Kalau di post tentang menulis terdahulu kita sudah belajar mengenai empat macam naskah yang biasa menumpuk di meja redaksi penerbit, sekarang kita akan mempelajari empat macam penerbit. Pemaparan berikut ini diambil dari pengalaman saya selama sepuluh tahun berhubungan dengan berbagai macam penerbit, dalam hubungannya dengan profesi menulis yang saya jalani.
Meski sama-sama bernama penerbit, dan sama-sama menerbitkan buku dari para penulis, tetapi masing-masing mereka tidak sama. Pemaparan ini saya tuliskan, sebagian karena permintaan teman-teman, sebagian lagi karena saya memang merasa perlu menuliskannya—karena hal ini pasti menjadi sesuatu yang penting bagi teman-teman yang ingin menggeluti tulis-menulis. Penerbit adalah mitra utama bagi setiap penulis. Karenanya, salah memilih mitra akan menjadi kesalahan cukup fatal.
Sebenarnya, kalau mau dijelaskan dengan sangat detail, ada lebih dari empat macam penerbit. Tetapi, agar pemaparan ini tidak bertele-tele, saya akan menyingkatnya dalam empat macam saja. Selain itu, yang saya paparkan di sini adalah hal-hal yang biasanya jarang dijelaskan penulis lain. Karenanya, jika penjelasan di bawah ini dirasa kurang lengkap, kunjungilah blog penulis lain untuk mendapatkan penjelasan mereka atas hal-hal yang tidak saya paparkan di sini.
Langsung saja, berikut ini penjelasannya.
Pertama, penerbit profesional. Ini penerbit dambaan setiap penulis. Berurusan dengan penerbit semacam ini pasti menyenangkan—karena semua urusan akan ditangani secara profesional. Dari urusan penerimaan naskah, pengolahan, hingga penerbitan naskah menjadi buku, bahkan sampai urusan distribusi dan pembayaran royalti—semuanya ditangani dengan profesional. Sepanjang bertahun-tahun berhubungan dengan penerbit semacam ini, saya belum pernah menyesal.
Apakah penerbit profesional itu harus penerbit yang besar? Belum tentu. Penerbit yang tergolong kecil pun ada yang profesional.
Yang jelas, penerbit profesional selalu menjaga hubungan kerja dengan para penulisnya dengan baik. Artinya, mereka menyadari betul bahwa eksistensi mereka ditopang oleh keberadaan para penulis—dan mereka benar-benar menghargai setiap penulisnya. Hal ini akan tampak dengan jelas dalam surat perjanjian yang mereka buat ketika mengadakan kontrak dengan penulis.
Ketika membuat surat perjanjian, isi surat itu benar-benar adil—tidak berat sebelah—dan saling menguntungkan. Artinya, tidak merugikan pihak penerbit, juga tidak merugikan pihak penulis. Lebih dari itu, mereka benar-benar mematuhi isi surat perjanjian itu, sebagaimana mereka berharap pihak penulis juga ikut mematuhinya.
Surat perjanjian antara penulis-penerbit adalah awal yang menunjukkan apakah sebuah penerbit profesional atau tidak. Jika surat perjanjiannya saja terkesan tidak adil dan merugikan salah satu pihak—dalam hal ini pihak penulis—maka bisa dikatakan mereka belum tentu profesional.
Saya pernah berurusan dengan sebuah penerbit yang bisa dibilang tidak profesional. Saya baru tahu hal itu ketika mereka mengirimkan draf surat perjanjian atas rencana penerbitan buku saya. Ketika membaca isinya, kening saya terus-menerus berkerut. Isi surat kontrak itu lebih banyak menguntungkan penerbit, dan sejalan dengan itu merugikan pihak penulis.
Setelah mempelajari isinya, saya mengembalikan draf surat kontrak itu, dan meminta mereka mengubah isinya agar lebih adil. Saya menyertakan catatan yang saya harapkan dimasukkan dalam surat kontrak itu, dan saya pun menjelaskan bagian atau pasal-pasal apa saja yang saya nilai berat sebelah. Saya berharap mereka dapat menerima usul dan pertimbangan saya dengan positif.
Di luar dugaan, mereka menolak. (Catatan: Penerbit profesional selalu terbuka dengan usul atau pertimbangan pihak penulis dalam hal pembuatan surat kontrak, dan mereka menerima usul penulis dengan positif kalau memang dinilai lebih baik). Tetapi hal itu tidak dilakukan oleh penerbit yang satu ini. Mereka menyatakan bahwa surat kontrak itu sudah biasa mereka gunakan untuk berhubungan dengan para penulis yang lain, dan mereka tidak mau mengubah isinya. Karena tidak ada kesepakatan dalam hal penting itu (surat kontrak), maka saya pun menarik kembali naskah saya.
