Di sebuah acara, saya duduk bersebelahan dengan seseorang yang tidak saya kenal. Seorang laki-laki yang sepertinya sebaya dengan saya, dan datang ke acara itu sendirian. Kami duduk diam, dan sampai cukup lama kami hanya saling diam.
Saya ingin membuka percakapan dengannya, biar kami tampak saling bercakap, biar terlihat seperti orang-orang normal. Tapi saya tidak tahu harus ngomong apa untuk membuka percakapan. Sementara dia mungkin segan untuk memulai percakapan—well, saya sering mendapati kondisi semacam itu.
Akhirnya, setelah cukup lama kami saling diam, dan saya merasa tidak nyaman, saya pun memberanikan diri membuka percakapan. Saya berkata, “Apakah kau pernah ngungsi, hem?”
Laki-laki di sebelah saya menengok, dan bingung. “Apakah aku pernah... apa?”
“Ngungsi,” saya mengulang.
Dia mengerutkan kening. “Ngungsi?”
“Yeah, ngungsi. Apakah kau pernah ngungsi?”
Dengan muka bingung, dia mencoba menjawab, “Ya... aku pernah ngungsi. Uhm, kampungku kena banjir, agak tinggi, dan keluargaku ngungsi ke rumah saudara. Termasuk aku.”
Saya manggut-manggut. “Syukurlah.”
Dia menatap saya, makin bingung. “Kenapa kok malah syukur?”
“Ya syukurlah, kalau pernah ngungsi. Karena hidup ini sungguh sia-sia jika kita tidak pernah ngungsi.”