperoleh.

Apa yang dikatakannya kepadamu…? Bahwa kau manusia pilihan Tuhan? Titisan malaikat? Keturunan para Nabi? Ksatria kesayangan alam semesta…? Oh, ayolah, bukankah itu yang ia katakan kepadamu, yang selalu ia katakan kepadamu…? Dan kau percaya kepadanya, karena tentu saja kau ingin percaya. Kau ingin percaya bahwa itulah kau—sesosok manusia istimewa yang tak menyadari keistimewaannya—dan kau pun diam-diam berterima kasih kepada orang itu karena telah menyadarkan keistimewaanmu.

Kau mulai kecanduan dengannya—kau kecanduan dengan caranya menyanjungmu, bahkan diam-diam kau pun mulai meyakini dengan sepenuh hati bahwa kau memang sosok manusia pilihan Tuhan yang mengemban misi mulia di atas bumi. Kau percaya kepadanya, kau percaya bahwa ada tugas maha mulia yang telah dibebankan di pundakmu, dan kau bertanggung jawab pada tugas itu. Dan ketika kepercayaanmu telah terbentuk, orang itu pun mulai mengubahmu menjadi robot—dan mencerabut nurani dari akar kemanusiaanmu.

Mungkin waktu itu kau berpikir, karena dia telah menyanjung ego kemanusiaanmu, kau pun merasa berhutang budi kepadanya. Karena dia telah memberikan sesuatu yang tidak pernah diberikan manusia lain kepadamu, maka kau pun layak menjadi budaknya.

Kalau kau mau berefleksi sejenak, bukankah kenyataannya memang seperti itu? Kau hanyalah budak—korban yang sengaja ditumbalkan orang lain demi ambisi yang tidak kaupahami. Kau tidak tahu apa-apa, kau hanya mengerjakan sesuatu yang dipaksakan orang lain untuk kaukerjakan, padahal kau menanggung seluruh konsekuensinya. Dia tidak adil, kau tahu, dia telah memanipulasimu. Orang yang sekarang kaupatuhi hanyalah pengecut yang sengaja memanfaatkanmu untuk melakukan sesuatu yang tidak berani ia kerjakan sendiri.


Kepada Tuan Teroris,

Karena kau berjuang untuk sesuatu yang kausebut kebenaran, dan karenanya kau rela mati atau mematikan manusia yang lainnya, maka mari kita bicara soal kebenaran.

Kebenaran siapakah yang sesungguhnya kauyakini…? Kebenaran yang benar-benar milikmu, ataukah kebenaran versi orang yang menyatakannya kepadamu? Sebelum bertemu orang itu, kau memiliki versi kebenaran yang kauyakini sendiri—sama seperti orang-orang yang lainnya. Tetapi, setelah kau bertemu orang itu dan dia berbicara dengan sepenuh keyakinan kepadamu, kau pun mulai meninggalkan kebenaran milikmu… dan meyakini kebenaran orang itu.

Kalau kau mau jujur kepada dirimu sendiri, bukankah seperti itu kenyataannya? Kau tidak meyakini kebenaran, sesungguhnya, kau hanya meyakini orang itu, beserta segala ucapannya, janji-janjinya, puja-pujinya. Kau telah dimanipulasi—kau telah diperalat untuk melakukan sesuatu yang kauyakini sebagai kebenaran, tetapi sesungguhnya hanya kebenaran yang palsu, yang bahkan tidak kauyakini sendiri.

Sekarang, bayangkanlah jika aku yang datang kepadamu—waktu itu. Aku melakukan persis seperti apa yang orang itu lakukan kepadamu—menyanjungmu dengan segala puja-puji dan berusaha memanipulasimu, menawarkan janji-janji indah tentang negara damai laksana surga, dan meyakinkanmu bahwa kaulah manusia pilihan Tuhan di muka bumi, apakah kau akan percaya kepadaku? Jawabannya mutlak, kau akan percaya kepadaku!

See…? Sekarang kita telah melihat cara permainannya, kan? Sekarang kau telah paham bagaimana permainan manipulasi yang amat kotor ini dilakukan, dan kau terpedaya oleh permainannya.

Kau hanya tumbal, kau tahu, kau hanya korban—dan itulah kenapa aku kasihan kepadamu. Orang yang telah menemuimu, waktu itu, juga menemui banyak orang selain dirimu. Dan, kau tahu, dia pun menyatakan segala sanjung puja yang ia perdengarkan ke telingamu kepada orang lain yang ditemuinya, sehingga mereka sama tertipunya seperti dirimu. Tidakkah kau pernah menyadari kenyataan ini…?

Adolf Hitler melakukan permainan kotor semacam ini ketika ia mengumpulkan pasukannya. Begitu pula Stalin, Mussolini, Bokassa, Cun Do Hwan, dan para penjahat kemanusiaan lainnya. Kalau saja kau mau belajar sejarah, kau akan tahu bahwa orang yang mendatangi dan merayumu dengan segala sanjung puja serta janji-janjinya tidak lain hanyalah reinkarnasi Hitler, atau Stalin, atau Mussolini, atau penjahat-penjahat kemanusiaan lainnya.

Bukan kebenaran yang sesungguhnya kauperjuangkan—tetapi ambisi busuk seseorang yang telah dipaksakan untuk kauyakini sebagai kebenaran. Tidak ada kebenaran yang membinasakan, tidak ada kebenaran yang menganggap jalan kejahatan sebagai cara yang benar. Kalau seseorang meledakkan kepala ibumu dengan dalih kebenaran, kau tidak akan mempercayainya, kan?


Kepada Tuan Teroris,

Sebenarnya masih banyak yang ingin kutulis untukmu, tetapi aku tidak ingin menyita waktumu lebih banyak lagi. Aku sudah berterima kasih kau mau meluangkan waktumu yang berharga untuk membaca surat ini, dan aku tidak layak meminta lebih banyak. Aku berharap surat yang singkat dan mungkin kurang sopan ini sudah cukup menyampaikan apa yang ingin kusampaikan, juga sudah cukup untuk membuatmu berpikir sejenak—untuk menggunakan nurani yang dulu kaumiliki.

Mungkin kau tidak percaya kepadaku, tetapi aku ingin kau tahu bahwa aku selalu percaya kepada kemanusiaan. Satu orang manusia adalah satu tetes air di lautan. Jika satu tetes air kotor, tidak berarti seluruh lautan kotor.

Jika kau percaya kebenaran, aku berdoa semoga kebenaran menemukanmu. Jika kau tak sabar menemukannya, carilah di dalam dirimu. Kebenaran tidak membutuhkan tempat, kebenaran tidak membutuhkan pembinasaan manusia lain, kebenaran tidak membutuhkan kekuasaan dan pengakuan…

Kebenaran itu tidak jauh di luar sana—ia ada di dekatmu, di dalam nuranimu.


 
;