Di negeri ini ada ratusan penerbit. IKAPI (Ikatan Penerbit Indonesia) saat ini mencatat ada 660 penerbit yang telah bergabung dengan mereka. Itu baru yang terdaftar di IKAPI, belum lagi penerbit-penerbit yang tidak tergabung dengan IKAPI, yang jumlahnya amat sangat banyak. Perkiraan saya, di Indonesia sekarang ini ada sekitar 1.000 (seribu) penerbit buku.
Coba lihat, ada seribu penerbit yang bersaing di negeri ini. Sungguh konyol jika ada penerbit yang masih merasa tidak butuh penulis, dan kemudian bisa seenaknya memperlakukan penulisnya. Karenanya, jika kita mengirimkan naskah kepada suatu penerbit dan kemudian naskah itu diterima, tetapi kemudian kita menilai isi surat kontrak atas naskah itu terasa berat sebelah (menguntungkan penerbit sekaligus merugikan penulis), jangan takut menanyakan atau mengajukan usul yang lebih baik atau lebih adil.
Kalau kemudian penerbit itu menolak usulmu, dan penjelasan yang mereka berikan terkesan tak masuk akal, tarik saja naskah itu dan batalkan penawaranmu. Masih banyak penerbit lain yang lebih baik, lebih profesional, yang tentunya juga lebih mampu menghargaimu.
Kalau ingin tahu lebih lanjut mengenai penerbit mana yang baik dan penerbit mana yang buruk, bergabunglah dengan milis-milis kepenulisan atau milis para penulis. Di sana, para penulis saling berbagi mengenai pengalaman mereka dalam berhubungan dengan berbagai penerbit, dan mereka pun akan memberitahu penerbit-penerbit mana yang asyik untuk diajak bekerjasama.
Bagi saya, penerbit profesional adalah pilihan terbaik untuk mengirimkan naskah yang kita harapkan dapat terbit menjadi buku—karena nasib karya kita akan tergantung pada profesionalitas mereka. Salah memilih penerbit tak jauh beda dengan salah memilih pacar. Jika orang yang menjadi pacar kita benar-benar tepat, urusan selanjutnya pasti enak. Tetapi jika pacar yang kita pilih keliru, alamat akan lebih banyak perselisihan dan penyesalan, daripada berpelukan dan bergandeng tangan.
Lanjut ke sini.
Meski sama-sama bernama penerbit, dan sama-sama menerbitkan buku dari para penulis, tetapi masing-masing mereka tidak sama. Pemaparan ini saya tuliskan, sebagian karena permintaan teman-teman, sebagian lagi karena saya memang merasa perlu menuliskannya—karena hal ini pasti menjadi sesuatu yang penting bagi teman-teman yang ingin menggeluti tulis-menulis. Penerbit adalah mitra utama bagi setiap penulis. Karenanya, salah memilih mitra akan menjadi kesalahan cukup fatal.
Sebenarnya, kalau mau dijelaskan dengan sangat detail, ada lebih dari empat macam penerbit. Tetapi, agar pemaparan ini tidak bertele-tele, saya akan menyingkatnya dalam empat macam saja. Selain itu, yang saya paparkan di sini adalah hal-hal yang biasanya jarang dijelaskan penulis lain. Karenanya, jika penjelasan di bawah ini dirasa kurang lengkap, kunjungilah blog penulis lain untuk mendapatkan penjelasan mereka atas hal-hal yang tidak saya paparkan di sini.
Langsung saja, berikut ini penjelasannya.
Pertama, penerbit profesional. Ini penerbit dambaan setiap penulis. Berurusan dengan penerbit semacam ini pasti menyenangkan—karena semua urusan akan ditangani secara profesional. Dari urusan penerimaan naskah, pengolahan, hingga penerbitan naskah menjadi buku, bahkan sampai urusan distribusi dan pembayaran royalti—semuanya ditangani dengan profesional. Sepanjang bertahun-tahun berhubungan dengan penerbit semacam ini, saya belum pernah menyesal.
Apakah penerbit profesional itu harus penerbit yang besar? Belum tentu. Penerbit yang tergolong kecil pun ada yang profesional.
Yang jelas, penerbit profesional selalu menjaga hubungan kerja dengan para penulisnya dengan baik. Artinya, mereka menyadari betul bahwa eksistensi mereka ditopang oleh keberadaan para penulis—dan mereka benar-benar menghargai setiap penulisnya. Hal ini akan tampak dengan jelas dalam surat perjanjian yang mereka buat ketika mengadakan kontrak dengan penulis.
