Cewek:
Gue cuma tidur dengan tiga cowok, dan masyarakat
menganggap gue cewek rusak! Lo tidur dengan tiga puluh
cewek, dan masyarakat menganggap lo cowok hebat!
Masyarakat macam apa yang kita tinggali ini?!”
Cowok:
Lhah, yang logis dunk! Kalau sebuah gembok bisa dibuka
tiga kunci yang berbeda, tuh gembok pasti udah soak.
Tapi kalau satu kunci bisa membuka tiga puluh gembok
yang berbeda, itu pasti kunci yang hebat!
—Obrolan sinting di ruang chatting
Gue cuma tidur dengan tiga cowok, dan masyarakat
menganggap gue cewek rusak! Lo tidur dengan tiga puluh
cewek, dan masyarakat menganggap lo cowok hebat!
Masyarakat macam apa yang kita tinggali ini?!”
Cowok:
Lhah, yang logis dunk! Kalau sebuah gembok bisa dibuka
tiga kunci yang berbeda, tuh gembok pasti udah soak.
Tapi kalau satu kunci bisa membuka tiga puluh gembok
yang berbeda, itu pasti kunci yang hebat!
—Obrolan sinting di ruang chatting
Siapa bilang dunia ini milik laki-laki? Siapa bilang dunia ini dikuasai laki-laki? Menurut saya, dunia ini adalah tempat kekuasaan kaum wanita—milik wanita seutuhnya, dan laki-laki mungkin tinggal di sini hanya sebatas “mampir”, atau “bertamu”, atau bahkan mungkin “orang asing”.
Laki-laki tidak punya apa-apa di dunia ini. Kalau pun laki-laki merasa memiliki segala sesuatu di dunia ini, dia hanya “merasa memiliki”, namun segala miliknya itu—hakikatnya—milik kaum wanita, karena dunia ini sepertinya diciptakan untuk wanita. Jangan salah paham. Saya menulis catatan ini tidak dengan sinisme, tetapi dengan kebesaran hati dan kesadaran seorang laki-laki.
Saya ulangi statemen awal—dunia ini milik kaum wanita. Itulah kenapa mayoritas (sebenarnya sih semua) wanita memiliki sifat materialis. Dan itu telah menjadi watak alamiah mereka, karena mereka memang diciptakan dengan kecenderungan itu. Karenanya, dalam catatan sebelumnya, dengan blak-blakan saya katakan bahwa mencari cewek, perempuan, atau woman, atau wanita, yang tidak materialis itu sama susahnya dengan mencari sebatang jarum di tumpukan jerami.
This is fact. Tidak perlu dibantah—terima saja fakta itu.
Sifat materialis yang ada pada kaum perempuan, sesungguhnya, bukanlah suatu sifat yang bisa dikategorikan negatif. Ini sama alamiahnya dengan sifat maskulin yang dimiliki laki-laki. Bahwa laki-laki itu maskulin dan perempuan itu feminin, itu fakta. Jadi tidak perlu dibantah. Dan sifat “materialis” adalah salah satu bagian dari feminitas yang menjadi ciri kaum perempuan. Perempuan akan menjadi “kurang perempuan” jika tidak materialis.
Lalu apa buktinya bahwa dunia ini milik kaum wanita? Izinkan saya menjawab pertanyaan ini sambil tersenyum.
Coba lihat, tanah bumi yang kita pijak dan kita tinggali ini, disebut “Ibu Pertiwi”. Kenapa tidak disebut “Bapak Pertowo” saja biar terkesan gagah? Istilah “Ibu Pertiwi” tentu saja bersifat konotatif, tetapi itu konotasi untuk kaum wanita. Jadi, fellas, kita semua tinggal di tempat seorang wanita—seorang ibu.
Kalau tempat kita hidup dan bernapas saja sudah milik wanita, apalagi segala hal dan barang dan benda yang ada di dalamnya…?
Rumah, misalnya. Atau kendaraan. Atau pakaian. Atau bahkan blog. Sebut apa pun.
Saya sudah berulang-ulang kali mendengar orang berkata, “Wow, rumahmu cantik sekali!”
Padahal rumah itu ditinggali laki-laki, dibiayai laki-laki, didesain oleh arsitek laki-laki, dan dibangun oleh tukang batu yang semuanya laki-laki. Tetapi, begitu rumah itu jadi, rumah itu langsung memiliki identitas perempuan—“cantik sekali”. Sampai hari ini, saya belum pernah mendengar ada orang yang mengatakan, “Wow, rumahmu ganteng sekali!”
Saya pikir, sampai kiamat pun tidak akan ada rumah yang “ganteng”.
Begitu pula barang-barang yang lain. Laki-laki memakai baju, perempuan memakai baju. Tetapi, semua baju memiliki sifat “cantik”—tidak ada baju yang “ganteng”. Apakah kau pernah mendengar orang mengatakan, “Oh, bajumu ganteng sekali!” Saya belum pernah mendengar ucapan atau komentar seperti itu.
Bahkan blog, saudara-saudara. Kalau kita memiliki blog, dan kita mendesain blog itu dengan sangat indah, pujian yang akan kita dengar adalah identitas milik perempuan, “Wow, blogmu cantik sekali!” Sampai hari ini saya belum pernah menemukan komentar di blog yang berbunyi, “Oh my God, blogmu ganteng sekali!”
Padahal bisa saja blog itu milik laki-laki, dibuat dan dimiliki serta didesain laki-laki, bahkan memuat content yang berhubungan dengan aktivitas kaum laki-laki. Tetapi, meski begitu, blog itu tetap saja “cantik”.
Jadi, dari tanah bumi, rumah, sampai hal-hal kecil semacam blog, semuanya adalah milik kaum wanita—karena semuanya memiliki identifikasi feminin. Bahkan Jakarta yang gedung-gedung tingginya menjulang ke langit itu pun disebut “Ibu Kota”. Padahal, kau tahu, gedung-gedung dan tower-tower yang menjulang ke langit itu sesungguhnya upaya laki-laki untuk memamerkan “kejantanannya”. Tetapi upaya itu pun sia-sia, tak ada artinya, karena sejantan apa pun, mereka tetap berada di wilayah wanita—sang Ibu Kota.
Laki-laki boleh membangun apa saja, memiliki apa saja, bahkan menguasai apa saja, di dunia ini—tetapi semuanya tetap kembali sebagai “hak milik” kaum wanita, semuanya akan tetap memiliki jenis kelamin feminin.
Omong-omong, Bapak Haji Rhoma Irama punya lagu yang sangat saya sukai, berjudul Salikhah. Lagu ini merupakan soundtrack untuk film berjudul sama, yang dibintanginya bersama Ida Iasha. Lagu ini sangat asyik, khususnya bagi orang yang sudah ngebet kawin.
Di awal lagu (intro), sebelum dia mulai genjreng-genjreng gitarnya, Rhoma Irama menyitir sebuah hadist Nabi, yang berbunyi seperti ini, “Dunia ini perhiasan… —ila akhir.”
Ehmm, dunia ini perhiasan.
Hal terbesar yang dipikirkan laki-laki dalam hidupnya adalah wanita. Tetapi, anehnya, hal terbesar yang tak pernah dipahami laki-laki adalah wanita.