Ketika membuat surat perjanjian, isi surat itu benar-benar adil—tidak berat sebelah—dan saling menguntungkan. Artinya, tidak merugikan pihak penerbit, juga tidak merugikan pihak penulis. Lebih dari itu, mereka benar-benar mematuhi isi surat perjanjian itu, sebagaimana mereka berharap pihak penulis juga ikut mematuhinya.
Surat perjanjian antara penulis-penerbit adalah awal yang menunjukkan apakah sebuah penerbit profesional atau tidak. Jika surat perjanjiannya saja terkesan tidak adil dan merugikan salah satu pihak—dalam hal ini pihak penulis—maka bisa dikatakan mereka belum tentu profesional.
Saya pernah berurusan dengan sebuah penerbit yang bisa dibilang tidak profesional. Saya baru tahu hal itu ketika mereka mengirimkan draf surat perjanjian atas rencana penerbitan buku saya. Ketika membaca isinya, kening saya terus-menerus berkerut. Isi surat kontrak itu lebih banyak menguntungkan penerbit, dan sejalan dengan itu merugikan pihak penulis.
Setelah mempelajari isinya, saya mengembalikan draf surat kontrak itu, dan meminta mereka mengubah isinya agar lebih adil. Saya menyertakan catatan yang saya harapkan dimasukkan dalam surat kontrak itu, dan saya pun menjelaskan bagian atau pasal-pasal apa saja yang saya nilai berat sebelah. Saya berharap mereka dapat menerima usul dan pertimbangan saya dengan positif.
Di luar dugaan, mereka menolak. (Catatan: Penerbit profesional selalu terbuka dengan usul atau pertimbangan pihak penulis dalam hal pembuatan surat kontrak, dan mereka menerima usul penulis dengan positif kalau memang dinilai lebih baik). Tetapi hal itu tidak dilakukan oleh penerbit yang satu ini. Mereka menyatakan bahwa surat kontrak itu sudah biasa mereka gunakan untuk berhubungan dengan para penulis yang lain, dan mereka tidak mau mengubah isinya. Karena tidak ada kesepakatan dalam hal penting itu (surat kontrak), maka saya pun menarik kembali naskah saya.
Di negeri ini ada ratusan penerbit. IKAPI (Ikatan Penerbit Indonesia) saat ini mencatat ada 660 penerbit yang telah bergabung dengan mereka. Itu baru yang terdaftar di IKAPI, belum lagi penerbit-penerbit yang tidak tergabung dengan IKAPI, yang jumlahnya amat sangat banyak. Perkiraan saya, di Indonesia sekarang ini ada sekitar 1.000 (seribu) penerbit buku.
Coba lihat, ada seribu penerbit yang bersaing di negeri ini. Sungguh konyol jika ada penerbit yang masih merasa tidak butuh penulis, dan kemudian bisa seenaknya memperlakukan penulisnya. Karenanya, jika kita mengirimkan naskah kepada suatu penerbit dan kemudian naskah itu diterima, tetapi kemudian kita menilai isi surat kontrak atas naskah itu terasa berat sebelah (menguntungkan penerbit sekaligus merugikan penulis), jangan takut menanyakan atau mengajukan usul yang lebih baik atau lebih adil.
Kalau kemudian penerbit itu menolak usulmu, dan penjelasan yang mereka berikan terkesan tak masuk akal, tarik saja naskah itu dan batalkan penawaranmu. Masih banyak penerbit lain yang lebih baik, lebih profesional, yang tentunya juga lebih mampu menghargaimu.
Kalau ingin tahu lebih lanjut mengenai penerbit mana yang baik dan penerbit mana yang buruk, bergabunglah dengan milis-milis kepenulisan atau milis para penulis. Di sana, para penulis saling berbagi mengenai pengalaman mereka dalam berhubungan dengan berbagai penerbit, dan mereka pun akan memberitahu penerbit-penerbit mana yang asyik untuk diajak bekerjasama.
Bagi saya, penerbit profesional adalah pilihan terbaik untuk mengirimkan naskah yang kita harapkan dapat terbit menjadi buku—karena nasib karya kita akan tergantung pada profesionalitas mereka. Salah memilih penerbit tak jauh beda dengan salah memilih pacar. Jika orang yang menjadi pacar kita benar-benar tepat, urusan selanjutnya pasti enak. Tetapi jika pacar yang kita pilih keliru, alamat akan lebih banyak perselisihan dan penyesalan, daripada berpelukan dan bergandeng tangan.
Lanjut ke sini.